Rabu, 26 September 2012

Inilah 10 Koleksi Kata-Kata Mutiara Motivasi yang Membuat Anda Semangat Setiap Hari (Seri Pertama)

ada kalanya sewaktu bangun di pagi hari, tubuh rasanya malas-malasan, enggan bangun untuk mulai beraktivitas, inginnya bersembunyi di bawah selimut saja. Rasa malas semacam ini mungkin nyaman, namun tidak memberikan sesuatu bagi anda agar menjadi orang yang lebih baik.
Karenanya saya ingin berbagi sesuatu buat anda semua. Inilah 10 kumpulan kata-kata mutiara motivasi penggugah semangat dan pendorong ACTION. Sepuluh kumpulan kalimat mutiara dan motivasi ini sangat baik anda simpan dan anda baca secara rutin (bisa setiap bangun pagi, ketika siang hari, sore hari, atau sebelum tidur), sesuai makna dari masing-masing kalimat. Sebagai contoh, seperti kalimat nomor satu di bawah ini, sangat baik dibaca tiap bangun pagi.

  Inilah 10 Koleksi Kata-Kata Mutiara Motivasi yang Membuat Anda Semangat Setiap Hari (Seri Pertama)
  1. Pagi ini, saya bangun dalam keadaan sangat baik. Saya bangun dengan hati yang senang. Seperti mentari pagi yang menjalankan tugasnya menyinari semesta, saya pun bangun dan segera menjalankan tugas dan aktivitas saya hari ini. Saya akan melakukan tugas saya dengan sebaik-baiknya.
  2. Saya adalah orang yang penuh motivasi. Setiap hari motivasi saya makin berkobar. Saya sangat YAKIN dan PERCAYA kalau apa yang saya impikan nanti bakal menjadi kenyataan. Saya percaya itu. Keyakinan ini bahkan sudah mengakar ke alam bawah sadar saya. Setiap kali saya merasa lemas, alam bawah sadar saya mengingatkan dan memberi motivasi kalau “saya bisa!”, bahwa “saya adalah seorang pemenang.”
  3. Ketika saya berbicara, suara saya terdengar jelas, kuat, dan percaya diri. Saya sekarang percaya diri dalam segala situasi. Sebab saya adalah pemimpin yang memimpin dengan penuh kepercayaan diri.
  4. Saya sekarang hidup dipenuhi keyakinan, kepercayaan dan kepastian. Saya sekarang orang yang percaya diri dan tegas. Dan hari ini saya menggunakan 100 % kapasitas diri saya. Tiap berjalan dan bergerak, saya menjalankannya dengan penuh keyakinan, namun tetap tenang. Saya sekarang adalah sosok yang kuat, mengesankan, dan lebih menarik setiap harinya. Kepercayaan diri dan kemampuan saya terus meningkat secara drastis tanpa henti.
  5. Setiap hari saya bertambah baik dan makin bertambah baik. Saya menetapkan tujuan yang jelas dan membangun motivasi kuat untuk meraih apa yang saya inginkan. Sekarang segalanya menjadi jelas. Apa yang saya bayangkan dulu, kini kian dekat menjadi kenyataan. Lebih dekat dan makin dekat. Dan saya percaya SAYA BISA mendapatkannya. Tiap saat saya menerima banyak sekali anugerah dan kebaikan dalam hidup ini. Seluruh tubuh saya sekarang jadi tahu, apa misi dan tujuan saya hidup di dunia ini.
  6. Saya percaya pada keyakinan kuat yang tertanam dalam diri saya. Berkat motivasi yang bertambah kuat setiap saat. Apapun yang saya percaya bisa dapatkan, saya yakin bisa saya dapatkan. Saya menciptakan “keberuntungan” saya tiap hari. Saya mencapai tujuan-tujuan saya dengan penuh riang gembira. Saya visualisasikan apa yang saya inginkan dan saya melakukan ACTION seperti dalam visualisasi tersebut. Dengan keyakinan ini saya bisa mewujudkan kenyataan apapun yang saya mau.
  7. Semua yang saya butuhkan ada dalam diri saya sekarang. Saya adalah sosok yang bersahabat, terbuka, dan percaya diri. Saya juga pemberani dan tegas. Dengan semua ini saya mampu mengubah apapun dalam hidup saya seperti yang saya inginkan. Dan saya siap menerima tanggung jawab untuk perubahan hidup yang saya akan alami nanti.
  8. Saat saya berbicara dengan orang lain, saya menatap mata lawan bicara saya dan berbicara dengan percaya diri. Saya buat momen itu menjadi begitu menyenangkan. Dalam tiap gerakan tubuh yang saya lakukan, saya melakukannya dengan tenang dan penuh percaya diri. Setiap kali kelopak mata saya tertutup dan saya menghirup udara dalam-dalam, kepercayaan diri saya bertambah kuat dan memenuhi seluruh bagian-bagian dalam tubuh saya. Saya melihat diri saya sekarang adalah sosok penuh percaya diri, punya keyakinan, dan berani mengambil tindakan.
  9. Setiap hari, energi percaya diri dan rasa antusias saya meningkat drastis. Sebab saya punya komitmen untuk terus meningkatkan kemampuan diri saya setiap hari. Apa yang saya bayangkan bisa saya lakukan, pasti saya bisa lakukan. Dan saya melakukannya dengan konsisten dan penuh keberanian.
  10. Ekspresi wajah saya saat ini menggambarkan rasa yakin dan percaya diri. Sekarang saya mengalami masa-masa paling menyenangkan dalam hidup saya. Dan momen ini menginspirasi saya untuk lebih percaya diri dan memiliki harga diri. Saya berbicara pada diri saya dan orang-orang di sekitar saya dengan keyakinan. Saya sekarang mengontrol seluruh diri saya. Perkataan saya, pikiran saya, dan perasaan saya, semuanya ada dalam kendali saya. Rasa percaya dalam diri saya ini bukan hanya menginsiprasi saya sendiri, namun juga menginspirasi setiap orang yang saya temui.
Lihat perbedaannya dalam beberapa hari ke depan. Anda akan temukan diri anda sebagai orang yang berbeda. Anda menjadi menjadi orang yang lebih baik dibanding ketika pertama kali menemukan artikel ini. Buktikan!
Animated graphic comments

Gambar Tulisan Romantis, Keren dan Lucu untuk DP BBM

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmH5GijaadUsez7Ejam3ygbbgDl5viHIDaoqrrgZ0nON9Z8aMGECDTRuNSMqHkWKCxn3i_ReE_oq2lRXV1UvGGfFskk4vnF6KUBRvBcjVJOeQWiRAHpcnVIPjykTjFy6eZtH5k1dy8cMyx/s320/11-digalericom-puisi+romantis.jpg

click here

Wanted girl (unmarried) who can take seriously interested please call … for further information, please clik here …..

