Tuanku
Luckman Sinar Basarshah II, S.H (Serdang , 2001 - 13 Januari 2011),
Tuanku Otteman Mahmud Perkasa Alam (Deli , 5 Mei 1998–21 Juli 2005),
Tuanku Dr. Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmadsjah (Asahan, 1980 –
sekarang), Tuanku Azwar Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj (Langkat, 2003 –
sekarang)
KESULTANAN MELAYU LANGKAT
§ 1568-1580 : Panglima Dewa Shahdan
§ 1580-1612 : Panglima Dewa Sakti, anak raja sebelumnya
§ 1612-1673 : Raja Kahar bin Panglima Dewa Sakdi, anak raja sebelumnya
§ 1673-1750 : Bendahara Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar, anak raja sebelumnya
§ 1750-1818 : Raja Kejuruan Hitam (Tuah Hitam) bin Bendahara Raja Badiuzzaman, anak raja sebelumnya
§ 1818-1840 : Raja Ahmad bin Raja Indra Bungsu, keponakan raja sebelumnya
§ 1840-1893 : Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah (Tengku Ngah) bin Raja Ahmad, anak raja sebelumnya
§ 1893-1927 : Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah bin Sultan Haji Musa, anak raja sebelumnya
§ 1927-1948 : Tuanku Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah bin Sultan Abdul Aziz, anak raja sebelumnya
§ 1948-1990 : Tengku Atha'ar bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, anak raja sebelumnya, sebagai pemimpin keluarga kerajaan
§ 1990-1999 : Tengku Mustafa Kamal Pasha bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, saudara raja sebelumnya
§ 1999-2001 : Tengku Dr Herman Shah bin Tengku Kamil, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah
§ 2001-2003
: Tuanku Sultan Iskandar Hilali Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj bin
Tengku Murad Aziz, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah, gelar
Sultan dipakai kembali
§ 2003-
: Kepala Kerapatan Kesultanan Negeri Langkat - Tuanku Azwar Abdul Jalil
Rahmadsyah al-Hajj bin Tengku Maimun, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul
Jalil Rahmad Shah
KESULTANAN MELAYU DELI
KESULTANAN MELAYU SERDANG
* 1728-1782 Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Syah bin Tuanku Panglima Paderap [Kejeruan Junjungan], Raja Serdang
* 1782-1822 Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Syah ibni al-Marhum Tuanku Umar [Al-Marhum Kacapuri], Raja Serdang.
*
1822-1851 Tuanku Thaf Sinar Basyar Syah ibni al-Marhum Tuanku Ainan
Johan Pahlawan Alam Shah [Al-Marhum Besar], Sultan dan Yang di-Pertuan
Besar Serdang
* 1851-1879 Tuanku Muhammad Bashar ud-din Saif ul-'Alam
Shah ibni al-Marhum Sultan Thaf Sinar Bashar Shah [Al-Marhum Kota
Batu], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
* 1879-1946 Tuanku
Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Bashar un-din
[Al-Marhum Perbaungan], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
*
1946-1960 Tengku Rajih Anwar ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif
ul-'Alam Shah, Tengku Putra Mahkota, Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
*
1997-2001 Tuanku Abu Nawar Sinar Sharifu'llah Alam Shah al-Haj ibni
al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Pemangku Adat
Negeri Serdang
* 2001 – 2011 Tuanku Luckman Sinar Basharshah II
ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Pemangku
Adat Negeri Serdang
*2011 – sekarang Tuanku Achmad Tala'a Sharifu'llah Alam Shah ibni Tuanku Abu Nawar Sinar Sharifu'llah Alam Shah.
KESULTANAN MELAYU ASAHAN
•
Raja Yang Dipertuan Abdul Jalil ibni Sultan Alaiddin Mahkota Alam Johan
Berdaulat ((Sultan Alaiddin Riyatsyah I Al Qahhar – Sultan Aceh ke XII)
[Marhum Tangkahan Sitarak] dimulai 1630.
• Raja Yang Dipertuan Saidisyah ibni Raja 'Abdu'l Jalil [Marhum Simpang Tiga/Simpang Touba]
• Raja Yang Dipertuan Muhammad Rumsyah ibni Raja Saidisyah [Marhum Gagap]
• Raja Yang Dipertuan Abdul Jalil Syah II ibni Raja Muhammad Rumsyah [Marhum Mangkat di Sungei Raja] (1760 - 1765)
• Raja Yang Dipertuan Dewa Syah ibni Raja Abdul Jalil [Marhum Pasir Putih](1756 – 1805)
•
Raja Yang Dipertuan Musa Syah ibni Raja Dewa Syah [Marhum Rantau
Panjang] (1805 – 1808) Mangkat saat Permaisurinya, yaitu Encik Fatimah
(puteri Bendahara Megat Gunung) sedang mengandung putra beliau.
•
Raja Yang Dipertuan Muhammad Ali Syah ibni Raja Dewa Syah(1808 – 1813).
Beberapa bulan berkuasa, lahir putra Raja Musa Syah, yaitu Raja Muhammad
Ishaq – berikutnya kelak menjadi Raja Yang Dipertuan Muda Negeri Kualuh
•
Tuanku Sultan Yang Dipertuan Besar Muhammad Hussein Syah ibni Raja
Muhammad Ali Syah [Marhum Sirantau] (1813 – 10 Pebruari 1859)
Tuanku
Sultan Yang Dipertuan Besar Ahmad Syah ibni Tuanku Muhammad Hussein Syah
[Marhum Maharaja Indrasakti] (1859 – 27 Juni 1888). 1865 Sultan Ahmad
Syah diasingkan oleh Belanda bersama adiknya Tengku Muhammad Adil ke
Riau. Sedangkan adiknya yang lain Tengku Pangeran Besar Muda diasingkan
oleh Belanda ke Ambon. Sejak tahun 1865 s/d 1868 atas arahan residen
Belanda di Riau Elisa Netscher, Asahan diperintah oleh Tengku
Naamatullah negeri Kualuh dan Leidong, dan dari tahun 1868 s/d 1886
Asahan diperintah oleh 4 pembesar Melayu. 1885 Belanda mengizinkan
Sultan Ahmad Syah dan Tengku Muhammad Adil kembali ke Asahan dengan
syarat tidak boleh campur tangan dalam dunia Politik. Dan tidak lama
kemudian Tengku Pangeran Besar Muda juga diizinkan pulang ke Asahan oleh
Belanda. Sultan Ahmad Syah kembali memerintah pada 25 Maret 1886 sampai
27 Juni 1888. Selama memerintah beliau pernah menandatangani perjanjian
politik dengan Belanda pada tanggal 25 Maret 1886 di Bengkalis ( Akte
Van Verband ).Sultan Ahmad Syah mangkat tanpa memiliki anak seora
• Tuanku Sultan Yang Dipertuan Besar Muhammad Husain Rahmad Shah II ibni Tengku Muhammad 'Adil (8 Oktober 1888 - 7 Juli 1915)
•
Tuanku Sultan Yang Dipertuan Besar Saibun Abdul Jalil Rahmatsyah.
Beliau mulai memerintah sejak 7 Juli 1915 sampai tahun 1956. Akan tetapi
karena ketika dilantik beliau masih kecil, pemerintahan dipegang oleh
saudara ayahnya Tengku Alang Yahya. ( Tengku Regent Negeri Asahan ).
Beliau ditabalkan menjadi Sultan Asahan di Istana Kota Raja Indra Sakti
Tanjung Balai pada hari Kamis 15 Juli 1933 pukul 11.00 WIB ( 9 Safar
1353 H ). Mangkat pada 6 April 1980.
• Tuanku Dr Kamal Abraham Abdul
Jalil Rahmatsyah ibni Tuanku Saibun Abdul Jalil Rahmatsyah, Sultan
Pemangku Adat Negeri Asahan (17 Mei 1980 – sekarang)
Tengoklah emak menyulam kain
Tiada lupa memasak pengat
Tengoklah budak pabila bermain
Tiada sedih badanpun kur semangatoleh:
M Muhar OmtatokPermainan
anak-anak tradisional, terasa hilang kini, berganti dengan permainan
import yang mengajarkan individualisme dan naluri menyerang, seperti
play station, game online dan sebagainya.
Hj. Rosmalina,
Pemerhati soalan Melayu di Tebingtinggi, mengatakan bahwa permainan
anak-anak tradisional boleh membangkitkan rasa kerja sama dan
penyesuaian diri yang baik karena terbiasa melakukan sesuatu
bersama-sama. Sebagai makhluk sosial, kita pasti membutuhkan kehadiran
orang lain dalam hidup kita. Tak mungkin segalanya dapat dilakukan
sendiri. Sekecil apapun bantuan orang lain sangat berperan dalam hidup
kita.
Selanjutnya Hj. Rosmalina berpendapat, “Permainan
budak-budak masa lampau, boleh melatih tubuh lebih sehat dan kreatif.
Budak-budak lampau bermain dengan riangnya, sambil bergerak seimbang.
Tak macam budak kini, cuma terconggok di depan monitor seorang diri,
macammana pula kelak mereka sanggup berhadapan dengan orang banyak,
ditambah lagi tubuh tiadalah mungkin terbiasa, bergerak, budak-budak
kini jadi pelesuh”.
Dalam tradisi budaya permainan anak-anak, sangat banyak jenis permainan yang tercipta. Sebut saja
Congkak,
Seremban/Serimbang/Selambut,
alif jongkok,
alif cendong,
alif ba ta liun,
alif berondok,
galah asin/bilun,
sambar elang,
menyelam di sungai,
gasing,
layang-layang/wau,
yoyo,
kumkum,
engklek dan sebagainya.
Ada
pula permainan anak-anak Melayu dengan mengujarkan lagu-lagu tertentu
saat bermain. Disini saya coba berikan sedikit, sesuai ingatan saya.
a. Wak UdinDalam
permainan ini, satu anak bersujud, anak-anak yang lain meletakkan
sebuah telapaknya pada tubuh belakang anak yang bersujud tadi. Seorang
anak menggenggam sesuatu dan memindahkan sesuatu itu pada telapak tangan
tiap-tiap anak secara berurutan. Saat memindahkan sesuatu yang
digenggam tersebut, dinyanyikanlah lagu ‘Wak Udin’ hingga selesai. Lalu
disuruhlah anak yang bersujud menebak, di tangan siapa jatuhnya sesuatu
benda tersebut, setelah semua anak menggenggam tangannya.
Ini lagunya:
“Wak
wak Udin, Wak Udin hendak kawin. Potong kerbau pendek, potong kerbau
panjang. Cak guncil lewe lewe… cak guncil lewe lewe…”
b. Panjang PendekPermainan
ini menggunakan dua belah telapak tangan yang disatukan. Seolah bermain
wayang, jari-jari menjadi anak wayang. Jari tengah menjadi Si Panjang,
jari manis berperan menjadi Anak, jari telunjuk menjadi Emak. Disini
terjadi dialog antara Anak dan Emak. Saat anak bertanya kepada Emak,
maka jari manis kedua tangan menari bersilang-silang, begitu juga jika
Emak berbicara, maka jari telunjuk menari bersilang – silang, Jari
tengah juga demikian jika Si Panjang merasa senang. Dua ibu jari
diletakkan di ujung dagu saat permainan dilakukan.
Jika tarian jari
yang bersilang-silang terjadi kesalahan atau tidak cepat menari
bersilang-silang, maka permainan digantikan anak yang lain.
Ini lagunya:
Jari Manis: “Emak…Emak, Potong si Panjang ni…”
Jari Telunjuk: “Mengapa dia dipotong”
Jari Manis: “Takut aku sama dia”
Jari Telunjuk : “Banyak orang di dunia ni, panjang pendek serupa saja”
Jari Tengah: “Pak pong…Pak Pong…Pak pong pak pong pak pong…”
c. Hantu DengutHantu Dengut: “Mana emakmu?...”
Budak:”Pegi ke pasar”
Hantu Dengut:”Menjual apa?”
Budak:”Menjual bubu”
Hantu Dengut:”Mana bubunya?”
Budak:”Di atas atap”
Hantu Dengut:”Boleh kumakan?”
Budak:”Makanlah”
Ngut ngut hantu dengut…ngut ngut hantu dengut ..
Ngut ngut hantu dengut…ngut ngut hantu dengut ..
d. Tong Along Along“Tong Along along, kericing riang-riang, Ketapang kuda palong, arak arak minyak arab, pecahkan telur sebijik…taaarrr…”
Saat
melagukan, anak-anak yang terdiri dari 3 atau 4 orang duduk melingkar
sambil mengepalkan tangan dan disusun bertingkat. Tangan bergoyang
goyang, hingga bait terakhir pada lagu, yaitu ‘taaarrr’ maka kepalan
paling bawah terbuka.
Sambil semua kepalan terbuka, bersama-sama
mengangkat dan menurunkan tangan yang bersatu itu. Kemudian anak anak
bernyanyi lagu berikut;
e. Ram Ram Pisang“Ram ram pisang, pisang masak sebiji, bawa gonggong bawa lari. Bak…bak buuur…”
Kedua
belah tangan masing-masing diangkat keatas, tetap dalam kesatuan,
seolah-olah melarikan sesuatu. Permainanpun berakhir sambil bersorak
sorai.
f. Lemang SemambuEmpat
atau 5 anak duduk melingkar. Kedua tangan diletakkan ke lantai. Seorang
anak menjadi pemimpin dan menekankan hanya tangan kirinya ke lantai.
Tangan kanannya difungsikan sebagai penjamah. Tiap-tiap tangan
kawan-kawannya, sambil berlagu:
“Mang semambu, kuala sambau. Hujan nunut, mandi katong. Sirih rabit, pinang jawi. Sintak peluk Tuan Putri Enam Dewa”.
Setiap
suku kata dari lagu diatas, tangannya menjamah bergiliran. Tangan yang
terjamah pada akhir lagu, menjadi bebas dan diangkat pada dada yang
bermain. Jika tangan yang sebelah lagi terjamah pada akhir lahu, maka
diletakkan di atas kepala.
Lagu berulang-ulang sampai seluruh anak
eletakkan tangan di dada dan kepala. Kemudian bergiliran, anak yang
menjadi pemimpin bertanya:
Pemimpin: “Apa dijunjung?”
Jawab: “Bakul”
Pemimpin: “Apa dijurus?”
Jawab: “Rotan”
Pemimpin: “Apa kilik?”
Jawab: “Sumpit”
Pemimpin: “Apa tungkat?”
Jawab: “Lemang”
Ketika
si anak ditanya, tangan yang di kepala di letakkan di dada dan dipeluk
erat. Lalu pemimpin berbuat seolah-olah mencincang tangan kawannya,
sambil berlagu:
“Pak…pak…si pungguk, si pungguk mati akar, Tuan Haji ke padang, bersunting daun, sehari tak dipandang serasa setahun”.
Kemudian dia bertanya pula kepada kawannya:
“Peti besi atau peti kayu?”
Jawab: Peti besi (jika dijawab “peti kayu” berarti menyerah kalah)
Pimpinan: “Mana kuncinya?”
Jawab: “Jatuh ke lubuk”
Pimpinan: “Kalau diselam?”
Jawab: “Merah mata”
Pimpinan: “Kalau disuduk?”
Jawab: “Patah suduk”
Pimpinan: “Kalau dijala?”
Jawab: “Koyak jala”
Mendengar
jawaban tersebut, pimpinan berkata, “Kalau begitu, lebih baik diselam
saja…ngup!”, dengan sekuat tenaga pemimpin menarik tangan, dan yang
ditarik mempertahankan pelukannya.
Jika terbuka, ia menunjukkan
telunjuknya sambil berujar, “ini kuncinya”, maka dia menjadi pemenang
dan mendapat Tuan Putri Enam Dewa.Permainan ini bisa sampai berguling
guling dan menjadi tertawaan kawan yang lain.
g. Rangkai Rangkai PeriukSeluruh tangan berkaitan sesama kelingking bergerak turun naik, sambil berlagu:
“Rangkai, rangkai periuk, Periuk dari jawa, Sumbing sedikit terantung tiang para, wak wak wit…siapa ketawa kena cubit”
Lingkaran
yang terkait tadipun diputuskan, lalu masing-masing menutup mulut
menahan tawa. Jika ada yg tersenyum nyaris tertawa, maka yg disampingnya
mencupit seperti menggelitiki.