Zwani

zwani.com myspace graphic comments
free twitter backgrounds

Lagi galau men

Galau sudah menjadi sebuah trend. Kalau nggak galau nggak gaul. Anak gaul harus galau. Pusing dikit bilangnya galau, kaki kesleo bilang galau, jidat kepentok bilang galau. Liat cicak-cicak di dinding lagi kawin langsung galau.
Apa sih sebenarnya arti kata galau? Haha, kasian yah ga tau apa itu galau yang sesungguhnya. Menurut ibu-ibu, Galau itu dibagi menjadi dua, Galau putih dan Galau merah. Galau putih terbuat dari tebu, dan galau merah terbuat dari air nira. Rasanya sangat manis. Kata temen saya, galau juga bisa diisi ulang. Cari aja tempatnya bertuliskan “Sedia isi ulang Galau, dari mata air pegunungan asli”.
Tersenyumlah, bahkan jika itu adalah senyum kesedihan. Jangan sampai kesedihan membuatmu lupa bagaimana cara untuk tersenyum.
Km tak pernah sendiri. Ada Tuhan yg slalu membantumu, dan banyak orang yg menyayangimu.
Terkadang bbrp hal menjadi salah agar kita menjadi lbh baik. Terkadang bbrp hal menjadi buruk agar kita menjadi lbh kuat. -
Rasa iri hanya membuat pikiranmu tak tenang. Jangan melebih-lebihkan apa yang kamu capai hanya karena ingin disanjung.
Jika kamu tidak segera bangkit setiap kali kamu terjatuh, kamu akan tertinggal. Kehidupan akan terus berlangsung meskipun tanpamu.
Memaafkan bukan berarti kamu lemah, namun karena kamu kuat dan cukup dewasa tuk mengerti bahwa orang membuat kesalahan.
Lakukanlah jika memang kamu bisa. Karena kamu akan menyesal ketika kamu tidak melakukan apa yang seharusnya kamu lakukan.
Mereka yang mencintaimu tak akan mungkin tega melukaimu. Untuk itu. jangan kamu lukai mereka dengan mencintai orang lain.
Jangan buang waktumu hanya untuk menunggu sesuatu yang tidak pasti. Hidup ini butuh kepastian, bukan hanya angan pun harapan.
Terkadang, meski seseorang masih sangat berarti bagimu, kamu tahu bahwa dia tak pantas dipertahankan lagi, untuk kebaikan dirimu sendiri.
Jangan habiskan waktumu memikirkan hal yg mengecewakan. Belajarlah tuk tak terlalu berharap, bahkan dari dia yg sangat kamu andalkan.
Biarkan orang yang kamu cintai mengetahui perasaanmu padanya. Memendam cinta hanya akan menyakiti dirimu sendiri.
Perempuan tak pernah ingin dibuai banyak janji. Cukupi kami dengan bukti pasti.
Tak ada niat menyakiti hati lelaki, hanya saja terkadang kalian salah persepsi, memojokan kami dengan ego yang tinggi.
Kesalahan yang paling besar bukanlah kegagalan, tetapi adalah berhenti dan menyerah sebelum merasakan keberhasilan.
Selama kau memiliki Tuhan, kau selalu lbh besar dr Masalahmu, lbh baik dr Masa Lalu-mu, & lbh kuat dr Rasa Sakit-mu
Jangan terlalu mudah percaya pada seseorang, terutama kepada seseorang yang tahu benar apa yang sedang kamu inginkan.

Dua Kebahagiaan Bagi Orang Yang Berpuasa

Dalam hadis qudsi Allah Ta’ala berfirman,
للصائم فرحتان، فرحة عند فطره، وفرحة عند لقاء ربه
“Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (muttafaq ‘alaihi)
Hadits ini adalah satu dari sekian banyak hadis yang menerangkan tentang keutamaan ibadah puasa. Allah secara langsung menyatakan bahwa puasa dapat menerbitkan kebahagiaan pada hati orang-orang yang melaksanakannya. Beban saat berpuasa menahan segala keinginan syahwat kelak berakhir dengan berjuta kebaikan yang menyenangkan, baik di dunia, maupun di akhirat.
Meraih Kebahagiaan Dunia
Orang-orang yang berpuasa akan merasakan bahagia saat ia menyelesaikan ibadah puasa karena ia dapat melakukan kembali perkara-perkara yang dilarang saat ia berpuasa. Dan lebih dari itu, ia akan berbahagia karena kepuasaan batin yang dirasakannya saat ia dapat melaksanakan ibadah kepada Allah seraya mengharap pahala dari-Nya.
Kebahagiaan orang yang berpuasa tentu bukan bermakna bahwa ia tidak menyukai ibadah yang dilakukannya itu. Namun sebagaimana yang dikatakan tadi, kebahagiaan itu lahir dari kenikmatan yang ia rasakan saat ia diberikan kekuatan untuk melaksakan salah satu ibadah kepada Allah yang cukup berbeban. Kebahagiaan itu adalah tanda keimanan yang terpancang dalam hatinya, kesadaran yang dalam atas kebutuhannya terhadap ketaatan yang dapat mengangkat derajatnya di sisi Allah. Dan ini adalah hakikat kebahagian orang yang beriman.
Meraih kebahagiaan adalah cita-cita setiap manusia. Tidak ada manusia yang ingin bersedih, sengsara dan hidup dalam kegalauan. Siapa pun, akan berusaha mencari kebahagian itu, walaupun harus melalui kesengsaraan dan kesulitan terlebih dahulu.
Namun, dari seluruh manusia yang mengharapkan kebahagian itu, ternyata hanya sedikit sekali manusia yang menemukan kebahagiaan sejati. Kebanyakan manusia terjebak pada pusaran kebahagiaan palsu yang berujung pada kesengsaraan. Jika demikian, apakah kebahagiaan yang hakiki itu? Dalam porsi apa kita menempatkan rasa bahagia itu sehingga ia dapat dinamakan sebagai kebahagiaan yang sejati?
Dalam Alquran, Allah menyebut kata bahagia dalam dua segmen; pertama, kebahagiaan karena dunia. Dan kedua, kebahagiaan karena keutamaan dan rahmat Allah. Kebahagiaan karena dunia adalah kebahagiaan yang tercela. Maksudnya dunia yang melupakan keutamaan dan nikmat Allah. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah tentang Qarun (yang artinya),“Janganlah engkau berbahagia, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbahagia.” (QS. Al Qashash [28]: 76)
Juga firman Allah tentang orang-orang yang diazab oleh-Nya, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am [6]: 44)
Adapun kebahagiaan karena keutamaan dan rahmat Allah adalah kebahagian yang terpuji, bahkan diperintahkan. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Dengan keutamaan Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Keutamaan Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus [10]: 58)
Lalu, apakah yang dimaksud keutamaan dan rahmat Allah itu? Untuk mengetahuinya, kita harus melihat ayat sebelumnya. Yaitu firman Allah (yang artinya), “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 57)
Maka, ia adalah bahagia karena pelajaran dari Allah, yaitu perintah dan larangan Allah yang sarat hikmah dan kebaikan. Bahagia karena penyembuh bagi penyakit-penyakit hati dalam dada berupa kejahilan, kegelapan dan kesesatan. Bahagia karena petunjuk dan rahmat yang menjamin penjagaan. Bahagia karena Rasul-Nya, karena Alquran, karena sunnah, ilmu dan amal shaleh.
Inilah kebahagian yang hakiki. Kebahagiaan yang abadi sampai ke akhirat. Adapun bahagia karena dunia, ia adalah kebahagian yang sementara dan menuju kepada kehancuran.
Syaikhul Islam –rahimahullah- berkata,
إن في الدنيا جنة، من لم يدخلها لا يدخل جنة الآخرة
“Sesungguhnya di dunia terdapat surga, barangsiapa yang tidak memasukinya, ia tidak akan memasuki surga akhirat”.
Dan diantara kebahagian bagi ahli iman adalah datangnya bulan Ramadhan. Bulan rahmat dan keutamaan. Karena pada bulan ini Allah melipatgandakan pahala kebaikan, menjanjikan ampunan, menyempitkan jalan keburukan dan membuka selebar-lebarnya jalan amal shaleh yang menguntungkan. Maka berbahagialah dengan bulan agung ini. Isilah dengan memperbanyak kebaikan. Mudah-mudahan Allah memberkahi hidup kita.
Bahagia Saat Bertemu dengan Rabbul `Alamin
Sebagaimana mereka berbahagia di dunia dengan karunia dan keutamaan dari Allah, dengan iman dan amal shaleh, di akhirat pun mereka berbahagia ketika mereka mendapatkan pahala yang sangat besar saat bertemu dengan-Nya. Dan ini adalah kebahagian yang sangat besar di akhirat. Yaitu menghadap Allah dalam keadaan tidak takut terkena azab Allah yang sangat berat dan dimasukkan kepada surga-Nya; kenikmatan abadi yang tidak ada bandingannya di dunia ini.
Pertemuan dengan Allah adalah keniscayaan hidup yang diyakini oleh orang-orang yang beriman. Allah berfirman (yang artinya),
“Wahai manusia, sesungguhnya engkau bekerja keras menuju Tuhanmu, maka engkau akan menemuinya.” (QS. Al Insyiqaq [84]: 6)
Saat seluruh manusia bertemu dengan Allah, mereka terbagi menjadi dua golongan. Ada yang sengsara, dan ada yang berbahagia.
“Dan diantara mereka ada yang sengsara dan (ada yang) bahagia” (QS. Hud: 105)
Orang-orang yang kelak menghadap Allah dengan membawa tauhid, iman, islam, ketaatan, amal shaleh dan hati yang selamat, ia akan mendapat kebahagiaan dan pahala yang tidak akan pernah putus.
“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka pahala yang tidak pernah terputus.”(QS. At-Tin [95]: 6)
Adapun orang-orang yang menghadap Allah dengan membawa kesyirikan, kekufuran, kemaksiatan dan dosa, maka ia akan mendapat kesengsaraan dan berarti telah merugikan dirinya sendiri.
“Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat”. ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah merekapun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku Hai hamba-hamba-Ku.”(QS. Az Zumar [39]: 15-16)
Tidak hanya itu, orang-orang beriman kelak juga berbahagia saat melihat wajah Tuhannya. Dan ini adalah kenikmatan tertinggi di akhirat. Wajah mereka berseri-seri melihat kepada Tuhannya.
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.”(QS. Al Qiyamah [75]: 22-23)
Mudah-mudahan dengan keberkahan ibadah puasa Ramadhan tahun ini kita dapat meraih kebahagian yang hakiki, kebahagian hidup dalam ketaatan kepada Allah di dunia, begitu juga kebahagian abadi di akhirat saat bertemu dengan Rabbul ‘aalamin. Amin.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad
Subang, 7 Ramadhan 1433 H

Penulis: Abu Khalid Resa Gunarsa
Artikel Muslim.Or.Id

Talempong Unggan tidak akan Punah

Unggan–Alat musik tradisional talempong yang berasal dari Nagari Unggan, Kecam
atan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.
ingin tahu rahasia dari ke unikan dan cara bermain talempong unggan, datang lah ke daerah asal nya yaitu nagari unggan.bukan dari tangan orang selain unggan.