Yang kena cubit bertanya, : “Kenapa saya dicubit?”
Jawab: “Curi lada saya”
Tanya: “Mana budak kata?”
Lalu
ditunjuk oleh yang mencubit, salah seorang anak yang ikut bermain. Lalu
yang kena cubit mencubit anak yang ditunjuk. Lalu muncul pertanyaan dan
jawaban seperti diatas, begitu seterusnya hingga saling menunjuk.
Sampai semua saling mencubit setengah menggelitik.
Masih banyak
lagi jenis lagu dibuat untuk permainan anak-anak Melayu. Misalnya saja
ada sebuah permainan yang diberikan orangtua atau anggota ,keluarga
kepada bayi yang baru bias duduk, yaitu dengan mengajarkannya membuka
jari jemari dan menutup kembali jari jemarinya, sambil bernyanyi
berulang ulang:
“Minta cekur udang gemit. Minta cekur bagai kunyit”
Untuk
melatih anak agar tidak celat dan bias menyebut huruf “r”, maka dibuat
mainan lagu yang diucapkan berulang-ulang hingga fasih:
“Ular menjalar di pagar wak umar”
Ada
pula permainan untuk bayi, dengan menyentuh nyentuhkan telapak si bayi
dengan telunjuk, terus ke lengan, sambil berlagu dan tersenyum:
“Cuk…cuk melukut, berambang gentang, dimana tikus nyuruk, di bawah batang”
Ketika kata di bawah batang maka telunjuk diarahkan ke ketiak si bayi sambil setengah menggelitik, hingga bayi tertawa-tawa.
Ada
pula saat bayi sedang terduduk atau mulai pandai berdiri, maka si ibu
atau anggota keluarga mengajaknya bermain dengan menepuk-nepuk dua
tangan, sambil berlagu:
“Pok amai amai belalang kupu kupu,
bertepuk kita pandai diupah air susu. Susu lemak manis santan kelambir
muda, anak usah nangis diupah tanduk kuda. O, kuda…O, kuda…orang
betanduk, engkau tidak, alih bertanduk bercabang tiga”.
Ada pula bayi diajak bermain dengan menimangnya, sambil melagukan, diantara baitnya antara lain:
“Timanglah tinggi tinggi, timang keatas atap. Belumlah tumbuh gigi, sudah pandai membaca kitab.
Timanglah tinggi tinggi,naik duri nipah. Belum tumbuh gigi, sudah tahu minta cepah.
Mang sigalimang, timang kepala labu. Asik kita bertimang, tak tentu kain baju”.
Masih
banyak jenis permainan anak Melayu yang dilakukan dengan berlagu,
inilah khazanah moyang yang tiada boleh lesap tertelan permainan yang
tak berfaedah.
"Cak cak uncang anak elang bidadari, habis kau
uncang larikan ke tepi, injik injik batang terinjik pokok padi, pabila
Atok datang membawa parang panjang, buat apa parang panjang, penebas
buluh telang, buat apa buluh telang, pembuat tali leher, buat apa tali
leher, penjerat kuda belang, buat apa kuda belang, buat mainan anakku,
siapalah namanya, Budak Melayulah namanya….
Tulisan ini berisi informasi tentang pertumbuhan 23 Kerajaan Melayu di
Sumatera Timur dan Riau, baik yang kecil maupun yang besar. Dari sejarah
kerajaan-kerajaan tersebut dapat dilihat terjadinya interaksi
antarkerajaan, tentang nilai-nilai budayanya, dan tentang konsep
politiknya. Informasi ini dapat dijadikan bahan untuk memetik
potensi-potensi yang ada maupun mengetahui kelemahan-kelemahan yang
membuat kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran.
1. Pendahuluan
Ruang
lingkup pembahasan makalah ini adalah Karesidenan Sumatera Timur
(Residentie Oostkust van Sumatera) yang lepas dari Residensi Riau pada
tahun 1873. Meskipun ruang lingkup ini sempit, namun Kerajaan Melayu
yang akan disinggung cukup banyak, karena wilayah Karesidenan Sumatera
Timur sebelum 1 Januari 1940 juga meliputi Kerajaan Siak, Pelalawan,
Gunung Sahilan, Kepenuhan, Kunto Darussalam, Rokan IV Koto, Kampar Kiri,
Rambah, Sengingi, Logas, dan Tambusai. Wilayah Kerajaan Melayu mulai
dari Siak ke selatan. Pada tahun 1940 Kerajaan Melayu dipisahkan dari
wilayah Karesidenan Sumatera Timur dan menjadi wilayah Kerajaan Melayu
Riau. Oleh karena itu, pembatasan pembahasan Kerajaan-kerajaan Melayu di
Sumatera Timur hanya sampai pada masa sebelum datangnya Jepang, yaitu
sebelum tahun 1940.
Pada tahun 1915 kerajaan-kerajaan Melayu yang
masuk wilayah Karesidenan Sumatera Timur menjadi wilayah Provinsi
Sumatera Timur, dengan ibukota Medan. Empat Kerajaan Melayu di Temiang,
yaitu Kerajaan Bendahara, Kerajaan Karang, Kerajaan Sutan Muda, dan
Kerajaan Muda dikeluarkan dari Sumatera Timur dan dimasukkan ke wilayah
Provinsi Aceh oleh Belanda pada tahun 1900.
Kerajaan besar yang
berstatus kesultanan dengan Kontrak Politik adalah: 1) Deli; 2) Asahan;
3) Siak; 4) Serdang; 5) Langkat; 6) Kualuh; 7) Pelalawan, sedang
kerajaan-kerajaan dengan Pernyataan Pendek (Korte Verklaring), adalah:
8) Billah; 9) Gunung Sahilan; l0) Kedatukan Indrapura (Batubara); 11)
Kepenuhan; 12) Kunto Darussalam; 13) Kotapinang; 14) IV Kota Rokan Kiri;
15) Kedatukan Lima puluh (Batubara); 16) Logas; 17) Panai; 18)
Kedatukan Pesisir (Batubara); 19) Rambah; 20) Singingi; 21) Kedatukan
Suku Dua (Batubara); 22) Tambusai; 23) Kedatukan Tanah Datar (Batubara).
2. Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua
Kurun
waktu berdiamnya orang-orang Melayu di wilayah pesisir bagian timur
Sumatera sulit untuk dipastikan. Kita hanya mendengar bahwa pada masa
lalu seorang raja dari India Selatan yang bernama Rajendra Cola Dewa I
pada tahun 1011 M menyerang Sriwijaya dan negeri-negeri lainnya di
Semenanjung Tanah Melayu dan di Sumatera. Penyerangan tokoh “Raja Sunan”
ini diungkapkan dalam Sejarah Melayu (cerita ke-1). Kerajaan-kerajaan
Melayu yang termasuk tua adalah sebagai berikut.
a. Panai
Dalam
suatu inskripsi di Tanjore terdapat daftar nama-nama negeri yang
ditaklukkan oleh “Raja Sunan”, di antaranya adalah Kerajaan Panai (with
water in its bathing ghats, ‘lapang yang cukup diairi sungai-sungai‘).
Pusat Kerajaan Panai purba terletak di antara aliran Sungai Barumun dan
Sungai Panai. Di wilayah tersebut terdapat peninggalan candi Hindu
aliran Tantrik Bhainawa. Candi dibangun pada masa setelah penyerangan
Cola (1025 M) sampai dengan masa pendudukan Majapahit (1365 M), yang
kemudian merebut Panai (lihat Negarakertagama). Meskipun biara-biara itu
tidak meninggalkan nama raja-raja dan peristiwa sejarah, tetapi
inskripsi yang ditemukan memakai tulisan Melayu kuno, seperti yang
terdapat di dinding Candi Sitopayan, yang bertulisan “berbuat biyna” dan
inskripsi Gunung Tua (1024 M) yang bertulisan “Juru Pandai
suryyaberbwat bhatara lokanata”. Inskripsi ini menunjukkan bahwa
penguasa yang memerintahkan pembuatan candi adalah orang Melayu,
sebagaimana dikatakan oleh Dr. Schnitger dalam bukunya The Forgotten
Kingdoms in Sumatera.
b. Haru
Kerajaan Melayu tua lainnya
adalah Kerajaan Haru atau Aru. Menurut kisah dalam Hikayat Raja-raja
Pasai dan dalam Sejarah Melayu, kerajaan tersebut diislamkan oleh
Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad. Keduanya merupakan rombongan dari
Madinah dan Malabar, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudra
Pasai, pada pertengahan abad ke-13. Marco Polo sempat bertemu
Malikulsaleh yang terkenal dengan nama Merah Silu pada tahun 1292 M.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Haru setidak-tidaknya sudah Islam
sejak akhir abad ke-13 M (Sinar, 1981b: 29–31).
Kerajaan Haru
meliputi wilayah pesisir Sumatera Timur, yaitu dari batas Temiang sampai
Sungai Rokan. Kerajaan ini sudah beberapa kali mengirim misi ke
Tiongkok. Yang pertama di tahun 1282 M, pada zaman pemerintahan Kubilai
Khan (Sinar, 1976). Hasil-hasil penggalian di kota Cina (Labuhan Deli)
juga membuktikan bahwa wilayah itu merupakan wilayah ekonomi yang
potensial untuk berdagang dengan Cina (Krisnon dan Sinar, 1974).
Kerajaan Haru juga pernah ditaklukkan oleh Kertanegara dalam ekspedisi
Pamalayu (1292). Dalam Pararaton ditulis “Haru yang bermusuhan”. Akan
tetapi setelah itu Haru pulih kembali dan menjadi makmur, sebagaimana
dicatat oleh orang Persia, Fadiunllan bin Abdul Kadir Rashiduddin dalam
bukunya Jamiul Tawarikh pada tahun 1310 M. Haru kemudian ditaklukkan
Majapahit (1365), seperti tertera dalam syair Negarakertagama seloka 13:
1. Selain itu, Haru (Harw) juga ditaklukkan Panai (Pane) dan Kompai
(Kampe) di Teluk Haru. Dalam laporan Tiongkok abad ke-5 juga disebutkan
bahwa Haru (kerajaan Islam) berkali-kali mengirim misi ke Cina (Ma Huan,
1451: 7919). Laporan-laporan Cina dan laporan-laporan Portugis
menunjukkan bahwa pusat Kerajaan Haru berada di sekitar Sungai Deli. Di
sana terdapat bendera Cina dan Medina (Medan), sebagaimana yang disebut
oleh Laksamana Turki Ali dalam Al Muhit (Ferrand, 1914: 42).
Pada
abad ke-15 Haru sudah menjadi kerajaan terbesar di Sumatera dan ingin
menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka. Oleh karena itu, Haru
menduduki Pasai dan menyerang Melaka berkali-kali, seperti disebut
dalam Sejarah Melayu. Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran
Kerajaan Haru setaraf dengan Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing
menyebut dirinya “adinda”. Semua surat dari Haru yang datang ke Melaka
harus disambut dengan upacara kebesaran negara. Kebesaran Haru juga
diakui oleh Portugis (Ferrand, 1914: 484–541). Portugis berusaha
menjalin persahabatan dengan Haru agar terjadi pertentangan dengan Pasai
dan Melayu Melaka. Akan tetapi ketika bekas Sultan Melaka (Sultan
Mahmudsyah I) diserang oleh Portugis di pengungsiannya di Bintan, Sultan
Haru bersama Sultan Husin datang membantu Melaka. Oleh karena itu,
Sultan Haru dinikahkan dengan putri sultan yang bernama Raja pada tahun
1520 M. Ribuan orang dari Johor dan Bintan berangkat mengiringi tuan
putri kesayangan Sultan Mahmudsyah itu pindah ke Haru. Hal ini
memperkuat proses Melayunisasi di Haru (Mills, 1925: 31–39). Kedatangan
ratusan abdi Kraton Melayu dari Bintan mempercepat proses Melayunisasi
di Haru. Hubungan mesra antara Haru dengan Imperium Melayu di Riau-Johor
membawa malapetaka bagi kedua kerajaan, karena Imperium Aceh yang
muncul kemudian merasa tersinggung.
Dalam Sejarah Melayu (cerita
ke-24) disebutkan bahwa pada periode 1477-1488 M. Haru dipimpin oleh
Maharaja diraja, Putra Sultak Sujak, “yang turun daripada Batak Hilir di
kota Hulu, Batak Hulu, di kota Hilir”, atau mungkin saja kata “Batak”
sengaja dihilangkan untuk menghindarkan anggapan penghinaan karena nama
“Batak” menunjuk pada daerah pedalaman yang pada masa itu masih
terbelakang dan belum Islam. Dengan kalimat itu dimaksudkan supaya
daerah yang terletak di pesisir menjadi Melayu (masuk Melayu; masuk
Islam). Adapun di antara nama pembesar-pembesar Haru yang disebut
Sejarah Melayu, seperti nama Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat,
merupakan nama yang mirip dengan nama-nama Karo. Di Hulu Deli ada daerah
bernama Urung Serbayaman, yang merupakan nama salah satu Raja Urung
Melayu di Deli yang berasal dari Karo.
c. Siak
Nama Siak sudah
tercantum dalam Negarakertagama sebagai daerah yang ditaklukkan
Majapahit pada tahun 1365 M. Pada mulanya Raja Siak mengaku sebagai
keturunan Nila Pahlawan, saudara Nila Utama, yaitu makhluk yang turun di
Bukit Siguntang Mahameru. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyursyah
Akbar (1458–1477 M) di Melaka, kerajaan Siak diperintah seorang raja
yang masih beragama Hindu bernama Maharaja Permaisura. Siak ditaklukkan
oleh ekspedisi militer Melaka yang dikepalai oleh Khoja Baba yang
berasal dari India dan bergelar Ichtiar Muluk.
Putra Maharaja
Permaisura yang bernama Megat Kudu diislamkan dan dinikahkan dengan Raja
Dewi, putri Raja Melaka, kemudian dinobatkan/ditabalkan sebagai Sultan
Siak bergelar Sultan Ibrahim. Dari pernikahan ini lahir putranya yang
bernama Abdullah dan bergelar Sultan Khoja Ahmadsyah. Sultan Ahmadsyah
menggantikan ayahnya sebagai Raja Siak. Raja Abdullah berputra tiga
orang, yaitu Raja Jamal, Biyazid, dan Raja Isap. Jamal dan Biyazid
tinggal di Bintan. Biyazid kemudian bergelar Gocah Pahlawan, yang
merupakan gelar Laksamana Khoja Bintan. Raja Isap kemudian bergelar
Marhom Kasab dan menikah dengan Putri Fatimah, anak Sultan Mansursyah
atau cucu Raja Sulong bin Raja Mahmud (Ahmad), yang merupakan cikal
bakal dinasti Sultan Perak yang awalnya diangkat oleh Aceh.
Pada
saat Melaka diperintah Sultan Alauddin Riayatsyah I, Raja Siak ingin
melepaskan diri dari Melaka dengan cara menghukum mati seorang terpidana
tanpa meminta izin Melaka. Mendengar kejadian ini Sultan Melaka
mengirim Laksamana Hang Tuah yang kemudian menuding Bendahara Siak Tun
Jana Pakibul di depan majelis sambil berkata, “Tuanku, nampak-nampaknya
di sekeliling Tuanku, orang-orang tua yang tidak tahu adat, tidak ingat
semua hukuman bunuh harus minta izin Melaka dahulu”. Raja Siak lalu
meminta maaf.
d. Rokan
Rokan merupakan kerajaan Melayu tua
yang terletak di Sumatera Timur. Dalam Sejarah Melayu disebutkan bahwa
putra dan pengganti Sultan Maharaja Muhammadsyah Melaka bernama Raja
Ibrahim yang sejak kecil dipengaruhi oleh nenek dari pihak ibu, yaitu
Raja Rokan, sehingga ketika menjadi raja bergelar Sultan Sri Parameswara
Dewa Syah (1445–1450 M). Ketika ia masih kecil pemerintahan dipangku
oleh neneknya, Raja Rokan, yang konon bertindak sesuka hatinya sehingga
dibenci Melaka. Saudara sultan bernama Raja Kasim. Dengan restu
Bendahara, dia merebut tahta dan membunuh Sri Parameswara Dewa Syah dan
neneknya. Setelah itu Bendahara memproklamasikan dirinya menjadi Raja
Melaka dan bergelar Sultan Muzafansyah (1450–1458 M).
e. Kampar
Negeri
lain di Sumatera Timur yang termasuk tua adalah Kampar. Kampar
ditaklukkan oleh Melaka di bawah pimpinan Tun Mutahir dan harus menerima
instruksi langsung dari Melaka. Kampar sangat strategis, karena
merupakan jalur lalu lintas pengiriman emas dan lada dari Minangkabau.