Songket Unggan jadi Pakaian Dinas

Muaro Sijunjung – Ditetapkannya kerajinan songket Unggan sebagai salah satu pakaian dinas, merupakan bentuk kepedulian Pemkab Sijunjung terhadap hasil kerajinan produk daerah setempat. Namun karena keterbatasan kemampuan produksi, menyebabkan belum seluruh instansi pemerintah di daerah tersebut yang memakainya.
“Sejak 2011 lalu, hasil kerajinan tenun dan songket anak nagari Unggan memang telah dijadikan salah satu pakaian dinas di daerah ini, tapi karena keterbatasan produksi tentu belum seluruh instansi pemerintah yang memakainya. Namun secara bertahap ini tentu akan dipenuhi, sehingga seluruh SKPD di lingkungan Pemkab Sijunjung bisa memakai produk lokal untuk pakaian dinas yang pemakaiannya dilakukan setiap hari Kamis,” ujar Kepala Koperindag Kabupaten Sijunjung, Yofritas, kemarin.
Menurut Yofritas, kehadiran songket dan tenun Unggan tentu akan mendapat dukungan penuh dari Pemkab, sebab ini akan mengangkat prestise daerah. Untuk itu kebijakan mempergunakan songket dan tenunan sebagai salah satu pakaian dinas daerah sangatlah tepat sekali, dengan harapan nantinya akan mampu menggenjot hasil produksi para pengrajin.
Dijelaskan Yofritas, saat ini baru sekitar 30 persen SKPD dilingkungan Pemkab Sijunjung karyawannya yang memakai songket Unggan. Itu disebabkan keterbatasan hasil produksi oleh para pengrajin, sehingga belum dapat memenuhi permintaan dari masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
“Kendati demikian, secara bertahap tentu akan dapat dipenuhi, karena para pengrajin songket di Nagari Unggan telah ada ikatan kontrak dengan Pemkab, dan kita harap 2013 mendatang seluruh SKPD sudah bisa memakai pakaian dinas dari hasil produksi para pengrajin di nagari Unggan,” ujarnya.
Para pengrajin songket dan tenun di Unggan saat ini berjumlah 35 orang, tapi dari jumlah tersebut yang tercatat sebagai pengrajin aktif hanya sebanyak 25 orang, sedangkan sisanya sebanyak 10 orang bersifat musiman atau boleh dibilang pengrajin tidak aktif.
Kendati demikian, untuk menunjang kerajinan songket dan tenun Unggan ini, baik dari segi kualitas maupun hasil produksi, Dinas Koperindag bersama Dekranasda Kabupaten Sijunjung, akan terus melakukan pembinaan dan bimbingan kepada para pengrajin, sehingga suatu saat nanti hasil kerajinan dari anak nagari Unggan bisa go internasional.
“Untuk meningkatkan kualitas dan hasil produksi, pembinaan dan bimbangan akan terus kita lakukan, kita berharap hasil kerajinan dari anak nagari Unggan bisa pula go internasional, sekaligus dapat mengharumkan nama Sijunjung baik ditingkat Nasional maupun Internasional,” tuturnya.
Motif dari kerajinan songket Unggan ini juga bermacam-macam diantaranya motif pucuak rabuang, lansek manih dan yang terbaru adalah motif Unggan seribu bukit. “Motif terbaru ini ternyata cukup banyak peminatnya, baik didalam maupun diluar Kabupaten Sijunjung banyak yang tertarik dengan motif ini. Kita berharap motif ini akan menjadi cirri khas Unggan nantinya sebagai nagari penghasil kerajinan songket dan tenun,”

berbuat baiklah sesama kita

zwani.com myspace graphic comments
Graphics for Animated

saya cinta unggan

saya cinta nagari unggan<script src=”http://h2.flashvortex.com/display.php?id=2_1342613517_10645_364_0_293_68_9_2_49″ type=”text/javascript”></script>
“Adat basandi syarak,syarak basandi kitabbullah”
Belajar dari kemaren,hidup untuk hari ini,harapan untuk besok
yang penting adalah untuk tidak berhenti bertanya…”Indigenous basandi syarak, syarak basandi kitabbullah”
Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow
the important thing is to not stop questioning ..

puisi-puisi cinta

Hatiku bergetar ketika melihatmu
Jantungku berdetak kencang ketika kau ada disampingku
sekarang
Hatiku terasa sakit jika kau dengan yang lain
Dadaku terasa sesak karena merindu jika tak bertemu dirimu
Apakah rasa ini akan abadi?
Ku tak kuasa tuk menolaknya
Karena semakin ku tolak
Hatiku semakin terasa sakit
Sakit karena tak bisa memilikimu
Sampai akhir zaman pun kita tak akan pernah bisa bersama
Tak akan pernah bisa
Tak akan mungkin bisa
Tapi kusadari satu hal
Mungkin kita ditakdirkan
Tuk bersama kelak disurga
Surga yang abadi
Kekal
Disana kita akan bisa bersama
Abadi
Selamanya
5 Comment(s)Read On >>

Gundam (Gundah Mendalam)

Telah lama kurasakan
Gundah dalam hatiku
Diriku tak lagi mencintaimu
Namun ku tak kuasa
Tuk katakan padamu
Karena ku tau
Kau sangat menyayangiku
Jujur ketika ku sedang bersamamu
Hatiku nyaman hatiku tentram
Kau bawa kesejukan
Kau alirkan air cinta dihatiku
Hingga basahi seluruh hatiku yang gersang
Namun ku tak kuasa
Karena diriku tak ingin mencintaimu
Hatiku menolakmu
Ku tak mengerti mengapa
Ku selalu bertanya kenapa
Pada hatiku yang menolakmu
Apapun yang akan terjadi esok hari
Harapanku hanya ini
Kuingin hatiku hanya untukmu
Kuingin mencintaimu sampai hayatku
Walau ku tak pernah tau
Kapan hatiku bisa menerimamu
1 Comment(s)Read On >>

Untuk Kawanku

Senang rasanya dirimu tlah temukan cinta
Agar kau tiada sesal mengharap cintaku
Namun mengapa dirimu berkata biasa saja padaku
Seolah dirimu tak merasa bahagia
Apa kau benar benar cinta padanya
Hai kawanku
Apa kau tau apa makna cinta yg sebenarnya
Andai kubisa jd cintamu
Mungkin kau akan paham
Apa makna cinta itu
Kemarin kau katakan
Aku ingin putus
seolah dirimu benar-benar mempermainkan cinta
Hai kawanku
Janganlah kau begitu
Kau harus tegas
Karena hati bisa merasakan sakit
2 Comment(s)Read On >>

Cinta dan Insan

Cinta berkata
Wahai insan
Aku hadir dihati-mu
Untuk menghilangkan sepi dan keresahan-mu
Tapi setelah lama ku sis hidup-mu
Engkau malah menuduh-ku
Pembawa resah dan pilu
Wahai insan
Aku datang pada-mu
Untuk mewarnai hidup-mu
Tapi engkau malah menuduh-ku
Sebagai penyebab timbulnya nafsu
Wahai insan
Aku senantiasa datang
Karena masih ada diantara mereka
Yang mengagungkan perasaan cinta
Bahkan mereka membawa-ku ketempat yang paling tinggi
Cinta sejati, murni dan abadi
Cinta pada ilahi
Pencinta alam ini
1 Comment(s)Read On >>

Syair Rabbi’ah

Aku mencintai-Mu dengan dua Cinta
Cinta karena aku dan Cinta karena-Mu jua
Cinta karena aku,
Senantiasa aku mengingat-Mu
Cinta karena-Mu
Karena Kau bukakan tabir…
Hingga kulihat puji bukan hak-ku
Bagi-Mulah segala puji
Duhai kekasih hati
hanya Engkaulah yang aku cintai
Kau ampuni perbuatan Dosa
Yang datang pasrah menghadap-Mu
Dikaulah harapan-ku,
Kenangan-ku dan kebahagiaanku
1 Comment(s)Read On >>

Puisi Patah Hati 2

Deras kudengar hujan yang turun malam ini
Seolah sang hujan senang melihatku
Yang sedang bermuram durja ini
Akhir-akhir ini kau nampak begitu baik padaku
Hari ini pun begitu
Kau tersenyum padaku lagi
Hatiku terasa dimanja akan kebaikanmu
Hingga tak kusadari
Diriku semakin jatuh cinta padamu
Namun sayang ternyata seperti itu
Diriku hanya seorang teman dimatamu
Kebaikan yang kau berikan telah kusalah artikan
Hingga hatiku merasa dibohongi
Sedih hatiku tuk mengingat-ingat kembali
Apa yang telah terjadi dihari ini
Awan mendung telah tutupi hatiku yang sedih ini
Kilat kilat yang menyambar dan petir yang bergemuruh
Terasa bagai sebuah pedang yang menusuk-nusuk batinku
Kesedihanku bukan untuk dirimu
Karena kusadari dirimu bukanlah untukku
Ku tak pantas tuk mencintaimu
Meski harapan tetap ada namun
Harapan itu tak lagi jadi harapanku
1 Comment(s)Read On >>

Puisi Patah Hati

Kubingung di persimpangan
Kabut kaburkan pandangan
Suara2 bertalu talu di kepala
Akibatkan sakit tak terkira
Pasak menghujam jantung
Tak mampu bunuh dendam terbendung
Hati ingin teriak
Keluarkan semua sesak
Dingin membeku
Panas membara
Tak bisa ekspresikan
Gejolak jiwa dalam insan
Cinta terpasung
Terus dirundung
Berselimutkan benci
Tapi ku bukan banci
Yang sembunyi dari kenyataan takdir
Kan ada cinta tulus hadir
Suatu hari nanti
Suatu saat nanti

Rabu, 12 September 2012

Rumah Tradisional Melayu-KEINDAHAN SENI RAGAM HIAS MELAYU

Rumah Tradisional Melayu


Rumah Melayu - Tebing Tinggi (Sumatera Utara). Rumah Tradisional Melayu ini kondisinya sudah cukup tua. Dahulu merupakan tempat kediaman Tengku Abin. Terletak di Bulian - Tebing Tinggi (photo: M Muhar Omtatok)
Rumah Melayu Batubara. Melayu Batubara adalah salah satu sub puak di Pesisir Timur Sumatera Utara (photo: M Muhar Omtatok)
Rumah Melayu Batubara (photo: M Muhar Omtatok)
Rumah Melayu di Pesisir Barat Sumatera (koleksi: M Muhar Omtatok)
Rumah Penduduk di Serapoh Asli - Tanjung Pura Langkat - Sumatera Utara. (koleksi: M Muhar Omtatok)
(koleksi: M Muhar Omtatok)
Rumah Melayu di Labuhan - Medan Sumatera Utara
(koleksi: M Muhar Omtatok)
Perkebunan Marendal - pinggiran kota Medan menuju Deli Serdang Sumatera Utara
(koleksi: M Muhar Omtatok)









Rumah-rumah tradisional Melayu telah diwarisi semenjak beratus tahun yang lalu. Gaya dan bentuk bangunannya dipengaruhi oleh cara hidup, ekonomi, alam persekitaran dan iklim.

Iklim adalah perkara yang penting yang mempengaruhi bentuk senibina. Negara kita mempunyai hawa yang panas dan hujan yang selalu turun dengan lebat. Rumah-rumah dan bangunan dibina dengan berpanggung atau bertiang. Rumah dibina demikian keranamemberi laluan atau pengedaran udara.

Rumah yang bertiang dapat mengelak daripada ditenggelami air apabila berlaku banjir. Bentuk bumbung yang curam yang dipanggil "lipat kajang" dapat memudahkan curahan air hujan. Lantai dan dinding rumah yang diperbuat daripada anyaman peluhan adalah untuk memudahkan pengedaran udara dan untuk mengurangkam rasa bahang panas.
Rumah yang awal yang digunakan oleh Melayu dipanggil "dangau" atau "teratak". Bentuk rumah tradisi ini adalah ringkas. Pada masa dahulu, tiang rumah adalah bulat dan diperbuat daripada anak-anak pokok kayu. seluruh rumah diperbuat daripada kayu dan bumbungnya daripada atap nipah atau rumbia.

Mendirikan rumah dilakukan dengan gotong royong, dengan terlebih dahulu melihat hari baik, dengan cara ‘ketiko/ketike’- ‘menengok langkah’. Setelah selesai dan ingin dihuni, diadakan kenduri dan tepung tawar.