Dalam Sejarah Melayu diberitakan bahwa kakak Sultan Mahmudsyah Melaka,
yaitu Sultan Munawarsyah, telah diangkat menjadi Raja Kampar pada tahun
1505 M. Dia kemudian mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar
Sultan Abdullah. Kampar yang dimaksudkan adalah Pelalawan yang
kerajaannya berkedudukan di Pekan Tua. Pada mulanya yang menjadi raja
adalah Maharaja Jaya yang beragama Hindu. Menurut legenda rakyat, negeri
itu dulu didirikan oleh Maharaja Dinso (Fals, 1882).
Sultan Abdullah
Kampar kemudian menjadi menantu Sultan Mahmudsyah Melaka. Walaupun
menantu, dia tidak setia. Saat Portugis menyerang dan menguasai Melaka
pada tahun 1511 M dan mertuanya menjadi buronan Portugis, Sultan
Abdullah malah berbaikan dengan Portugis yang kemudian mengangkatnya
sebagai Bendahara orang-orang asing di Melaka.
Sultan Mahmudsyah
yang saat itu bersemayam di Bintan mengirim armada yang dikepalai
menantunya yang lain, Raja Lingga, tetapi Kampar diselamatkan oleh
armada Portugis di bawah pimpinan Jorge Botelho, dan langsung
mengungsikan Abdullah ke Melaka. Kemudian Sultan Mahmudsyah menyebarkan
kabar angin ke Melaka, seakan-akan Abdullah secara rahasia mempersiapkan
pemberontakan terhadap Portugis. Mendengar berita ini orang Portugis
curiga dan termakan kabar tersebut, sehingga Abdullah ditangkap dan
dihukum gantung di Malaka. Kejadian ini membuktikan ketidaksetiaan
Portugis dan merupakan tamsil bagi Gubernur Jenderal Belanda, Pieter
Both seperti termuat dalam suratnya kepada Sultan Tidore tahun 1612
(Verhoeff, 1645). Sultan Mahmudsyah dikejar-kejar Portugis dari Bintan,
sehingga ia harus bertahan di Kampar (Pelalawan) sampai mangkatnya pada
tahun 1528 M (Marhum Kampar).
3. Pertentangan Segi Tiga: Aceh, Portugis, Dan Imperium Melayu Riau-Johor
Jatuhnya
Imperium Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 berpangkal dari
kelemahan-kelemahan dalam negeri sendiri. Raja-raja Melaka yang
menyerahkan urusan perdagangan ke tangan orang-orang asing tetap
menerapkan pajak yang tinggi, sehingga pedagang-pedagang asing mendekati
Portugis. Administrasi pemerintahan raja yang lemah menimbulkan
perebutan kekuasaan, padahal persenjataan dan taktik perang yang
dimiliki juga lemah. Tentara Portugis yang kurang dari dua ribu orang
dapat mengalahkan puluhan ribu laskar Melaka dan merampas lebih dari dua
ribu pucuk meriam. Dengan mangkatnya Raja Melaka terakhir, Sultan
Mahmudsyah Marhum Kampar, timbul situasi politik baru, terutama pada
masa pemerintahan Sultan Alauddinsyah (1537-1568). Di bagian Utara juga
timbul kekuatan baru, yaitu Aceh.
Sultan Aceh dengan bantuan
ahli-ahli militer Turki dan India mulai menyerang benteng Portugis di
Melaka dan menyerang Haru. Menurut seorang warga Portugis, Ferdinand
Mendes, yang menuliskan pengalamannya dalam Perigrinaao (Cogan, 1892:
28-77), penyerangan Al Qahhar ke Haru terjadi pada bulan November 1539.
Menurut Mendes, Haru hanya dipertahankan oleh sebuah meriam besar yang
dibeli di Panai dari orang Portugis. Benteng Haru dikepung selama tujuh
belas hari, tetapi tidak dapat direbut. Akhirnya pasukan Aceh menyogok
dengan uang emas, sehingga pasukan yang bertahan lengah dan benteng
dapat direbut Aceh. Sultan Haru tewas, tetapi permaisurinya, Anchesin
sempat lolos dan berlayar ke Melaka. Di Melaka rombongannya disambut
dengan hormat, tetapi Portugis tidak menjanjikan bantuan apa-apa.
Permaisuri Haru kemudian berangkat ke Bintan yang merupakan tempat
kedudukan Sultan Riau-Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II. Sultan
Alauddin Riayatsyah II merupakan putra dan pengganti Almarhum Sultan
Mahmudsyah (Marhum Kampar). Permaisuri Haru kemudian diperistri Sultan
Alauddin dengan syarat Haru dikembalikan. Sultan Alauddin kemudian
membuat surat kepada Sultan Aceh Al Qahhar yang menuntut agar Haru
dikembalikan kepada Imperium Melayu, sebab permaisuri Haru sudah menjadi
istrinya.
Setelah menerima surat itu, Al Qahhar sangat murka. Ia
kemudian mempersiapkan armada dan pasukan yang kuat untuk menyerang
Imperium Melayu Riau-Johor, tetapi penyerangan itu didahului oleh
balatentara Riau-Johor yang dipimpin oleh Laksamana dan berhasil merebut
Haru pada tahun 1540. Pada tahun 1564, Al Qahhar membalas sakit hatinya
dan merebut Johor Lama dalam penyerangan yang tiba-tiba. Al Qahhar juga
menghukum mati Sultan Alauddin Riayatsyah II yang kemudian diberi gelar
Marhum Syahid Mangkat Di Aceh. Sejak itu Aceh menempatkan putra-putra
Sultan Aceh menjadi sultan di Haru. Haru kemudian disebut Gori atau
Guri.
Pada masa pemerintahan Sultan Riayatsyah II (Saidi
Mukammil) yang memerintah Aceh pada tahun 1589-1604, Haru (Guri)
memberontak kembali. Pemberontakan Haru (Guri) kali ini dipimpin oleh
seorang panglima yang diawasi Merah Silu. Dengan mengumpulkan pemimpin
rakyat di gunung, mereka bermusyawarah dan berpaling dari Aceh, kemudian
merajakan Sultan Riau-Johor sebagai Raja Haru (Guri).
Aceh beberapa
kali mengirim gajah dan armada untuk menghancurkan pemberontakan itu dan
sekaligus menyerang Johor. Meskipun Batusawar dapat dikepung oleh Aceh,
tetapi di pihak Aceh terjadi banyak korban. Benteng tidak dapat direbut
dan pasukan Aceh kehabisan bahan makanan, sehingga Aceh terpaksa mundur
kembali. Haru berpaling ke Johor pada tahun 1599. Kejadian ini juga
disebutkan oleh seorang warga Inggris, John Davis, ketika berada di Aceh
(Purchas, I: 123).
Pada akhir abad ke-16, nama Haru (Guri)
hilang dan timbul nama Deli dengan ibukota Deli Tua. Sementara itu, di
Aceh naik seorang raja bernama Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Pada
tahun 1612 dia menaklukkan Deli dengan pasukan seratus ekor gajah perang
dan dengan sistem lubang-lubang pertahanan. Dalam Hikayat Aceh
disebutkan kisah Sultan Alauddin Riayatsyah Saidi Mukammil yang
meramalkan tentang cucunya, Sultan Iskandar Muda. Sabda Syah Alam:
“Cucuku inilah bernama Muhammad Hanafiah, yang pada akhir zaman
mengalahkan Deli dan menangkap Merah Silu dan berhamba Raja Johor dan
segala raja-raja Melayu dan mengalahkan segala raja-raja yang tiada mau
tunduk ke Aceh”. Dengan demikian jelas bahwa Deli sama dengan Haru
(Guri) yang memberontak Pasai pimpinan Merah Silu. Sultan Iskandar Muda
sangat bangga dapat menaklukkan Deli (bekas Haru) yang sulit ditundukkan
oleh raja-raja Aceh sebelumnya. Hal ini diungkapkan dalam suratnya
kepada King James dari Inggris (Shellebear, 1898: 125–127).
Nama
Deli kemungkinan berasal dari bahasa Karo “Deling” yang berarti gunung,
karena ibukota Deli Tua berada di pinggir Sungai Petani yang merupakan
batas wilayah Melayu dengan Karo. Di wilayah ini dikenal Hikayat Puteri
Hijau yang erat hubungannya dengan penyerangan Sultan Aceh Al Qahhar ke
Haru pada tahun 1539.
Hikayat Putri Hijau seperti yang dikisahkan
oleh Mendes adalah sebagai berikut. “Di hulu Sungai Petani (di hilir
bermuara Sungai Deli) terdapat kampung Siberraya. Di sana lahir Putri
Hijau yang cantik bersama saudara kembarnya, seekor naga (ular
Simangombus) dan sebuah meriam (Meriam Puntung). Karena rakyat tidak
sanggup lagi memenuhi bahan makanan, rakyat di sana lalu pindah ke hilir
dan membuat benteng di Deli Tua. Negeri itu menjadi makmur dan berita
kemakmurannya tersebar ke Aceh. Sultan Aceh berkeinginan meminang Putri
Hijau, tetapi ditolak sehingga terjadi peperangan. Aceh sudah berusaha
keras untuk merebut benteng Deli Tua, tetapi belum berhasil. Oleh karena
itu Aceh menyebarkan ribuan uang emas sehingga pasukan Deli yang
bertahan di benteng lengah. Kesempatan ini digunakan Aceh untuk menyerbu
dan menduduki benteng. Hanya sang Meriam saja yang terus menembak,
sehingga sang Meriam menjadi panas dan moncongnya putus, kemudian jatuh
di Kampung Sukamalu (sisanya tersimpan di halaman Istana Maimon Medan).
Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu sang Naga kemudian
menggendong Putri Hijau dan menyelamatkannya melalui sebuah terusan (Jl.
Puteri Hijau Medan sekarang) dan memasuki Sungai Deli dan akhirnya
sampai di Selat Melaka. Menurut legenda, mereka kini berdiam di bawah
laut dekat Pulau Berhala” (Middendorp, BGKW II: 164). Dari uraian ini
terlihat bahwa titik hubungan antara putri, meriam, dan muslihat dengan
uang emas dan naga sebenarnya adalah perahu yang berkepala naga.
Sultan
Iskandar Muda berhasil merebut hampir semua negeri di Semenanjung
Melaka, di pantai Barat dan Timur Sumatera pada tahun 1624. Indragiri
dan Jambi menjadi terancam. Kerajaan Gasib yang terletak di Sungai Gasib
(salah satu cabang Sungai Siak) mempunyai wilayah yang meliputi daerah
Tapung sampai Bukit Seligi dan Bukit Langa. Kerajaan ini juga
dihancurkan oleh bala tentara Aceh dengan bantuan orang Pandan dengan
cara membuat terusan yang sekarang dikenal dengan Sungai Buatan.
Selanjutnya negeri ini ditaklukkan Johor dengan menempatkan seorang
pembesar di Bintan (Schedel, 1885: 218–235).
Mangkatnya Sultan
Iskandar Muda menyebabkan ekspansi Aceh mulai mengendur, sehingga
peluang bagi Belanda untuk merebut Malaka terbuka, dan ini terbukti
dengan jatuhnya Melaka pada tahun 1641.
4. Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
Pada
abad ke-17 sukubangsa Karo (Karo Jahe) turun ke wilayah pesisir dan
mendirikan urung (negeri) di Langkat, Deli, dan Serdang. Dalam kurun ini
juga lahir beberapa kerajaan kecil di pesisir Sumatera Timur.
a. Deli dan Serdang
Salah
seorang panglima Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah
Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan. Ia menjadi Wali Negara di
Deli. Panglima Khoja Bintan berusaha meningkatkan wibawanya untuk
memperlancar proses Islamisasi (Melayunisasi) dengan jalan mendekati
empat raja urung di Deli yang berasal dari Karo dan beragama Islam. Ia
juga menikah dengan adik Datuk Sunggai, yaitu raja urung yang terkuat
pada masa itu. Sebagai hadiah pernikahan, ia diangkat sebagai Panglima
Kerajaan Bintan kawasan pesisir Deli dan berdudukan sebagai wakil Aceh.
Ia menjadi primus inter pares di antara raja-raja itu. Pada masa
pemerintahan putranya, Tuanku Panglima Perunggit, Aceh menjadi lemah,
terutama sejak pemerintahan dipegang oleh raja-raja wanita (mungkin
mengikuti jejak negeri-negeri di Sumatera Barat). Kesempatan ini
digunakan Deli untuk memproklamasikan kemerdekaannya dari Aceh pada
tahun 1699 (Sinar, 1980a). Kemudian Deli berhubungan dengan VOC di
Betawi dan Melaka.
Pada zaman pemerintahan putra Perunggit, yaitu
Tuanku Panglima Paderap, pada awal abad ke-18 terdapat ancaman dari
Siak. Pemerintahan Imperium Melayu Riau-Johor mulai lemah di bawah
kekuasaan Sultan Mahmudsyah II yang terbunuh pada tahun 1699 (dan diberi
gelar Marhum Mangkat Di Julang). Sejak itu Bendahara Tun Habib Amudi
Nadji menjadi raja Johor dan keturunan raja-raja Melaka putus. Peristiwa
ini menimbulkan kekacauan yang lebih besar, terutama dengan munculnya
Raja Kecil dari Minangkabau melalui Siak yang mengaku dirinya sebagai
putra Marhum Mangkat Di Julang. Dia berhasil merebut ibukota Johor dan
memproklamasikan dirinya dengan gelar Sultan Djalil Rahmatsyah pada 21
Maret 1717.
Dengan meninggalnya Panglima Paderap di Deli, terjadi
perang saudara di antara ke-4 putranya, sehingga putra mahkota (bungsu)
terpaksa mengungsi ke wilayah Serdang dan mendirikan Kerajaan Serdang
pada tahun 1720, sedangkan kakaknya, Panglima Gandar Wahid menjadi raja
di Deli. Saat pemerintahan putra Gandar Wahid, yaitu Tuanku Amal, Siak
menaklukkan Deli (1780), kemudian Amal diangkat menjadi Sultan Panglima
Mangedar Alam Deli dengan akta Sultan Siak tertanggal 8 Maret 1814.
Sultan Amal pernah ditemui John Anderson yang berkunjung ke Deli pada
tahun 1823 (Edinburgh, 1826: 305–306; Sinar, 1970a: 33–47).
Di
Serdang, keturunan Tuanku Umar Kejeruan Junjungan melebarkan wilayahnya
ke Denai, Perbaungan, Serbajadi, Percut, Padang, Bedagai, dan Senembah,
sampai ke pegunungan yang dihuni orang Karo dan Simalungun. Pada zaman
cucunya, Sultan Thaf Sinar Basyarsyah (1790–1850), Serdang merupakan
kerajaan yang makmur dan tenteram, seperti kesan John Anderson ketika
berkunjung ke wilayah tersebut, pada tahun 1823.
b. Langkat
Kerajaan
Langkat didirikan oleh Dewa Syahdan yang konon datang dari arah pantai
dan naik ke gunung, dan kemudian diangkat menjadi anak boru Raja Karo
Sibayak Kuta Buluh. Dari sana ia kembali ke Deli Tua. Putranya bernama
Dewa Sakti dan bergelar Kejeruan Hitam. Putra Dewa Sakti, Marhom Guri,
dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak (bekas wilayah Guri). Nama itu
menunjukkan keterkaitannya dengan Kerajaan Haru (Guri) yang terletak di
sekitar wilayah ini. Adik perempuan Dewa Sakti juga bernama Putri Hijau.
Keduanya hilang dan tidak diketahui rimbanya.
Pada pertengahan abad
ke-18, putra Raja Kahar yang bernama Baduzzaman berhasil memperluas
Kerajaan Langkat. Raja Baduzzaman mempunyai empat putra, yaitu Kejeruan
Tuah Hitam, Raja Wan Jabar (Selesai), Raja Syakban (Pungai), dan Raja
Indera Bungsu yang berdiam di Kota Dalam. Keempatnya memerintah dengan
otonomi luas di bawah pimpinan Kejeruan Tuah Hitam sampai abad ke-19.
Sejak
tahun 1780 Langkat sudah diduduki Siak. Untuk menjamin kesetiaannya,
putra Kerajaan Hitam yang bernama Nobatsyah dan putra Indra Bungsu yang
bernama Raja Ahmad dibawa ke Siak dan masing-masing dinikahkan dengan
putri Siak, yaitu Tengku Fatimah dan Tengku Kanah. Raja Ahmad mempunyai
seorang putra yang bernama Tengku Musa. Pada awal abad ke-19 Nobatsyah
dan Raja Ahmad kembali ke Langkat untuk memegang pemerintahan dan
masing-masing bergelar Raja Bendahara Kejeruan Jepura Bilad Jentera
Malai dan Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat. Menurut John
Anderson yang melawat ke Langkat pada 1823, beberapa tahun kemudian
terjadi perang saudara di antara mereka. Kedua raja itu tewas terkena
racun. Raja Langkat digantikan oleh Tengku Pangeran Musa dari Siak.
c. Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai.
Raja-raja
Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai mempunyai hubungan keluarga.
Menurut cerita, Batara Sinomba dari Minangkabau menikah dengan adiknya
sendiri (mungkin maksudnya satu marga, yaitu Nasution). Batara Sinomba
dan istrinya diusir dan sampai di Tapanuli Selatan. Suami istri tersebut
menetap di Pinang Awan, dekat Sungai Barumun. Batara Sinomba dirajakan
di Air Merah. Mereka kemudian mempunyai dua putra dan seorang putri yang
bernama Siti Onggu.
Batara Sinomba menikah lagi dan istri
mudanya berkeinginan agar putranya ditunjuk sebagai pengganti ayahnya.
Oleh karena itu, istri kedua berusaha mengusir putra Batara Sinomba dari
istri pertama. Usahanya berhasil. Dua putra Batara Sinomba dari istri
pertama dendam dan menemui rombongan Sultan Aceh yang kebetulan lewat di
situ. Tentara Aceh tersebut ternyata mempunyai masalah dengan Batara
Sinomba, sehingga akhirnya Batara Sinomba terbunuh, kemudian diberi
gelar Marhum Mangkat Di Jambu.
Siti Onggu dibawa orang Aceh dan
diperistri Sultan Aceh. Lama-kelamaan putra Batara Sinomba dari istri
pertama rindu dan ingin mengetahui nasib Siti Onggu. Oleh karena itu,
mereka pergi ke Asahan menemui Haro-haro yang pandai mengadu ayam.
Mereka bertiga pergi ke Aceh untuk menebus Siti Onggu. Sultan Aceh
mengajak mereka untuk mengadu ayam. Ayam Sultan kalah dalam pertandingan
dan terpaksa melepaskan Siti Onggu yang sedang hamil tua. Siti Onggu
boleh dibawa pulang dengan syarat apabila bayi yang lahir laki-laki
harus menjadi raja di Asahan. Setelah mereka kembali, Siti Onggu
melahirkan seorang putra yang kemudian dirajakan di Asahan dengan gelar
Sultan Abdul Jalil (Marhum Mangkat Di Tangkahan Sitarak).
Selanjutnya
Siti Onggu menikah dengan Haro-haro. Setelah masuk Islam, Haro-haro
bernama Raja Bolon. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama
Abdul Karim, yang disebut bangsawan Bahu Kanan. Haro-haro menikah lagi
dengan putri Raja Siman Golong dan memperoleh dua putra, masing-masing
bernama Abdul Samad dan Abdul Kahar. Keturunan mereka disebut bangsawan
Bahu Kiri.
Cicit Sultan Asahan yang bernama Sultan Abdul Jalil II
pernah membantu Raja Ismail dalam merebut tahta Siak dari tangan Raja
Alam (1771). Setelah berhasil, maka Siak memberinya gelar “Yang
Dipertuan”. Berdasarkan gelar ini, Sultan Yahya dari Siak dalam suratnya
kepada Gubernur Belanda di Melaka pada tahun 1791 menyebutkan bahwa
Asahan adalah jajahannya dan ini ditentang oleh Asahan sendiri.
Cucu
Sultan Abdul Jalil II adalah Raja Musa dan Raja Ali. Raja Musa menjadi
raja di Asahan. Ketika Raja Musa mangkat, putranya masih dalam
kandungan. Oleh karena itu pemerintahan digantikan oleh adiknya, Raja
Ali. Raja Ali mempunyai seorang putra yang bernama Husin dan seorang
putri yang bernama Raja Siti. Raja Siti menikah dengan Sultan Deli
dengan mas kawin daerah Bedagai, dan putra yang lahir dari pernikahan
tersebut harus menjadi raja di Bedagai.
Sultan Musa mempunyai
putra bernama Raja Ishak. Ketika Sultan Musa mangkat, di Asahan pecah
perang saudara antara Raja Husin (putra Sultan Ali) dengan Raja Ishak
(putra Sultan Musa). Situasi ini ditemui John Anderson ketika ia
berkunjung ke Asahan pada tahun 1823. Perang saudara itu diakhiri dengan
perdamaian. Dalam perdamaian ditetapkan bahwa Raja Husin menjadi sultan
dan Raja Ishak menjadi Rajamuda Asahan merangkap Raja Kualuh-Leidong.
Pada
tahun 1835, Sultan Ismail dari Siak menyerang Asahan. Angkatan perang
Siak yang dipimpin oleh Tengku Panglima Besar berhasil menundukkan
Asahan. Pengganti Sultan Husin adalah putranya, yaitu Sultan Ahmadsyah
(1854). Sultan Ahmadsyah ini terkenal gigih dalam melawan Belanda dan
akhirnya dibuang ke Ambon oleh Belanda pada tahun 1865.
Seperti
sudah disinggung di atas, ketiga putra Marhum Mangkat Di Jambu yaitu
Raja Indera, Raja Segar, dan Raja Awan masing-masing diberi kekuasaan
dan wilayah sendiri. Raja Indera sebagai putra tertua menetap di Kumbul
dan menjadi zuriat Raja Panai dan Raja Bilah. Raja Segar menetap di
Sungai Tunas dan Raja Awan menjadi zuriat Raja-raja Kotapinang.
Ketika
pasukan Siak ke Panai dan Bilah pada tahun 1835, raja-raja tersebut
tunduk dan diharuskan membantu menyerang Asahan. Akan tetapi Panai
membantu setengah hati, sehingga serangan Siak gagal. Namun, tentara
Siak sempat masuk ke Panai dan Raja Sultan Mangedar Alam lari ke
Kotapinang. Raja Kotapinang, Sultan Busu, berikrar dengan Raja Panai
menentang Siak, tetapi ternyata Kotapinang ingkar janji, sehingga Panai
terpaksa meminta ampun dan membayar upeti sebesar $2.000 pada Siak.
5. Negeri-Negeri Di Batubara
Pada
tahun 1717 Raja Kecil meresmikan Pemerintahan Suku di Batubara.
Penduduknya adalah pendatang dari Minangkabau, tetapi adat yang
matriarchat diganti dengan adat Melayu pesisir yang parental.
Kenyataannya, pembagian empat suku di Batubara hanya sebagai pembagian
teritorial saja. Pada mulanya ada empat suku, tetapi kemudian bertambah
satu hingga berjumlah lima suku, yaitu Suku Lima Laras, Tanah Datar,
Pesisir, Limapuluh, dan Boga. Masing-masing daerah dikepalai seorang
datuk yang dikoordinir oleh seorang bendahara dari Siak. Datuk kepala
suku membentuk dewan. Dewan ini memilih anggota suku untuk jabatan
seorang syahbandar yang dipilih dari Suku Tanah Datar; seorang
jurutulis, yang dipilih dari Suku Limapuluh; seorang mata-mata yang
dipilih dari Suku Lima Laras; dan seorang mengulu batang, yang dipilih
dari Suku Pesisir.
Dewan ini sekaligus sebagai wadah untuk saling
mengawasi. Sistem pemerintahan di Batubara mengandung unsurunsur
demokrasi. Setiap datuk suku dipilih oleh para Tungkat (kepala kampung)
dari turunan datuk yang cukup memenuhi syarat. Para Tungkat pun dipilih
oleh para tetua kampung.
Di wilayah Suku Boga ada dua orang yang
memperebutkan kedudukan, yaitu Datuk Tumenggung dan Datuk Indra Muda.
Datuk Tumenggung memperoleh cap (regalia) dari Siak dan Datuk lndra Muda
mendapat cap dari Tengku Besar Pelalawan. Kemudian Asahan ikut campur
tangan dan mengusir kedua datuk tersebut dari Batubara. Negeri-negeri
yang berada di Batubara adalah sebagai berikut.
a. Siak
Pada
tahun 1717 Raja Kecil Siak berhasil menduduki singgasana Imperium Melayu
Riau-Johor dengan jalan menurunkan Sultan Johor, Tun Habib Abdul Majid,
ke jabatan semula yaitu menjadi bendahara. Putra Raja Sulaiman berhasil
membuat sumpah setia untuk bekerja sama dengan empat daeng dari Bugis.
Kemudian mereka berhasil mengenyahkan Raja Kecil yang berulang kali
berusaha menghadapi orang Bugis, terakhir pada tahun 1737. Akan tetapi
kerjasama Bugis-Melayu tidak selamanya berjalan mulus. Raja Sulaiman
juga meminta bantuan kepada VOC dengan janji akan menyerahkan Siak
kepada Belanda dengan akta tertanggal 14 Desember 1745. Bantuan VOC
tersebut dimaksudkan untuk menertibkan Siak.
Sementara itu di
Siak terjadi pertikaian antara dua putra Raja Kecil, yaitu Raja Alam dan
Raja Muhammad. Raja Muhammad dibantu oleh VOC dengan menempatkan satu
detasemen tentara di Pulau Guntung di bawah pimpinan Letnan Daniel
Poppel pada bulan Maret 1755. Satu eskader Belanda dapat mengusir Raja
Alam dan menempatkan Raja Muhammad sebagai Raja Siak. Akan tetapi Raja
Muhammad tidak lama bersekutu dengan Belanda, karena Raja Muhammad
merampas kapal Belanda di Selat Melaka. Dengan alasan bahwa Raja
Muhammad mengepalai bajak laut, maka Belanda bekerja sama dengan Raja
Alam mengusirnya. Akibat pengkhianatan Belanda ini Raja Muhammad
menyerang Pulau Guntung dan berhasil membunuh semua detasemen Belanda
pada tanggal 6 November 1759 (Netschen, 1870).
Raja Muhammad
mangkat pada tahun 1760. Kesempatan ini dipergunakan Belanda untuk
mengakui Raja Alam sebagai Raja Siak disertai dengan penandatanganan
perjanjian pada tanggal 16 Januari 1761. Perjanjian itu menetapkan bahwa
Belanda berhak memonopoli perdagangan untuk mengganti kerugian Belanda
akibat peristiwa Pulau Guntung. Rakyat Siak dan orang-orang besarnya
terus menentang Belanda, sehingga terjadi pertempuran antara Siak dengan
Belanda. Akan tetapi perlawanan Siak dapat dipatahkan Belanda di
Hamparan pada tanggal 17 Juni 1761. Raja Ismail, putra dan pengganti
Raja Muhammad beserta keluarga dan pembesar Siak menyingkir ke
Pelalawan, kemudian ke Langkat.
Raja Alam mangkat pada tahun 1766 dan
digantikan oleh putranya, Sultan Muhammad Ali. Sementara itu Raja
Ismail dan pengikutnya bermarkas di Sungai Rokan dan berulang kali
menyerang Siak, tetapi tidak berhasil. Mereka baru berhasil pada bulan
Agustus 1778. Muhammad Ali menyerah, kemudian diangkat menjadi Raja Muda
Siak. Putra dan pengganti Sultan Ismail adalah Sultan Yahya (1781) yang
masih di bawah umur, sehingga pemerintahan dipangku oleh Raja Muhammad
Ali. Pada masa itu Siak mengirim tuan besar Habib Umar Assagaf untuk
memperbarui perjanjian Siak dengan VOC di Melaka yang diresmikan pada
tanggal 13 Februari 1783. Sultan Yahya merupakan orang yang lemah,
sehingga di istana banyak terjadi intrik.
Salah seorang yang
menentang Sultan Yahya adalah Said Ali, putra Said Usman. Ketika
Mangkubumi Muhammad Ali meninggal, Said Ali makin berani dan merebut
tahta Sultan Yahya dan bergelar Sultan Abdul Jalil Syaifuddin. Said Ali
kemudian bersahabat dengan Belanda. Sultan Abdul Jalil Syaifuddin
berhasil menegakkan kembali wibawa Siak terhadap beberapa negeri di
Sumatera Timur. Saudaranya, Tengku Said Abdurrahman memerintah di
Pelalawan, dan saudaranya yang lain, Tengku Busu alias Said Ahmad
dijadikan Tengku Panglima dan penguasa di Tebing Tinggi.
Pada tahun
1818 Sultan Said Ali turun tahta dan menaikkan putranya, Said Ibrahim,
menjadi Sultan Abdul Jalil Khaliluddin Syah. Sultan Ibrahim membuat
kontrak dengan Mayor Faguar dan John Anderson pada tahun 1823.
Karena
gila, Sultan Ibrahim diturunkan dari tahta pada tahun 1827 dan
digantikan oleh putra Said Ahmad yang bernama Tengku Said Muhammad.
Tengku Said Muhammad menikah dengan putri Sultan Ali yang bernama Tengku
Mandak. Pernikahan dapat terlaksana berkat bantuan Tengku Besar Said
Hasyim Pelalawan yang merangkap menjadi Raja Muda Siak, dengan
perjanjian bahwa raja yang akan datang adalah Tengku Said Ismail, putra
Sultan Said Muhammad.
Pada tahun 1840, Tengku Said Ismail menjadi
Sultan Siak. Pemerintahannya ditandai dengan banyaknya negeri di
Sumatera Timur yang diambil alih Aceh. Tiba-tiba kekuasaan Sultan Ismail
direbut oleh iparnya, Tengku Uda (Do), dan kemudian oleh Raja Muda
Tengku Putra, sehingga Sultan Ismail terpaksa meminta bantuan petualang
Inggris, Wilson. Sementara itu Belanda mencoba ikut campur tangan di
Siak dengan memaksakan Sultan Ismail menandatangani kontrak politik pada
tahun 1858. Akibatnya Belanda semakin berkuasa di Siak.
b. Pelalawan (Kampar)
Dalam
perjanjian tahun 1811 antara Siak dengan Pelalawan ditetapkan bahwa
Kerajaan Pelalawan berdiri sendiri dan diperintah oleh seorang sultan
yang disebut Tengku Besar Abdurrahman. Jika di Siak terjadi kekosongan
pemerintahan, Tengku Besar Pelalawan yang merangkap Raja Muda Siak
berhak menunjuk pengganti Raja Siak di antara keturunan Said Ali dan
Tengku Busu.
Pada waktu Tengku Ismail berkuasa di Siak, putra
tertua Said Abdurrahman, Said Hasyim menjadi Tengku Besar Pelalawan
(1821). Said Hasyim meninggal dunia pada tahun 1844 tanpa keturunan,
sehingga pemerintahan digantikan oleh adiknya, Said Hamid.
Pada masa
selanjutnya terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi
sultan. Adik-adik Said Hamid yang lain ingin menjadi sultan secara
bergiliran, sedangkan Said Hamid menginginkan yang menjadi sultan adalah
putranya, Tengku Kesuma Yudo. Keadaan ini mendorong Said Hamid
berhubungan dengan Belanda dengan perantara Siak. Sebelum Belanda campur
tangan, Said Hamid meninggal pada tahun 1865. Adiknya, Said Jaafar
menjadi penggantinya dan pemerintahan sehari-hari berada di tangan adik
bungsunya, Said Abubakar. Keadaan tersebut menimbulkan peselisihan lagi.