Puri Seri Menanti di Kampong Semut - Tebing Tinggi - Sumatera Utara
(photo: M Muhar Omtatok)




KEINDAHAN SENI RAGAM HIAS MELAYU



oleh: M Muhar Omtatok

Saat memasuki sebuah bangunan arsitektur tradisional, di dalamnya kita akan mendapatkan adanya perlengkapan interior yang juga khas daerah setempat, termasuk pilarnya, ukiran daun pintu sebuah rumah, ornamen lubang angin di atas pintu kamar dan jendela, kursi dan meja serta detail arsitektur lain. Itulah Seni ragam hias atau ornamen yang merupakan warisan budaya tradisi, saat ini masih biasa di jumpai di seluruh pelosok tanah air, walau tidak terlestari seperti zamannya.

Ornamen ragam hias Melayu Sumatera Timur, selain sebagai nilai estetik pada sebuah bangunan arsitektur, juga kita temukan pada seni kriya bahkan pada makanan-makan tertentu yang di-tebuk (di-ukir); misalnya saja pada manisan tradisional yang disebut Halua. Dari Khazanah Melayu Sumatera, ada beberapa motif Ragam Hias yang digunakan dalam berbagai kepentingan. Pada sebuah kapal, lancang atau perahu dibuat ornamen khusus. Bahkan beberapa Ragam Hias juga mempunyai yang disejajarkan dengan Rajah Spiritual.


Buku Bemban merupakan motif Ragam Hias yang dianyam yang beragam. Ada yang sederhana seperti diatas hingga sarat hiasan. Mempunyai filsafat akan kebaikan dan kemakmuran.
Dalam Kuliner Melayu, mengenal manisan buah yang disebut Halua. Salah satu bahan adalah buah betik (pepaya0 yang dianyam menjadi motif buku bemban. Dahulu disajikan pada golongan bangsawan saja.


Motif Melayu ini disebut Sayap Layang-Layang. Dimaknai sebagai Simbol Kegagahan, Mampu Menghadapi Halangan & Rintangan, Penangkal Kejahatan dan Simbol Memperoleh Hasil Usaha yg maksimal. Karenanya Atap rumah (kajang angkap) orang Melayu serta haluan kapal, sering dipasang motif ini.


Motif Tapak Sulaiman adalah motif dasar di Melayu, yang bentuknya mengalami berbagai variasi, sebagai simbol kebaikan.


Ornamen ini bernama Siguntang Mahmeru, merupakan simbol kejayaan, Keabadian dan kemakmuran.


Walau di Melayu, ornamen hewan secara utuh sangat jarang bisa kita temukan, namun motif Naga Bekaluk di atas tampak utuh. Ini merupakan simbol kejantanan, keperkasaan dan percayadiri.




Itik Pulang Petang. Simbol kesabaran, kedisiplinan dan taat hukum.

Lebah Begantung. Pelambang kesetiaan, punya faedah yang banyak, rajin, tawar penyakit, begagan, beturai, bersyahadat, namun apa bila musuh menjual pantang tak dibeli dan selalu mendatangkan kebaikan.


Semut Beriring. Sebagai lambing kerajinan, gotong royong, tetap pendirian dan tahu diri.


Badak Balek. Simbol pagar diri



Selembayung. Orang Melayu meletakkannya di puncak rumah, sebagai simbol tangkal gaib, kemakmuran dan ketentraman.

Pucuk Rebung

Awan Larat. Motif ini bermakna Harmoni seia sekata by erick

Kamis, 06 September 2012

Asal Usul Bahasa Melayu

Asal Usul Bahasa Melayu



Asal usul perkataan Melayu masih belum dapat disahkan oleh sejarawan.

Bagaimanapun terdapat beberapa bukti sejarah yang cuba mengaitkan asal-usul bahasa Melayu, seperti mana berikut:

1. Catatan orang China yang menyatakan bahawa sebuah kerajaan Mo-lo-yeu mempersembahkan hasil bumi kepada raja China sekitar 644-645 Masihi.

Dikatakan orang Mo-lo-yeu mengirimkan Utusan ke negara China untuk mempersembahkan hasil-hasil bumi kepada raja China.

2. Ada yang mempercayai kerajaan Mo-lo-yeu berpusat di daerah Jambi, Sumatera , daripada sebatang sungai yang deras alirannya, iitu Sungai Melayu.

3. Satu lagi catatan orang China ialah catatan rahib Buddha bernama I-Tsing yang menggunakan kata ma-lo-yu tentang dua buah kerajaan yang dilawatinya sekitar 675 Masihi.

4. Dalam bahasa Jawa Kuno, perkataan ``Mlayu'' bermaksud berlari atau mengembara. Hal ini boleh dipadankan dengan orang Indo-Melayu (Austonesia) yang bergerak dari Yunan.





Asal Usul Bangsa Melayu

Dipercayai berasal daripada golongan Austronesia di Yunan.

Kumpulan pertama dikenali sebagai Melayu Proto.

Berpindah ke Asia Tenggara pada Zaman Batu Baru (2500 Sebelum Masihi)

Keturunannya Orang Asli di Semenanjung Malaysia, Dayak di Sarawak dan Batak di Sumatera.

Kumpulan kedua dikenali sebagai Melayu Deutro

Berpindah ke Asia Tenggara pada Zaman Logam kira-kira 1500 Sebelum Massihi.

Keturunannya orang Melayu di Malaysia

Dikatakan lebih bijak dan dan mahir daripada Melayu Proto.

Bijak dalam bidang astronomi, pelayaran dan bercucuk tanam.

Bilangan lebih banyak daripada Melayu Proto.

Menduduki kawasan pantai dan lembah di Asia Tenggara.

Orang ini, kumpulan pertama dan kedua, dikenali sebagai Austronesia.

Bahasa-bahasa yang terdapat di Nusantara sekarang berpunca daripada bahasa Austronesia ini.



Nik Safiah Karim menerangkan bahawa bahasa Austronesia ialah satu rumpun bahasa dalam filum bahasa Austris bersama-sama dengan rumpun bahasa Austroasia dan Tibet-China (rujuk carta alir di atas).

Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Golongan Sumatera bersama-sama dengan bahasa-bahasa Acheh, Batak, Minangkabau, Nias, Lampung dan Orang Laut.