Perselisihan berawal ketika Jaafar menginginkan penggantinya kelak
adalah putranya, sedangkan Said Abubakar juga memiliki ambisi yang sama.
Pada
tahun 1873 Said Jaafar meninggal dan digantikan oleh Said Abubakar.
Pada tahun 1877 Said Abubakar berhubungan dengan Belanda dengan syarat
putranya, Tengku Sentul, akan menjadi penggantinya. Belanda menyetujui
persyaratan tersebut.
6. Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
Tambusai
(Dalu-dalu) merupakan ibukota Rantau Binuang yang terletak di antara
Sungai Sosa dan Batang Lubu. Raja negeri tersebut merupakan keturunan
Sultan Iskandar Zulkarnaen. Penduduknya berbahasa Mandailing dan
Minangkabau, tetapi menganut adat Melayu. Negeri-negeri di Rokan makmur
karena merupakan tempat transit hasilhasil wilayah pedalaman Sumatera
yang dijual ke Melaka, Singapura, Johor, dan Siak. Tidak berlebihan
kalau di negeri ini banyak orang kaya yang menunaikan ibadah haji ke
Mekah. Di antara rombongan haji yang pulang terdapat Imam Maulana Kadhi
dan putranya, Haji Muhammad Saleh.
Pada tahun 1820–1825
bergejolak paham Wahabi di Mekah yang bertujuan untuk memurnikan ajaran
agama Islam. Paham Wahabi ini ingin dikembangkan oleh para haji yang
kembali dari Mekah. Imam Maulana Kadhi dan Haji Muhammad Saleh berusaha
mengembangkan paham Wahabi itu kepada murid-muridnya di pesantren. Haji
Muhammad Saleh menekankan kepada Yang Dipertuan Rantau Binuang agar
memerintahkan kepada rakyat untuk melaksanakan ajaran Islam sejati dan
melarang adat lama yang bertentangan dengan agama. Pengaruh pembaharuan
Islam yang disampaikan ini menyebabkan Haji Muhammad Saleh diusir. Dia
kemudian mengembara sambil memperbanyak pengikut. Setelah merasa cukup
kuat, dia kembali ke Tambusai. Yang Dipertuan Rantau Binuang lalu
menyingkirkannya ke Tanah Putih (Siak). Keadaan ini menyebabkan Sultan
Siak menuntut supaya Tambusai tunduk kepada Siak, karena rajanya berdiam
di wilayah Siak.
Haji Muhammad Saleh kemudian bergelar Tuanku
Tambusai dan oleh sementara pihak dijuluki “Si Baleo” (pembawa
malapetaka). Gerakannya ditujukan ke daerah Kepenuhan, Rambah, Batang
Lubu, daerah Rao, Ulu Barumun, dan Padang Lawas. Gerakan Tuanku Tambusai
mendapat bantuan dari ulama lain, seperti Tuanku Rao. Gerakan Tuanku
Rao sampai ke wilayah Toba Utara. Bahkan Tuanku Rao dianggap Si Pokki
Nangolngolan, anak Ompu Palti. Ompu Palti adalah adik Sisingamangaraja X
yang telah raib karena dianggap mau merebut tahta.
Meskipun jasa
Tuanku Tambusai dalam pengislaman Tapanuli Selatan sangat besar, tetapi
tidak sedikit kekejaman yang dibuat atas namanya dengan bantuan Raja
Gadombang, Regent Mandailing. Hal ini membuat Belanda menyerangnya,
terutama setelah perlawanan Tuanku Imam Bonjol dipatahkan. Dalam
pertempuran hebat yang terjadi pada tanggal 28 Desember 1838, benteng
Dalu-dalu dapat direbut Belanda tetapi Tuanku Tambusai selamat dari
buruan Belanda. Sampai sekarang makamnya belum ditemukan. Ada yang
menyebut bahwa Tuanku Tambusai sempat lolos dan menyeberang ke Malaya.
Pada
masa itu juga Belanda memenuhi permohonan Kotapinang dan menempatkan
satu detasemen tentaranya dengan membuat benteng di daerah pertemuan
Sungai Panai dan Barumun, yaitu di Tanjong Ropiah. Benteng itu
meresahkan Inggris. Benteng tersebut juga pernah diserang oleh rakyat
dari arah laut.
7. Pertentangan Inggris-Belanda
Pada tanggal 1
Januari 1800, VOC bangkrut akibat korupsi dan kemudian dilikuidasi,
sehingga kekayaannya jatuh ke tangan Belanda yang berbentuk bataafsche
republiek. Pemerintahan Belanda dipegang oleh Napoleon dari Prancis.
Pada masa itu Prancis sedang berperang dengan Inggris. Jajahan VOC di
Nusantara sudah diambil alih Inggris, maka berdasarkan Konvensi London
tanggal 14 Agustus 1814, semua jajahan Belanda harus dikembalikan oleh
Inggris kepada Belanda. Hal ini tidak menyenangkan hati Raffles
(Gubernur Bengkulu dari Inggris dan bekas Letnan Gubernur Inggris di
Jawa). Raffles memerintahkan Farcuhar mengadakan perjanjian dengan
beberapa raja yang berkuasa di Pontianak, Riau, dan Siak. Belanda
mendengar kegiatan Raffles tersebut dan membujuk Siak dengan membuat
kontrak baru dengan Siak.
a. Traktat London 1824
Inggris dan
Belanda berusaha menghindari perselisihan dengan perjanjian kerjasama
dengan membagi daerah jajahan. Inggris menyerahkan Bengkulu dan Belanda
menyerahkan Melaka dan Singapura kepada Inggris. Inggris dan Belanda
berjanji tidak akan memperluas pengaruh ke masing-masing wilayah jajahan
dan menghormati kedaulatan Aceh. Akibat desakan ekonomi, secara
diam-diam mereka melanjutkan kegiatan sebelumnya, terutama ke pantai
timur Sumatera. Untuk menghentikan pengaruh Belanda di Sumatera Timur,
Inggris mendekati Aceh. Segala kesibukan Belanda dalam Perang Paderi di
Tapanuli Selatan menimbulkan reaksi Inggris di Penang dan Singapura yang
takut kehilangan keuntungan perdagangan. Kamar dagang Inggris mendesak
pemerintahnya agar memprotes Belanda yang dianggap telah melanggar Pasal
6 Traktat 1824. Kesempatan itu dipergunakan Aceh untuk memperkokoh
kekuasaannya di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur dengan
mengirimkan perahu-perahu perang ke sana pada tahun 1854.
b. Kontrak Siak dengan Belanda, 1 Februari 1858
Kontrak
Siak dengan Belanda ini berakibat sangat luas. Bukan saja Siak
ditempatkan di bawah kedaulatan Hindia Belanda, tetapi juga termasuk
negeri-negeri lain di Sumatera Timur yang menurut Siak adalah
jajahannya, yaitu Bilah, Panai, Kualuh, Asahan, Batubara, Bedagai,
Padang, Serdang, Perbaungan, Percut, Deli, Langkat, dan Temiang
(Schedel, 1885: 73–77).
Atas dasar ini Siak meminta bantuan
Belanda agar pemerintah Hindia Belanda mempertahankan wilayah-wilayah
itu dari rongrongan Aceh. Dengan alasan ini pula Belanda mengirimkan
ekspedisi militer pada tahun 1862 dan 1865. Pada bulan Mei 1859, Residen
Riau menempatkan Walland selaku Asisten Residen Siak. Pada waktu itu,
di Siak terjadi perselisihan antara raja dengan Tengku Putra, sehingga
garnizun Belanda di Bengkalis dipindahkan ke Siak. Tengku Putra turun
tahta dan dalam perjanjian tambahan yang ditandatangani tahun 1863
fungsi raja muda di Siak dihapuskan. Adik Sultan Siak, Tengku Syarif
Kasim menjadi Tengku Panglima Besar.
Menurut laporan Walland,
pemerintahan Siak kacau balau. Sebagian besar kepala suku dengan tujuh
ribu orang rakyat pindah ke Malaya. Perdagangan hampir-hampir terhenti,
sehingga tidak ada tongkang yang memadai yang singgah ke Siak. Hubungan
politik dengan Lima Koto Kampar terputus.
8. Agresi Belanda Ke Sumatera Timur
a. Ekspedisi Militer Belanda I (1862)
Pada
bulan Mei 1862 Belanda mengirim seorang pegawai tingginya yang bernama
Raja Burhanuddin ke Sumatera Timur. Raja Burhanuddin adalah putra Raja
Uyang bin Sultan Cagar Pagaruyung. Menurut laporan Raja Burhanuddin,
beberapa negeri di Sumatera Timur bersedia dilindungi Belanda, kecuali
Asahan dan beberapa negeri lainnya mereka menentang, bahkan di Asahan
berkibar bendera Inggris.
Berdasarkan laporan Asisten Residen Riau,
E. Netscher, Belanda mempersiapkan angkatan perang dari Bengkalis pada
tanggal 2 Agustus 1862. Pembesar-pembesar Siak diikutsertakan untuk
dikonfrontasikan dengan raja-raja di Sumatera Timur. Beberapa negeri
seperti Panai, Bilah, dan Kotapinang berhasil ditundukkan. Sementara itu
ekspedisi Belanda berhasil memasuki Kuala Serdang. Sultan Basyaruddin
mencoba menemui ekspedisi itu dengan mengibarkan bendera Aceh dan
bertindak selaku wazir Sultan Aceh atas dasar pengangkatannya dari Aceh.
Perundingan antara Belanda dengan Sultan Basyaruddin dilakukan di kapal
Belanda. Dengan paksaan Belanda, Sultan Basyaruddin menandatangani
perjanjian yang ditetapkan tanpa ada kontrasain dari orang-orang
besarnya. Perjanjian tersebut antara lain menyebutkan bahwa Belanda
turut mengakui jajahan Serdang, yaitu Denai, Percut, Padang,
Perbangunan, dan Bedagai.
Sultan Mahmud Deli menolak mengakui
kedaulatan Siak atas Deli. Hal ini karena Siak tidak membantu Deli sejak
masa pemerintahan ayahnya, Sultan Osman Deli, ketika diserang Aceh pada
tahun 1854. Netscher berhasil menemukan jalan keluar sehingga Sultan
Deli bersedia menandatangani pernyataan tunduk kepada Belanda dengan
kalimat yang berbunyi “Mengikut pada negeri Siak bersama-sama bernaung
pada Gubernemen Belanda”. Perundingan itu berjalan lancar berkat usaha
Said Abdullah bin Umar Bilsagih, ipar sultan.
Pangeran Langkat
yang bernama Musa mendukung sepenuhnya kedaulatan Siak dan Belanda,
bahkan Pangeran Umar meminta bantuan untuk menghantam Kejeruan Stabat
Muhammad Syeh, yang bekerja sama dengan wakil Sultan Aceh, yaitu Tuanku
Hasyim.
Inggris memperhatikan kegiatan Netscher di Sumatera Timur.
Keadaan ini terbukti dengan munculnya kapal perang Inggris “Scout” di
Deli atas perintah Gubernur Inggris di Singapura. Sementara itu kaum
pedagang di Penang ribut memprotes kegiatan Belanda di Sumatera Timur.
Akibatnya Netscher tidak berani memasuki Asahan dan hanya mengirim surat
ancaman, kemudian segera pulang ke Bengkalis.
Pada awal tahun
1863 armada perahu perang dari Aceh yang dipimpin Cut Latief Meurude
muncul di Kuala Langkat. Akan tetapi karena sungai tempat mereka
berlabuh sudah diberi hempangan, maka mereka tidak bisa berlabuh. Lalu
armada Aceh itu merapat ke Deli, dan di tempat itu patroli Belanda sudah
menanti, sehingga mereka tidak berhasil mendarat. Di Serdang dan
Asahan, orang-orang Aceh tersebut disambut baik. Orang Aceh juga
mendapat sambutan baik dari Datuk Laksamana Putra Raja Negeri Serdang
dan Lima Laras (Baturaja). Kegiatan Belanda kemudian dipusatkan di Deli.
Di Deli berdiam pengusaha Nieuwenhuyze yang sejak 7 Juli 1863 membuka
perkebunan tembakau. Residen Riau lalu mengirim surat ancaman kepada
Sultan Asahan dan Sultan Serdang, tetapi utusan Belanda itu diusir.
Dalam bulan April 1864 di Deli ditempatkan Kontrolir J. A. M. Van Cats
Baron de Reet, L. de Scheemaker di Batubara, dan Vigelius di Kabupaten
Batu.
b. Ekspedisi Militer Belanda II (1865)
Situasi di
pesisir Sumatera Timur semakin panas dan tidak dapat dikendalikan lagi
oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda mengirim ekspedisi militer yang
cukup besar dan kuat untuk menundukkan negeri-negeri kecil di pesisir
Sumatera Timur yang jumlah penduduknya tidak sampai lima ribu orang.
Ekspedisi tersebut terdiri dari 1) setengah batalion infanteri dengan
satu detasemen staf, dan totalnya berjumlah 406 orang; 2) kapal perang
Djambi, Amsterdam, Sindoro, Mont Rado, Delfzijkjl, Dassoon, dan beberapa
speedboat; dan 3) seribu marinir dengan 49 pucuk meriam berat.
Selaku
penguasa sipil, Residen Netscher sendiri mendampingi ekspedisi. Dari
sebuah sampan disita sepucuk surat Sultan Asahan yang ditujukan kepada
Raja Kualuh dan Panai yang mengajak perang sabil dan menjanjikan bantuan
Inggris. Surat itu ditutup dengan kalimat:
“Jika Sultan mau,
makin besarlah kehendak beta akan mengadakan persetujuan bersama dengan
kaum muslimin lainnya di mana beta bersedia memberikan sebanyak mungkin
tenaga untuk perang sabil, karena memang sudah jadi tekad beta untuk
bertempur.”
Oleh karena itu, Netscher buru-buru menyerang Asahan.
Pasukan yang dipimpinnya mendarat di Batubara (menangkap Datuk Lima
Laras) dan masuk ke Asahan melalui jalan darat, sedangkan armadanya
menuju Tanjung Balai memudik Sungai Asahan. Ultimatum tanggal 18
September 1865 tidak diacuhkan Sultan Ahmadsyah. Ia bersama keluarga dan
pasukannya mundur ke pedalaman bergabung dengan orang-orang Batak di
bawah pimpinan Pak Netek. Pada tanggal 19 September 1865, Yam Tuan Muda
tertangkap. Belanda mengeluarkan pengumuman untuk memecat Sultan
Ahmadsyah dan menyerahkan pimpinan kerajaan kepada Raja Muda
Naamatullah.
Ekspedisi Belanda lalu menyerang Serdang pada
tanggal 30 September 1865. Akibatnya, pada tanggal 3 Oktober 1865 Sultan
Basyaruddin dengan Raja Muda dapat ditahan Belanda ketika hendak
mengungsi ke pedalaman. Sultan dipaksa meminta maaf dan sebagai
hukumannya, wilayah Percut, Denai, Padang, Bedagal, dan Serdang diambil
alih dan diberikan kepada Deli. Dari Serdang, Armada Belanda mengepung
Pulau Kampai dan menghancurkan benteng Aceh pada tanggal 8 Oktober 1865.
Temiang ditundukkan pada tanggal 12 Oktober 1865. Dari Langkat, Belanda
membawa seorang tawanan, yaitu Kejuruan Stabat Sultan Mohammad Syeh
yang melawan Pangeran Musa. Mohammad Syeh lalu diasingkan ke Betawi
selama 20 tahun.
Perlawanan rakyat di Asahan semakin marak.
Belanda kemudian mengumumkan Sultan Ahmadsyah dan keluarganya boleh
masuk Tanjung Balai, tetapi hanya sebagai rakyat biasa. Tidak berapa
lama kemudian Sultan Ahmadsyah, saudara-saudaranya, dan orang-orang
besar yang bergerak di bawah tanah dan mengadakan korespondensi dengan
Inggris terbongkar. Sultan Ahmadsyah beserta teman-temannya ditangkap
dan dibuang ke Betawi, kemudian ke Ambon. Raja Muda Naamatullah dicopot
dan dijadikan Raja Kualuh-Leidong oleh Belanda karena dianggap tidak
becus, sedangkan pemerintahan Asahan dipegang oleh suatu dewan yang
diketuai Kontrolir Asahan. Perlawanan rakyat di pedalaman yang dipimpin
oleh Pak Netek semakin menggelora, sehingga akhirnya Belanda memutuskan
untuk mengembalikan Sultan Ahmadsyah ke Asahan.
Kegiatan baru
Belanda di Sumatera Timur ini bukan saja membuat gusar Aceh, tetapi juga
mendapat protes dari Kamar Dagang Inggris di Penang dan Singapura.
Masalah itu diakhiri dengan persetujuan baru antara Inggris dengan
Belanda dalam Traktat Sumatera 1871. Dengan perjanjian itu, Inggris akan
tutup mata atas segala tindakan Belanda dalam memperluas pengaruh di
Sumatera, termasuk menyerang Aceh, asal Inggris diberi prioritas
berdagang di Indonesia.
9. Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
Sejak
kedatangan J. Nieuwenhuyze dari Burma dan Van Leeuwen dari Surabaya ke
Deli pada tahun 1863, serta atas bujukan Said Abdullah Bilsagih, di Deli
berkembang penanaman tembakau. Dengan suksesnya ekspor ke Eropa dan
Amerika tembakau Deli menjadi termasyhur sebagai dekblad (lapis) cerutu
yang tidak ada bandingannya di dunia. Di perkebunan, orang Melayu dan
Karo tidak cocok menjadi kuli Belanda, sehingga Belanda mendatangkan
orang Cina dan India dari Malaya. Kemajuan Deli sebagai het dollarland
menyebabkan masuknya kapital asing ke Sumatera Timur. Sultan Deli
memberikan tanah yang subur untuk konsesi perkebunan dengan bebas,
termasuk tanah dalam wilayah Datuk Sunggal tanpa izinnya. Datuk Kecil
sebagai pemangku Datuk Sunggal Badiuzzaman yang masih kecil, memimpin
pemberontakan dengan mengajak rakyat Melayu dan Karo membangun
benteng-benteng dan bergerak ke Deli untuk mengusir Belanda. Belanda
kemudian mengirim pasukan dari Riau di bawah pimpinan Kapten Kops,
tetapi ekspedisi pertama ini mengalami kerugian besar. Perkebunan
tembakau Deli diserang gerilyawan, sehingga wanita dan anak-anak Eropa
diungsikan ke Belawan untuk segera naik kapal bila situasi sangat buruk.
Pada
tanggal 10 Juli 1872 datang ekspedisi militer kedua Belanda dari Jawa
di bawah pimpinan Letkol Van Hambracht. Ekspedisi kedua yang bermaksud
untuk menghancurkan gerilyawan tersebut pun mengalami kegagalan, bahkan
Van Hambracht sendiri luka berat dan harus dipulangkan ke Betawi. Pada
tanggal 20 September 1872, datang lagi ekspedisi militer ketiga dari
Jawa dengan jumlah yang lebih besar, yaitu tiga kompi infanteri dengan
satu detasemen artileri gunung, orang-orang kerja paksa, dan kuli Cina
untuk mengangkat barang. Ekspedisi ini dikepalai Mayor Van Stuwe.
Akibatnya, di mana-mana terjadi pertempuran hebat untuk merebut
kampung-kampung, seperti Tanduk Benua, Katinambunan, dan lainnya. Dalam
perundingan yang diadakan pada tanggal 24 Oktober 1872, Datuk Kecil
bersama adiknya, Datuk Jalil, dan anaknya, Sulong Barat, tiba-tiba
disekap Belanda dan dinaikkan ke kapal, kemudian dibawa ke Riau. Mereka
dihukum seumur hidup di Cilacap. Datuk Sunggal Badiuzzaman melanjutkan
perjuangan, tetapi juga tertangkap pada tahun 1855 dan dibuang seumur
hidup ke Banyumas. Perang Sunggal (1872–1895) ini merupakan peristiwa
penting dalam sejarah Indonesia di dalam negeri yang begitu kecil
(Sinar, 1980; 1981e).
Sejak itu tidak ada halangan bagi kapital
asing. Orang-orang asing berlomba menanamkan modal ke Sumatera Timur.
Oleh karena sulit mendatangkan buruh Cina dan India ke Sumatera Timur,
maka kuli kontrak didatangkan dari Jawa. Pertama kali mereka didatangkan
dari daerah Bagelen. Kontrak-kontrak tanah dan hasil perkebunan yang
diekspor merupakan sepertiga penghasilan seluruh Indonesia. Sepanjang
jalan raya Labuhan-Medan penuh dengan rumah pelacuran dan rumah judi.
Kuli yang baru gajian dalam sekejap mata bisa kehilangan gajinya,
sehingga terpaksa menandatangani kontrak baru (Cremer, 1976: 184).
Oleh
karena kemakmurannya, dalam waktu cepat Sumatera Timur banyak didatangi
orang dari berbagai suku, terutama sukubangsa Toba, Mandailing, dan
Minangkabau yang bekerja sebagai pegawai pemerintah, pegawai perkebunan,
guru, dan pedagang kecil. Mereka kebanyakan menetap di kota-kota besar.
10. Sistem Pemerintahan Di Sumatera Timur
Dengan
kemajuan yang pesat itu, pada tanggal 15 Mei 1873 wilayah Sumatera
Timur, termasuk Siak dikeluarkan dari Provinsi Riau dan dijadikan
residensi sendiri dengan ibukota Bengkalis. Padahal Bengkalis baru
dibeli Belanda dengan ganti rugi dari Sultan Siak. Residen ini terbagi
atas Afdeeling Deli (Kontrolir di Labuhan), Afdeeling Asahan (Kontrolir
di Tanjung Balai), dan Afdeeling Labuhan Batu. Residen pertama adalah J.
Locker de Bruijne.
Pada tahun 1887 ibukota dipindahkan dari
Bengkalis ke Labuhan, kemudian ke Medan dengan berbagai reorganisasi,
yaitu diciptakan lebih banyak Onderafdeeling yang dikepalai seorang
Kontrolir Belanda. Kemudian juga dibentuk peradilan di Medan dan
Bengkalis, di samping sebuah Residentie recht. Menurut perubahan dalam
Staatblad 1978/207, Afdeeling Deli dirombak menjadi
1. Afdeeling Deli (assisten residennya di Medan)
a. Onderafdeeling Medan (kontrolirnya di Medan)
b. Onderafdeeling Labuhan (kontrolirnya di Labuhan)
2. Afdeeling Langkat Hulu (kontrolirnya di Binjai)
3. Afdeeling Langkat Hilir (kontrolirnya di Tanjung Pura)
4. Afdeeling Tamiang (kontrolirnya di Seruwei)
5. Afdeeling Serdang (kontrolirnya di Lubuk Palam)
6. Afdeeling Padang-Bedagai (kontrolirnya di Tebing Tinggi)
Dalam
Staatblad 1900/64 Residensi Sumatera Timur mengalami reorganisasi lagi,
karena mengalami kemajuan pesat dalam bidang ekonomi. Terakhir menurut
Beslit Gubernur 6 Juli 1915 ao. 3 status Residensi Sumatera Timur
dinaikkan menjadi gouvernement (provinsi) yang berkedudukan di Medan dan
pimpinan pertama kali dipegang oleh Gubernur S. Van der Plass. Secara
administratif, Sumatera kemudian dibagi atas :
1. Afdeeling Deli dan Serdang
a. Onderafdeeling Deli Hilir
b. Onderafdeeling Deli Hulu
c. Onderafdeeling Serdang
d. Onderafdeeling Padang dan Bedagai
2. Afdeeling Langkat
a. Onderafdeeling Langkat Hilir
b. Onderafdeeling Langkat Hulu
3. Afdeeling Simelungun dan Tanah Karo
a. Onderafdeeling Simelungun
b. Onderafdeeling Tanah Karo
4. Afdeeling Asahan
a. Onderafdeeling Asahan
b. Onderafdeeling Batubara
c. Onderafdeeling Labuhan Batu
5. Afdeeling Bengkalis
a. Onderafdeeling Bengkalis
b. Onderafdeeling Siak
c. Onderafdeeling Bagan Siapi-api
d. Onderafdeeling Rokan
e. Onderafdeeling Kampar Kiri
Sebuah
Afdeeling berada di bawah pengawasan seorang asisten residen dan
onderafdeeling di bawah seorang kontrolir. Dua orang gezaghebber
ditugaskan oleh Asisten Residen Bengkalis khusus untuk mengawasi
panglong (sagu) di Selatpanjang. Bengkalis yang sudah dibeli dari Sultan
Siak pada tahun 1873 dan menjadi daerah Hindia Belanda yang diperintah
langsung oleh asisten residen dengan mengangkat lima orang penghulu
bumiputra, yaitu Kelapa Pati, Sendrah (dengan Paliman dan Si Batu),
Seggono, dan Maskum, ditambah enam penghulu tidak bergaji. Pada tanggal 1
Januari 1940, Afdeeling Bengkalis dikeluarkan dari Provinsi Sumatera
Timur dan dimasukkan ke Residensi Riau.
Dalam hubungannya dengan
kerajaan-kerajaan bumiputra di Indonesia, Belanda membagi kedudukan
mereka dalam dua kategori, yaitu: Pertama, kerajaan dengan Kontrak
Politik (Lange Politiek Contract) dan, Kedua, kerajaan dengan Pernyataan
Pendek (Korte Verklaring). Pada kategori pertama, ada dua pihak yang
mengadakan kontrak (perjanjian), yakni pemerintah kerajaan bumiputra dan
pemerintah Hindia Belanda. Di luar isi pasal-pasal yang disebut dalam
perjanjian, hak dan wewenang sepenuhnya berada di pihak kerajaan
bumiputra. Kerajaan di Sumatera yang termasuk golongan ini adalah
Asahan, Deli, Kualuh, Langkat, Pelalawan (Kampar Hilir), Siak, Serdang,
dan Riau-Lingga. Kerajaan Riau-Lingga dihapus pada tahun 1911.
Untuk
kategori kedua, di seluruh Indonesia terdapat 261 korte verklaring yang
dibuat oleh Belanda. Kerajaan dengan korte verklaring yang terdapat di
Sumatera Timur adalah Barusjahe (Karo), Bilah, Dolok Silau (Simalungun),
Gunung Sahilan, Indrapura, Kunto Darussalam, Silima Kuta (Karo), Logas,
Panai, Pane (Simelungun), Baya (Simelungun), Sarinembah (Karo),
Tambusai, Tanah Datar (Batubaru), Tanah Jawa (Simelungun), Kepenuhan,
Rambah, IV Kota Rokan Hilir, Kotapinang, Pesisir (Batubara), dan
Limapuluh (Batubara).
Kerajaan dengan korte verklaring yang
terdapat di Aceh adalah seluruh kerajaan besar kecil yang berjumlah 102
kerajaan, sedangkan di Riau adalah Hulu Tesso, Indragiri (awalnya lange
politiek contract, tetapi sejak Raja Mahmud atau tahun 1912 derajatnya
diturunkan menjadi korte verklaring), IV Koto Hilir, IV Koto Mudik, V
Koto di Tengah, Lubuk Ramo (III Koto). Dalam kategori ini para raja
menandatangani pernyataan tunduk kepada semua perintah dan ketentuan
pemerintah Hindia Belanda, sehingga Kontrolir Belanda setempat mempunyai
kekuasaan besar.
Kemajuan wilayah lain di Sumatera Timur dalam
bidang investasi asing tidak dapat diikuti Siak dan Pelalawan yang
dulunya merupakan kerajaan besar. Berbagai maskapai membuka konsesi di
Siak, tetapi gagal dan terpaksa ditutup, sehingga Siak merupakan daerah
yang terbelakang (sebelum dibukanya tambang minyak). Kekayaan Raja Deli,
Langkat, Serdang, dan Asahan jauh melebihi kekayaan Sultan Siak,
sehingga dalam rapat dan pertemuan sering terjadi hal-hal yang kikuk,
karena Sultan Siak menuntut perlakuan istimewa sebagai raja yang pernah
menjajah negeri-negeri di Sumatera Timur itu.
Atas dasar
perjanjian yang dibuat pada tanggal 23 Juli 1884, Belanda berhasil
membujuk Sultan Siak yang membutuhkan uang, untuk menyerahkan hak atas
kerajaan-kerajaan di sebelah utara Siak di Sumatera Timur kepada
pemerintah Hindia Belanda, dengan catatan bahwa Sultan Siak akan
dianggap sebagai raja yang paling utama di antara raja-raja di Sumatera
Timur dan juga diberi cap yang lebih besar. Penyerahan hak ini disertai
ganti rugi (schadeloosstelling) uang (Schedel deel II; Plass, 1917).
11. Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
a. Siak
Seperti
telah disinggung, pada tahun 1885 putra Sultan yang tertua, Tengku Muda
Anom ditunjuk sebagai pengganti Sultan, sementara Mangkubumi dan Tengku
Muda tidak disukai Belanda karena kegiatannya, sehingga keduanya
dipecat dari jabatannya. Kemudian Tengku Ngah Said Hasyim, putra sultan
yang bungsu diangkat menggantikannya. Pada tanggal 21 Oktober 1899
Sultan Syarief Kasim mangkat dan digantikan oleh Sultan Syarief Hasyim.
Setiap
pergantian raja, Belanda selalu menyodorkan perjanjian baru yang
semakin mempersempit hak raja tersebut. Dalam pengangkatan Sultan
Syarief Hasyim, perjanjian yang dibuat pada tanggal 1 Februari 1858
diubah, yaitu dihapusnya lembaga orang-orang besar menurut adat Melayu,
sehingga Sultan dijadikan penguasa tunggal di Kerajaan Siak. Dalam
perubahan Kontrak Politik yang dilakukan pada 25 Oktober 1890 disebutkan
bahwa wilayah Kerajaan Siak hanya meliputi daerah Teratak Buluh,
beberapa pulau (Bengkalis tidak termasuk di dalamnya), dan daerah
jajahan yang meliputi Tapung Kanan, Tapung Kiri, Tanah Putih, Bangko,
dan Kubu. Dewan kerajaan tertinggi dan kepala-kepala suku bersama
Laksamana Bukit Batu tidak dapat langsung berurusan dengan residen, akan
tetapi harus melalui Siak, kemudian disampaikan kepada Gubernemen
Hindia Belanda. Hukuman mati dapat dilaksanakan oleh Kerapatan Sultan
bila disetujui oleh residen. Permintaan grasi oleh terpidana ditujukan
kepada Gubernur Jenderal. Begitu juga orang-orang berbahaya yang akan
dibuang ke luar wilayah Siak ditentukan oleh Gubernur Jenderal. Semua
cukai pelabuhan diambil oleh Belanda. Begitu juga semua hak mengutip
pajak, kecuali (a) barang larangan (gading gajah, sumbu badak, guliga,
gaharu, dan lain-lain); (b) apak Lawang (pajak tanah untuk pendatang
yang berupa 10 gantang padi/ladang); (c) pancong alas (pajak pendatang
sebesar 10% dari nilai hasil hutan yang dipungut); (d) hasil tanah dan
konsesi; (e) sewa konsesi kayu di Sungai Bawa dan Kota Buruk. Untuk
mengatur agar tidak terjadi perselisihan dalam keluarga, Belanda
menaikkan schadeloostelling menjadi FL. 50.000 per tahun untuk pribadi
Sultan Syarief Hasyim dengan syarat Sultan melepaskan warisan lainnya
kepada saudara-saudaranya.
Setelah terjadi perubahan Kontrak Politik,
Sultan Siak kemudian memberi izin untuk adanya suatu dinas transportasi
dengan kuda-kuda beban sebagai kendaraan antara Teratak Buluh dan
Pekanbaru. Kejadian ini tidak disenangi oleh orang-orang V Koto yang
dengan seratus buah sampan turun untuk membunuh kuda-kuda beban itu.