Perkembangan Bahasa Melayu

Ahli bahasa membahagikan perkembangan bahasa Melayu kepada tiga tahap utama iaitu:

* Bahasa Melayu Kuno,
* Bahasa Melayu Klasik dan
* Bahasa Melayu Moden.



Bahasa Melayu Kuno

Merupakan keluarga bahasa Nusantara

Kegemilangannya dari abad ke-7 hingga abad ke-13 pada zaman kerajaan Sriwijaya, sebagai lingua franca dan bahasa pentadbiran.

Penuturnya di Semenanjung, Kepulauan Riau dan Sumatera.

Ia menjadi lingua franca dan sebagai bahasa pentadbiran kerana:

* Bersifat sederhana dan mudah menerima pengaruh luar.
* Tidak terikat kepada perbezaan susun lapis masyarakat
* Mempunyai sistem yang lebih mudah berbanding dengan bahasa Jawa.

Banyak dipengaruhi oleh sistem bahasa Sanskrit. Bahasa Sanskrit kemudian dikenal pasti menyumbang kepada pengkayaan kosa kata dan ciri-ciri keilmuaan (kesarjanaan) Bahasa Melayu.

Bahasa Melayu mudah dipengaruhi Sanskrit kerana:

* Pengaruh agama Hindu
* Bahasa Sanskrit terletak dalam kelas bangsawan, dan dikatakan mempunyai hierarki yang tinggi.
* Sifat bahasa Melayu yang mudah dilentur mengikut keadaan dan keperluan.

Bahasa Melayu kuno pada batu-batu bersurat abad ke-7 yang ditulis dengan huruf Pallawa:

* Batu bersurat di Kedukan Bukit, Palembang (683 M)
* Batu bersurat di Talang Ruwo, dekat Palembang (684 M)
* Batu bersurat di Kota Kampur, Pulau Bangka (686 M)
* Batu bersurat di Karang Brahi, Meringin, daerah Hulu Jambi (686 M)

Bahasa Melayu kuno pada batu bersurat di Gandasuli, Jawa Tengah (832 M) ditulis dalam huruf Nagiri.

Ciri-ciri bahasa Melayu kuno:

* Penuh dengan kata-kata pinjaman Sanskrit
* Susunan ayat bersifat Melayu
* Bunyi b ialah w dalam Melayu kuno (Contoh: bulan - wulan)
* bunyi e pepet tidak wujud (Contoh dengan - dngan atau dangan)
* Awalan ber- ialah mar- dalam Melayu kuno (contoh: berlepas-marlapas)
* Awalan di- ialah ni- dalam bahasa Melayu kuno (Contoh: diperbuat - niparwuat)
* Ada bunyi konsonan yang diaspirasikan seperti bh, th, ph, dh, kh, h (Contoh: sukhatshitta)
* Huruf h hilang dalam bahasa moden (Contoh: semua-samuha, saya: sahaya)



Peralihan Bahasa Melayu Kuno Ke Bahasa Melayu Klasik

Peralihan ini dikaitkan dengan pengaruh agama Islam yang semakin mantap di Asia Tenggara pada abad ke-13.

Selepas itu, bahasa Melayu mengalami banyak perubahan dari segi kosa kata, struktur ayat dan tulisan.

Terdapat tiga batu bersurat yang penting:

a. batu bersurat di Pagar Ruyung, Minangkabau (1356)

* ditulis dalam huruf India
* mengandungi prosa melayu kuno dan beberapa baris sajakm Sanskrit.
* bahasanya berbeza sedikit daripada bahasa batu bersurat abad ke-7.

b. Batu bersurat di Minye Tujuh, Acheh (1380)

* masih memakai abjad India
* buat pertama kalinya terdapat penggunaan kata-kata Arab seperti kalimat nabi, Allah dan rahmat

c. batu bersurat di Kuala Berang, Terengganu (1303-1387)

* ditulis dalam tulisan Jawi
* membuktikan tulisan Arab telah telah digunakan dalam bahasa Melayu pada abad itu.

Ketiga-tiga batu bersurat ini merupakan bukti catatan terakhir perkembangan bahasa Melayu kerana selepas abad ke-14, muncul kesusasteraan Melayu dalam bentuk tulisan.



Bahasa Melayu Klasik

Kegemilangannya boleh dibahagikan kepada tiga zaman penting:

* Zaman kerajaan Melaka
* Zaman kerajaab Acheh
* Zaman kerajaan Johor-Riau

Antara tokoh-tokoh penulis yang penting ialah Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumaterani, Syeikh Nuruddin al-Raniri dan Abdul Rauf al-Singkel.

Ciri-ciri bahasa klasik:

* ayat: panjang, berulang, berbelit-belit.
* banyak ayat pasif
* menggunakan bahasa istana
* kosa kata klasik: ratna mutu manikam, edan kesmaran (mabuk asmara), sahaya, masyghul (bersedih)
* banyak menggunakan perdu perkataan (kata pangkal ayat): sebermula, alkisah, hatta, adapun.
* ayat songsang
* banyak menggunakan partikel ``pun'' dan `'lah''

Rabu, 05 September 2012

sejarah melayu riau

Batubara - Pagurawan, Sipare Pare, Tanjong












tulisan: Tuanku Luckman Sinar Basharshah II SH

Kamis, 24 November 2011

Tanjung Kasau

Selasa, 23 November 2010

KESULTANAN MELAYU

Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, S.H (Serdang , 2001 - 13 Januari 2011), Tuanku Otteman Mahmud Perkasa Alam (Deli , 5 Mei 1998–21 Juli 2005), Tuanku Dr. Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmadsjah (Asahan, 1980 – sekarang), Tuanku Azwar Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj (Langkat, 2003 – sekarang)