Pada tanggal 21 September 1893, Asisten Residen mengirim 24 serdadu dari
Bengkalis untuk perlindungan. Pada tahun, 1898 Sultan Syarief Hasyim
pergi ke Belanda untuk menghadiri penobatan Ratu Wilhemina. Dalam
kesempatan itu dia diberi bintang Ridden Orde v.d. Ned. Leeuw.
Pengganti
Sultan Syarief Hasyim adalah putranya, Sultan Syarief Kasim Abdul Jalil
Syaifuddin yang menandatangani Kontrak Politik pada tanggal 24 Mei
1916. Mula-mula dia dibimbing mertuanya, Pangeran Embung dari Langkat.
Dengan ditemukannya timah di daerah Tapung, Lima Koto, dan Rokan,
Belanda mulai mengadakan reorganisasi pemerintahan di sana, terutama
sampai batas jajahan Siak dengan Kampar atau dengan Kota Intan, sebab
orang--orang Tapung juga mempunyai pameo “Beraja ke Siak, bertuan ke
kota Intan”. Akhirnya sesuai dengan isi Kontrak Politik Siak terbaru
yang ditandatangani tahun 1890, wilayah Tapung dimasukkan ke Siak,
dengan alasan bahwa dari dulu Bendahara-bendahara Ketapahan, Tandun,
Kasikan, Batu Gajah, Kebon, Kota Renah, Liantan, dan Selijang mendapat
cap dari Sultan Siak.
b. Kampar (Pelalawan)
Menurut laporan
ahli pertambangan, Ir. Everwijn, yang menjelajahi wilayah Kampar untuk
mencari timah, kerajaan ini terdiri dari wilayah Kampar Besar, Teratak
Buluh, Kampar, Lima Koto, dan Delapan Koto. Sebagian besar kegiatan
dilakukan melalui Sungai Kampar dari Kampung Sibaros-baros sampai ke
laut di Pulau Serapong dan Penyeleian. Di pulau-pulau ini sudah terdapat
kegiatan panglong Cina.
Kontrak Politik dengan Pelalawan
ditandatangani oleh Tengku Besar Said Abubakar pada tanggal 4 Februari
1879, diikuti dengan penyerahan berbagai kutipan pajak, bea cukai, dan
lain-lain seperti halnya Siak. Pada tahun 1885 di Pelalawan ditempatkan
seorang kontrolir dan petugas bea cukai. Oleh karena tahun 1887 Said
Abubakar mangkat, untuk sementara pemerintahan dipegang oleh putranya,
Tengku Sentul, yang kemudian juga meninggal dunia. Pada tahun 1894,
Tengku Putra Said Hasyim ditabalkan sebagai raja baru. Dia merupakan
anak kedua Said Abubakar. Pentabalan ini dibarengi dengan perubahan
perjanjian lama dengan syarat-syarat yang lebih mengurangi hak raja,
sehingga negeri ini menjadi miskin. Belanda berencana penganti raja
selanjutnya akan diminta untuk menjadikan negeri ini sebagai korte
verklaring (Plass, 1917: 179; Fals, 1882).
c. Gunung Sahilan
Di
akhir abad ke-19, Asisten Residen Bengkalis berencana akan berkunjung
ke Gunung Sahilan karena Yang Dipertuan menuntut daerah IV Koto di
Hilir, IV Koto di Mudik, dan daerah Singingi masuk ke residennya. Klaim
itu ditentang oleh daerah-daerah tersebut. Oleh karena takut dikenali
oleh orang Singingi, Asisten Residen Bengkalis batal ke Gunung Sahilan.
d. Daerah Rokan
Ada
dua daerah Sungai Rokan yang utama, yaitu Rokan Kiri dan Rokan Kanan.
Di sepanjang hulu sungai itu terdapat kerajaan-kerajan kecil yang pada
akhir abad ke-19 masih merdeka. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah
Kepenuhan, Rambah, dan Tambusai di Rokan Kanan serta Kunto Darussalam
dan Rokan IV Koto di Rokan Kiri. Kunto Darussalam terbagi atas Kota
Intan (di Tapung) dan Kota Lama. Pada tahun 1893 terjadi perselisihan
antara Raja Kepenuhan dengan adiknya. Raja Rambah dan Tambusai ingin
ikut campur, tetapi hal ini sudah ditangani oleh pembesar Siak. Pada
tahun 1875 terdengar bahwa Yang Dipertuan Kota Intan, Jumadil Alam,
telah mengumpulkan para bendahara untuk diperintah dengan paksa. Sultan
Siak mengirim laskar ke sana bersama Kontrolir Siak, sehingga Jumadil
Alam kembali ke Kota Intan.
Siak meninggalkan sejumlah laskar
bersenjata di Kasikan. Atas dasar ini Belanda kemudian mempersiapkan
ekspedisi militer untuk menghukum Kota Intan dengan mengirim colonne di
bawah pimpinan Kapten lnfanteri Barthelemy dengan empat opsir dan 135
serdadu dari garnisun Medan. Pada tanggal 19 Januari 1876 ekspedisi
militer Belanda ini meninggalkan Kasikan. Setelah melakukan perlawanan
dengan sengit, para pejuang terpaksa berpencar ke hutan dan Belanda
membakar rata Kampung Kota Intan. Pada tanggal 10 Februari 1876,
sebagian besar ekspedisi militer kembali ke Medan dan di Kasikan tersisa
satu detasemen militer untuk pendudukan. Pada bulan Maret 1876 kepala
Kampung Lindak dan Kota Intan berunding dengan Residen Sumatera Timur.
Pada tahun 1877 Tambusai ditundukkan Belanda.
Pada tahun 1881 Sultan
Siak mengklaim Tambusai sebagai jajahannya, karena Raja Tambusai berdiam
di wilayah Siak (Tanah Putih). Residen Bengkalis kemudian menjadi
penengah atas berbagai klaim dan soal perbatasan antara Tambusai dengan
Siak dan antara Kepenuhan dengan Rantau Binuang. Kemudian, dengan akta
perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 1885, Yang
Dipertuan Zainal Abidin diakui sebagai Raja Tambusai dan Rantau Binuang
dikembalikan kepada Siak (1888).
Rokan IV Koto yang terdiri dari
Lubuk Bendahara, Rokan, Gedung Batu, dan Pandalian, yang dikepalai Yang
Dipertuan Lubuk Bendahara, juga dikuasai Belanda pada tahun 1888.
Mengenai daerah Distrik Kuantan dan Hulu Kampar dapat dibaca dalam
laporan Ir. J. W. Ijzerman pada bulan Maret 1891. Ijzerman meneliti
kemungkinan pengiriman batubara dari tambang Umbilin melalui Sungai Siak
ke Selat Malaka (Dwars door Sumatera).
Yang Dipertuan Zainal Abidin
dibuang oleh Belanda ke Madiun dengan Beslit Gubernur Jenderal
tertanggal 27 November 1904 no. 3, karena berani melawan Belanda. Pada
tahun 1905 Tambusai berada di bawah pemerintahan bersama antara Muhammad
Sulung yang bergelar Sultan Mansyur dengan Abdul Hamid yang bergelar
Sutan Jumadil Alam (dari wilayah Sosa dan Batang Kumu). Kemudian pada
tahun 1917 Haji Ahmad alias Muhammad Sulung menjadi Raja Tambusai.
Adapun raja-raja di Rokan yang menandatangani Pernyataan Pendek adalah
(a) Yang Dipertuan Besar Abduljalil, dari Gunung Sahilan (27 Februari
1905); (b) Yang Dipertuan Besar Kasam, dari Kunto Darusslam (24 Maret
1905); (c) Yang Dipertuan Sakti Ibrahim, dari Empat Koto Rokan Kiri (1
Mei 1905); (d) Si Tampeong bergelar T. Maharaja Lela, dari Kepenuhan (27
Mei 1905); (e) Yang Dipertuan Besar Abd. Rahman, dari Gunung Sahilan
(29 Mei 1907); (f) Yang Dipertuan Besar Ahmad bin Akhirzaman, dari Empat
Koto Rokan Kiri (1 Mei 1910); (g) Yang Dipertuan Besar Ali Tandung,
dari Kunto Darussalam (25 Juni 1910).
e. Kotapinang, Panai, dan Billah
Di
tahun 1864 Belanda telah mengakui Sultan Mustafa sebagai Yang Dipertuan
Kotapinang. Ia meninggal dan digantikan putranya, Sultan Ismail Yang
Dipertuan Sakti, yang membuat pernyataan pendek tertanggal 4 September
1872. Pada tahun 1887 batas antara Kotapinang dengan wilayah Siak Tanah
Putih dan Kubu diresmikan.
Di Panai, Sultan Abdullah digantikan oleh
Sultan Gegar Alam. Pada tahun 1887 Sultan Gegar Alam meminta agar
digantikan oleh putranya, Sultan Mengedar Alamsyah. Tahun 1884 kantor
pabean Belanda di Panai diserang oleh rakyat dari arah laut. Pada tahun
1888, batas Panai dengan Siak (Kubu) diresmikan dan tahun 1895 kedudukan
Kontrolir Labuhan Batu dipindahkan ke Labuan Bilik. Kemudian tahun 1883
Raja Muda Billah dibuang Belanda ke Bengkalis (Sinar, 1970).
f. Asahan dan Kualah
Pada
tanggal 18 Maret 1882, Yang Dipertuan Muda Asahan, Naamatullah yang
juga menjadi Raja Kualah-Leidong, meninggal dunia. Ia digantikan
putranya, Haji Muhammad Syah, sebagai Raja Kualah dan lepas dari Asahan.
Haji Muhammad Syah membuat perjanjian dengan Belanda pada tanggal 25
Maret 1886. Pemberontakan rakyat di Asahan yang menghendaki kembalinya
Sultan Ahmadsyah masih terus berlangsung. Bahkan pos Belanda di Si Alang
Kelong dan Bandan Baru diserang gerilyawan pada tahun 1883. Akhirnya
pada tahun 1886 Sultan Ahmadsyah dikembalikan ke tahtanya di Asahan.
Pada tanggal 27 Juni 1888, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tanpa
meninggalkan anak, sehingga kedudukannya digantikan oleh Sultan Muhammad
Husinsyah yang merupakan putra adiknya, Tengku Adil. Putra dan
pengganti Husinsyah adalah Sultan Saibun Abdul Jalil Rahmatsyah
(Kroesen, 1886).
g. Batubara
Bekas jajahan Siak, Tanjung,
Pare-pare, dan Pagarawan, diakui Belanda sebagai wilayah tersendiri dan
masuk Batubara. Pada tahun 1894, Raja Pagarawan, Datuk Setia Wangsa,
dibuang ke Bengkalis dan digantikan putranya, Datuk Setia Maharaja Lela.
Pada tahun 1900, Raja Tanjung Kasau digantikan adiknya, Raja Maharuddin
(Scheemaker, 1869; Sinar, 1970a).
h. Deli, Langkat, dan Serdang
Pada
tanggal 25 Oktober 1873 Sultan Mahmud meninggal dan digantikan
putranya, Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah. Mula-mula Sultan
Siak menuntut agar Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah datang ke
Siak untuk menerima gelar sebagai Sultan Deli, langsung dari tangannya.
Meskipun dulu Belanda mengakui hak Sultan Siak atas Deli, namun Residen
menyatakan bahwa keadaan sudah berubah karena kemakmuran yang dicapai
Deli, sehingga Sultan Siak mengalah dengan menghadiri pelantikan Sultan
Deli di Bengkalis, seolah-olah hanya sebagai saksi. Setelah menerima
surat pengangkatan dan gelar baru dari Residen atas nama pemerintah
Hindia Belanda, Sultan Deli kemudian menyembah Sultan Siak untuk basa
basi terhadap Sultan yang lebih tinggi kedudukannya (Brandhof, 1909).
Berdasarkan
Staatblad 1879/205, kedudukan Asisten Residen Deli dipindahkan dari
Labuhan ke Medan, sehingga pada tahun 1888 Sultan Deli membuat istana
Maimun di Medan dan kemudian pindah ke sana. Sultan Makmun al Rasyid
Perkasa Alamsyah dikenal sebagai raja yang kaya dan setelah meninggal
kemudian diberi gelar Marhum Makmur. Ia juga menghibahkan tanah kepada
Gubernemen Hindia Belanda untuk dijadikan tapak kota Medan. Ia
digantikan oleh putranya, Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah.
Pada
tahun 1880 Sultan Serdang, Tuanku Basyaruddin Syaiful Alamsyah,
meninggal dunia dan sesuai adat “Raja mangkat, raja menanam”, maka para
orang besar dan rakyat menobatkan putra tunggalnya menjadi raja dan
bergelar Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah. Oleh karena raja belum
dewasa, untuk sementara waktu pemerintahan dipangku pamannya, Raja Muda
Mustafa.
Perselisihan soal perbatasan antara Deli dan Serdang terjadi
terus-menerus, terutama mengenai Senembah, Denai, dan Percut, sehingga
Belanda belum mengakui Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sebagai Sultan
Serdang. Atas tekanan Belanda dan untuk keuntungan Deli, diputuskan
bahwa Denai dikembalikan kepada Serdang (1882). Sungai Tuan dan hulu
Sungai Batangkuwis dijadikan sebagai batas Deli dengan Serdang, dan
Senembah dibagi dua. Setelah itu, Belanda baru mengakui Sultan Sulaiman
dengan penandatanganan kontrak di Bengkalis pada tanggal 29 Januari
1887. Pada bulan Juli 1895, Sultan Sulaiman mengirimkan patroli laskar
bersenjata untuk menghadapi kerusuhan di hulu Serdang (daerah Batak
Karo) yang dikenal dengan nama “Perang Pak Abdullah”. Oleh karena
hubungan yang mesra dengan Raja-raja Batak di hulu itu, maka banyak Raja
Batak yang memasukkan daerahnya di bawah kekuasaan Serdang.
Pada
tahun 1879, Pangeran Langkat Musa naik haji ke Mekah. Setelah kembali,
ia menunjuk putra bungsunya sebagai bakal penggantinya. Sementara itu,
gerilyawan Aceh di pedalaman Langkat terus membakar perkebunan dan
tambang minyak di Brandan, sehingga Belanda menempatkan garnizun di
Tanjung Pura (Sinar, 1981a). Dalam bulan Maret 1886, Kejeruan Bahorok,
Tengku Abdurrahman, mengobarkan perang sabil dan mengajak rakyat Langkat
untuk melawan Belanda. Ketika pasukan Belanda datang ke Bahorok, para
gerilyawan yang dipimpinnya sempat pergi menyingkir ke Tanah Alas. Tidak
lama kemudian, ia meninggal dunia di sana.
Pada tahun 1893 Pangeran
Musa turun dari tahta dan mengangkat putra bungsunya, Sultan Abdul Azis.
Kemudian Pangeran Musa mengundurkan diri dan pergi suluk pada pesantren
Tuan Syekh Babussalam dari aliran Tarekat Naqsabandiyah yang dibangun
Pangeran Musa sendiri di Basilam. Setelah Sultan Abdul Aziz meninggal
pada tahun 1925, ia digantikan putranya, Sultan Mahmud Abdul Jalil
Rahmatsyah.
12. Sistem Pemerintahan Dan Peradilan Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur Pada Zaman Hindia Belanda
Kepala
pemerintahan di kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera mempunyai berbagai
gelar, di antaranya adalah “Sultan” (Siak, Deli, Langkat, Asahan), yang
pengangkatannya sudah ada sebelum Belanda datang, baik diperoleh dari
Siak ataupun Aceh, “Sutan” (Bilah, Panai, Tambusai), “Yang Dipertuan”
(Kotapinang, Gunung Sahilan, Kualah, Kunto Darussalam, Empat Kota, Rokan
Hilir, Rambah), “Datuk” (Limapuluh, Pesisir, Suku Dua, Tanah Datar,
Singingi), atau sekadar “Raja” dan “Tengku Besar” (Pelalawan). Di bawah
Raja ada “Raja Muda” (Yang Dipertuan Muda), tetapi sejak akhir abad
ke-19 jabatan ini dihapus oleh Belanda. Penghapusan diawali di Siak,
kemudian di seluruh Sumatera Timur. Belanda juga menghapus Lembaga Orang
Besar (Raad van Rijksgroten) secara perlahan-lahan, karena Belanda
menginginkan hanya ada penguasa tunggal di setiap kerajaan agar Belanda
lebih mudah mengaturnya.
Pada zaman dahulu, raja-raja Melayu tidak
dapat bertindak semaunya tanpa persetujuan orang-orang besar (biasanya
empat wazir). Pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Raja Muda. Bila
orang besar meninggal, penggantinya dicari dari turunan atau keluarga
terdekat yang dianggap mampu. Akan tetapi, setelah ada kebijakan Belanda
tersebut, derajat orang besar diturunkan hanya sebagai districthoofd
(pamongpraja) di bekas wilayah bapaknya. Kerajaan besar biasanya
mempunyai wilayah taklukan berupa kerajaan kecil yang diperintah oleh
raja atau kejeruan, sedangkan kerajaan kecil di wilayahnya sendiri yang
disebut rantau atau luhak diperintah oleh seorang datuk. Selaku ornamen
raja, pembesar bergelar Laksamana, Bendahara, Tumenggung, dan lain-lain,
tidak berfungsi. Mereka baru berfungsi jika ditugaskan mengepalai suatu
daerah dengan sebutan rijksgroten.
Pasal-pasal Politik Kontrak yang
membahas kekuasaan raja berisi: (a) Pengakuan bahwa kerajaannya adalah
bagian dari Hindia Belanda; (b) Kedua belah pihak (raja dan Belanda)
harus mentaati isi perjanjian; (c) Hak mengenai hukum adat dan hukum
Islam maupun hal-hal yang tidak disebutkan dalam Politik Kontrak
sepenuhnya menjadi wewenang raja; (d) Pembesar Belanda (kontrolir)
ditempatkan di kerajaan hanya sebagai penasihat; (e) Hukuman mati dan
hukuman buang hanya dilaksanakan oleh Kerapatan Raja setelah mendapat
izin dari Gubernur Jenderal; (f) Raja boleh membuat peraturan sendiri
(zelffbestuursder ordening); (g) Raja boleh mempunyai korp kepolisian,
kehakiman, dan kejaksaan sendiri. Kerapatan Besar merupakan instansi
tertinggi, dengan raja sebagai hakimnya, di samping orang-orang besar
selaku anggota, dan kontrolir selaku penasihat.
Dengan adanya
Pernyataan Pendek, semua perintah ambtenaar Belanda dan kontrolir di
wilayah Kerajaan Melayu bisa mengubah putusan Kerapatan. Pedoman untuk
kerajaan yang dipakai adalah zelfbestuursregelen tahun 1938. Sampai saat
itu, di daerah Rokan dan Kampar Kiri masih ditemui pemerintahan distrik
atau onderdistrik yang berdasarkan adat, karena dipengaruhi oleh adat
Minangkabau. Pemerintahannya berdasarkan negeri dan kepala negeri yang
diambil dari suku yang dominan. Oleh karena itu, wilayah ini disebut
“Siak dan Pelalawan tanah berajo”. Di Kampar Kiri, negeri-negeri itu
bergabung dalam suatu unit. Di Hulu Serdang, Langkat, dan Deli terdapat
wilayah “dusun” yang didiami sukubangsa Karo dan Simelungun (Timur).
Meskipun mereka memelihara hubungan perkauman dengan saudara-saudaranya
di Tanah Tinggi Karo dan Simalungun, tetapi mereka tunduk kepada
raja-raja Melayu. Mereka yang berasal dari Batak, tetapi sudah masuk
Melayu (Islam) diwakili oleh “Datuk Kepala Urung” atau Kejeruan.
Belanda
berusaha membendung pengaruh Sultan Melayu yang mendorong Islamisasi
(Melayunisasi) di wilayah “dusun” ini dengan menyediakan tanah Batak
untuk pengembangan misi Kristen, membentuk kontrolir khusus yang disebut
Controleur voor Bataksche Zaken dan peradilan di wilayah urung (dusun),
yang disebut Kerapatan Dusun, Kerapatan Urung, dan Balai Kitik.
Peradilan ini memperhatikan adat Batak ketika Sultan atau Datuk akan
memberikan hukuman. Politik Belanda ini tercermin dalam pernyataan
rahasia.
Ik acht zeen gewenscht om politikie redenen dan
rechtstreekschen invloed van Sultan en onroenghoefden die allen
Mohammedaan zijn, ook niet te versterken en veeleer de Batak doesoens
als afzonderlijke, of ik liever zeggen als meer bjzondere eenheden te
blijven beschouwen.
Berdasarkan pertimbangan politis, saya mau agar
pengaruh sultan dan kepala urung yang Islam itu jangan diperkuat dan
dianggaplah wilayah Batak Dusun selaku wilayah tersendiri, atau
katakanlah sebagai wilayah kesatuan yang harus diperlakukan khusus
sekali (Memorie v. Overgave Residen Deli-Serdang S.v.d. Plas 2 Juni
1913).
Kesatuan hukum terkecil di Melayu di samping keluarga ialah
kampong yang dulu cukup otonom. Akan tetapi akibat tekanan dari pusat
(raja dan datuk), dan terakhir karena datangnya berbagai elemen asing,
fungsi kepala kampung kemudian hanya sekadar sebagai pesuruh raja atau
kekuasaan sentral dan tidak lagi menjadi wakil masyarakat kampung
(Meyenfeldt, t.t.).
Seperti disebutkan di atas, orang-orang besar
(Landsgroten dan Rijksgroten) pada kerajaan yang berkontrak politik
adalah anggota dari kerajaan besar. Jadi, bila raja dari kerajaan dengan
pernyataan pendek tergabung dalam suatu kerajaan besar, maka mereka
bergiliran menjadi ketua sidang, misalnya kerajaan di Batubara, Labuhan
Batu, Rokan, dan Kampar di Pelalawan. Kepala Distrik (Raja Lela Putra,
Datuk Laksamana, Datuk Kampar) juga mempunyai kekuatan hukum, demikian
juga para bendahara dan khalifah di Rokan dan Kampar. Kerapatan umumnya
sulit membedakan hukum sipil dan hukum pidana. Oleh karena itu, jaksa
hadir dalam sidang perkara perdata (sipil) dan perkara pidana. Adapun
pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kerajaan hanya bisa diadili di
pengadilan gubernemen (landraad).
Pada beberapa Kerajaan Melayu di
Sumatera Timur, soal yang menyangkut peradilan agama Islam juga
dilaksanakan di Kerapatan, setelah mendengar nasihat atau usul tertulis
dari Mufti atau Kadhi kerajaan. Sejak tahun 1928, Raja Serdang
menumbuhkan “Majelis Syar‘i Kerajaan Serdang” berdasarkan tauliah
(perintah) dari raja dengan mengambil alih salah satu hak raja (selaku
ulil amry dan imam agama Islam). Majelis ini mempunyai ketua dan anggota
sebagai instansi tertinggi yang memutuskan perkara agama Islam seperti
menikah, talak, rujuk, pusaka, harta baitul mal, penentuan puasa dan
hari raya, zakat mal dan zakat fitrah untuk fakir miskin, dan urusan
pengangkatan kadhi, serta sekolah (maktab) agama Islam di kerajaan.
Pada
umumnya Kerapatan memutuskan hukuman berdasarkan adat-istiadat, hukum
Islam, dan kebiasaan, sepanjang tidak bertentangan dengan sendi-sendi
kepatutan dan keadilan yang umum diakui (volgens de godsdienstige
wetten, volksinstellingen en gebruiken, die niet instrijd zijn met
algemeen erkende beginselen van billijkheid en rechtvaardigheid),
sedangkan dalam masalah pidana yang dijadikan pedoman adalah KUHP.
13. Orang Melayu Dan Rajanya
Dengan
tertanamnya penjajahan Belanda di Sumatera Timur, maka proses
Melayunisasi Raja Melayu ke daerah pedalaman yang dihuni suku-suku Batak
sudah terhalang, karena daerah tersebut disiapkan oleh Belanda sebagai
daerah pengembangan agama Kristen. Seseorang dianggap sebagai Melayu
apabila telah memenuhi syarat sebagai orang Islam, berbicara bahasa
Melayu, mempergunakan adat Melayu, dan memenuhi syarat menetap di tempat
tertentu (Nagata: 91).
Jadi, istilah Melayu adalah berdasarkan
alasan kultural. Salah satu ciri orang Melayu adalah memegang konsepsi
“kerajaan”. Hal ini menunjukkan pentingnya fungsi raja bagi orang Melayu
dalam policy negara dan pemusatan sesuatu pada raja dalam indentitas
kultural orang Melayu tua. Raja adalah simbol personifikasi nilai-nilai
masyarakat dan tradisi sejarah (Milner, 1977).
Kerasnya konsep beraja
tersebut ditunjukkan oleh beberapa pepatah Melayu, seperti “Ada raja
adat berdiri, tiada raja adat mati” dan “Biar mati anak, daripada mati
adat” (Kementerian Penerangan RI). Arti “kerajaan” di sini adalah
wilayah kediaman (establishment) yang ada bandarnya. Orang Melayu sangat
menghormati raja dari keturunan dinasti yang tersohor terus-menerus
(illustrious and impeccable). Hal ini berfungsi sebagai legitimasi,
karena menurut mereka rakyat dan negeri mudah dicari, namun dinasti
purba yang tersohor tidak dapat dicari. Selama dinasti itu utuh, tidak
ada alasan untuk membubarkan kerajaan. Sesuai dengan adat pada zaman
Hindu dan Budha, raja dianggap “bodhisatva” yang memberikan “tantra” dan
kedamaian abadi kepada rakyatnya yang setia “bhakti” dengan “anugerah”.
Ada seperangkat alat musik nobat yang menjadi bagian dari regalia
kerajaan, yaitu sesuatu yang bersifat sakral dan mengandung supernatural
power, misalnya jin kerajaan. Pengangkatan raja baru tidak syah jika
tidak “dinobatkan”. Pada zaman dahulu, jika terdengar alat musik nobat
dibunyikan, maka orang berhenti bekerja seolaholah raja berada di situ
(Sinar, t.t.: 3’16).
Raja ‘berdaulat’ dan mempunyai kesaktian yang
tidak dipunyai rakyat biasa. Konsep ini dipengaruhi ajaran Islam yang
dibawa pada abad ke-13 dan ke-14 oleh kaum Sufi ke Pasai dan
negeri-negeri Melayu. Raja memakai titel ‘sultan’ atau ‘syah’ yang
dianggap zil Allah fi’il alam (bayang-bayang Tuhan di atas dunia).
Ketentuan ini menganggap bahwa raja yang adil dan Rasulullah ibarat dua
permata dalam satu cincin dan jika orang melaksanakan tugas kepada
Rasulullah seakan-akan sama dengan melaksanakan tugas kepada Tuhan.
Bahkan
Tajussalatin dari Pahang menafsirkan Al Quran Surat Xl ayat 30: sebagai
“Tuhan menempatkan raja di atas dunia selaku wakilnya”. Konsep ini
kemungkinan besar dipengaruhi konsep raja-raja Islam di India (Nujeeb,
1967: 33). Orang Sufi menambahkan, raja diposisikan sebagai Insan al
Kamil (the perfect man) yang bisa menyatukan diri dengan Tuhan. Oleh
karena itu, prinsip durhaka adalah pantangan besar bagi orang Melayu,
karena hal itu melawan daulat.
Sebelum berkuasanya penjajah Barat,
bila seorang rakyat jelata merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh
rajanya, mereka “menyanggah” dengan cara mengumpulkan harta benda dari
keluarganya lalu naik perahu meninggalkan negeri itu untuk pindah ke
negeri lain. Hal ini akan memalukan raja tersebut, sebab kemakmuran dan
kekuatan raja dan negeri tergantung pada sedikit banyaknya rakyat yang
setia. Meskipun segalanya berpusat kepada raja, raja sendiri tidak bisa
berbuat apa-apa tanpa bermusyawarah dengan menteri-menteri dan Orang
Besarnya, karena merekalah yang mempunyai kekuasaan nyata. Raja dan
Orang Besar ibarat “api dengan kayu”. Kemaslahatan rakyat banyak
dibicarakan secara terbuka di Balairung Seri. Seorang raja harus
mengindahkan hukum Islam, karena raja merupakan khalifatullah fi al
ardl. Raja harus adil, mengutamakan rakyat, dan mempertahankan
kehormatan mereka. Tugas seorang raja ini dapat dibaca dalam surat
Sarakat Halilintar dari Sultan Aceh untuk pengangkatan Sultan
Basyaruddin dari Serdang (1854) (Sinar, 1970a). Kewajiban seorang raja
itu tercermin dalam pepatah “Raja memegang adat yang kanun; adat pusaka
turun-temurun; adil, arif, bijak bersusun; pandai meneliti zaman
beralun”.
Pada zaman dulu jelas bahwa without the institution of the
Raja, the Malay world have fallen into confusion (Milner, 1977;108).
Oleh karena itu, Belanda sangat getol berusaha menghancurkan Lembaga
Orang Besar (raad van rijksgroten) di semua kerajaan Melayu, karena
Belanda tahu bahwa kekuasaan politik berada di tangan Orang Besar.
Dengan hancurnya Orang Besar diharapkan raja tinggal sendirian sebagai
penguasa tunggal tanpa kawan musyawarah, sehingga mudah diperalat
Belanda. Raja tanpa Orang Besar merupakan hal asing dalam sistem
pemerintahan Melayu, karena tugas raja sebenarnya hanya berhubungan
dengan tata-krama yang berkultur tinggi.
Setelah masuknya kapitalis
dan perkebunan asing ke Sumatera Timur, Belanda memuji kemakmuran
Cultuurgebied itu sebagai hetdollarland dan selalu merendahkan orang
Melayu sebagai pemilik tanah. Mereka mencibir kemalasan orang Melayu
yang tidak mau bekerja di perkebunan Belanda. Mereka selalu mengatakan
bahwa yang dilakukan orang Melayu hanya menikah, bersuka ria, naik haji,
dan selanjutnya hidup bermalas-malasan (Westerman, t.t.). Tanah mereka
disewakan kepada orang Cina dan Jawa untuk ditanami sayur, padi, dan
atau kelapa (Plass, 1917).
Keahlian seni ukir perak orang Melayu di
Batubara sudah lenyap, begitu pula seni ukir kayu dan sebagainya
(Kempen, 1928: 393). Belanda menyebutkan bahwa orang Melayu seakan-akan
memberikan peluang kepada orang Cina dan suku-suku pendatang lainnya
untuk mengambil alih usaha kerajinan tangan dan kehidupan perekonomian
di Sumatera Timur. Dikonstatir pemerintah Hindia Belanda menyatakan
bahwa orang Melayu tidak lama lagi akan terdesak oleh orang Jawa di
Asahan dan Labuhan Batu, serta oleh orang Tapanuli (Geristsen, 1938:
71-72).
Laporan resmi Belanda mengatakan bahwa di setiap tempat
dimana berdiam orang Melayu, keadaan di situ pasti terbelakang dan
ekonominya tidak maju, demikian juga di wilayah Cultuurgebied Sumatera
Timur. Dengan datangnya perkebunan Eropa di negerinya, rakyat Melayu
tidak semakin maju, bahkan mereka terdesak (Eerde, DL I: 248-254). Orang
Melayu bukan pekerja sawah, karena mereka adalah bangsa pemburu,
nelayan, serta pedagang. Hal ini juga diakui oleh para pendatang
(Kempen, 1928). Orang Melayu bersifat royal, patuh, serta hormat pada
ketertiban, sehingga pada zaman Belanda orang Melayu hampir tidak ada
yang ikut pergerakan radikal komunis.
Kelemahan orang Melayu tersebut
dimanfaatkan oleh Belanda untuk menindas raja-raja Melayu. Akan tetapi,
pada kenyataannya wilayah Kerajaan Riau-Lingga yang sudah diperintah
langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, dilaporkan bahwa keadaannya
juga tidak lebih baik. Sebenarnya keadaan orang dan negeri Melayu di
Sumatera Timur sebelum kedatangan pemerintah Hindia Belanda dan
perkebunan asing sangat berbeda dengan yang dicibirkan Belanda.
(Tuanku Luckman Sinar Basarshah II,SH )