KESULTANAN MELAYU LANGKAT
§ 1568-1580 : Panglima Dewa Shahdan
§ 1580-1612 : Panglima Dewa Sakti, anak raja sebelumnya
§ 1612-1673 : Raja Kahar bin Panglima Dewa Sakdi, anak raja sebelumnya
§ 1673-1750 : Bendahara Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar, anak raja sebelumnya
§ 1750-1818 : Raja Kejuruan Hitam (Tuah Hitam) bin Bendahara Raja Badiuzzaman, anak raja sebelumnya
§ 1818-1840 : Raja Ahmad bin Raja Indra Bungsu, keponakan raja sebelumnya
§ 1840-1893 : Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah (Tengku Ngah) bin Raja Ahmad, anak raja sebelumnya
§ 1893-1927 : Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah bin Sultan Haji Musa, anak raja sebelumnya
§ 1927-1948 : Tuanku Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah bin Sultan Abdul Aziz, anak raja sebelumnya
§ 1948-1990 : Tengku Atha'ar bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, anak raja sebelumnya, sebagai pemimpin keluarga kerajaan
§ 1990-1999 : Tengku Mustafa Kamal Pasha bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, saudara raja sebelumnya
§ 1999-2001 : Tengku Dr Herman Shah bin Tengku Kamil, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah
§ 2001-2003 : Tuanku Sultan Iskandar Hilali Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj bin Tengku Murad Aziz, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah, gelar Sultan dipakai kembali
§ 2003- : Kepala Kerapatan Kesultanan Negeri Langkat - Tuanku Azwar Abdul Jalil Rahmadsyah al-Hajj bin Tengku Maimun, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah

KESULTANAN MELAYU DELI


KESULTANAN MELAYU SERDANG

* 1728-1782 Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Syah bin Tuanku Panglima Paderap [Kejeruan Junjungan], Raja Serdang
* 1782-1822 Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Syah ibni al-Marhum Tuanku Umar [Al-Marhum Kacapuri], Raja Serdang.
* 1822-1851 Tuanku Thaf Sinar Basyar Syah ibni al-Marhum Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah [Al-Marhum Besar], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
* 1851-1879 Tuanku Muhammad Bashar ud-din Saif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Thaf Sinar Bashar Shah [Al-Marhum Kota Batu], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
* 1879-1946 Tuanku Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Bashar un-din [Al-Marhum Perbaungan], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
* 1946-1960 Tengku Rajih Anwar ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Tengku Putra Mahkota, Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
* 1997-2001 Tuanku Abu Nawar Sinar Sharifu'llah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Pemangku Adat Negeri Serdang
* 2001 – 2011 Tuanku Luckman Sinar Basharshah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Pemangku Adat Negeri Serdang
*2011 – sekarang Tuanku Achmad Tala'a Sharifu'llah Alam Shah ibni Tuanku Abu Nawar Sinar Sharifu'llah Alam Shah.

KESULTANAN MELAYU ASAHAN

• Raja Yang Dipertuan Abdul Jalil ibni Sultan Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat ((Sultan Alaiddin Riyatsyah I Al Qahhar – Sultan Aceh ke XII) [Marhum Tangkahan Sitarak] dimulai 1630.
• Raja Yang Dipertuan Saidisyah ibni Raja 'Abdu'l Jalil [Marhum Simpang Tiga/Simpang Touba]
• Raja Yang Dipertuan Muhammad Rumsyah ibni Raja Saidisyah [Marhum Gagap]
• Raja Yang Dipertuan Abdul Jalil Syah II ibni Raja Muhammad Rumsyah [Marhum Mangkat di Sungei Raja] (1760 - 1765)
• Raja Yang Dipertuan Dewa Syah ibni Raja Abdul Jalil [Marhum Pasir Putih](1756 – 1805)
• Raja Yang Dipertuan Musa Syah ibni Raja Dewa Syah [Marhum Rantau Panjang] (1805 – 1808) Mangkat saat Permaisurinya, yaitu Encik Fatimah (puteri Bendahara Megat Gunung) sedang mengandung putra beliau.
• Raja Yang Dipertuan Muhammad Ali Syah ibni Raja Dewa Syah(1808 – 1813). Beberapa bulan berkuasa, lahir putra Raja Musa Syah, yaitu Raja Muhammad Ishaq – berikutnya kelak menjadi Raja Yang Dipertuan Muda Negeri Kualuh
• Tuanku Sultan Yang Dipertuan Besar Muhammad Hussein Syah ibni Raja Muhammad Ali Syah [Marhum Sirantau] (1813 – 10 Pebruari 1859)
Tuanku Sultan Yang Dipertuan Besar Ahmad Syah ibni Tuanku Muhammad Hussein Syah [Marhum Maharaja Indrasakti] (1859 – 27 Juni 1888). 1865 Sultan Ahmad Syah diasingkan oleh Belanda bersama adiknya Tengku Muhammad Adil ke Riau. Sedangkan adiknya yang lain Tengku Pangeran Besar Muda diasingkan oleh Belanda ke Ambon. Sejak tahun 1865 s/d 1868 atas arahan residen Belanda di Riau Elisa Netscher, Asahan diperintah oleh Tengku Naamatullah negeri Kualuh dan Leidong, dan dari tahun 1868 s/d 1886 Asahan diperintah oleh 4 pembesar Melayu. 1885 Belanda mengizinkan Sultan Ahmad Syah dan Tengku Muhammad Adil kembali ke Asahan dengan syarat tidak boleh campur tangan dalam dunia Politik. Dan tidak lama kemudian Tengku Pangeran Besar Muda juga diizinkan pulang ke Asahan oleh Belanda. Sultan Ahmad Syah kembali memerintah pada 25 Maret 1886 sampai 27 Juni 1888. Selama memerintah beliau pernah menandatangani perjanjian politik dengan Belanda pada tanggal 25 Maret 1886 di Bengkalis ( Akte Van Verband ).Sultan Ahmad Syah mangkat tanpa memiliki anak seora
• Tuanku Sultan Yang Dipertuan Besar Muhammad Husain Rahmad Shah II ibni Tengku Muhammad 'Adil (8 Oktober 1888 - 7 Juli 1915)
• Tuanku Sultan Yang Dipertuan Besar Saibun Abdul Jalil Rahmatsyah. Beliau mulai memerintah sejak 7 Juli 1915 sampai tahun 1956. Akan tetapi karena ketika dilantik beliau masih kecil, pemerintahan dipegang oleh saudara ayahnya Tengku Alang Yahya. ( Tengku Regent Negeri Asahan ). Beliau ditabalkan menjadi Sultan Asahan di Istana Kota Raja Indra Sakti Tanjung Balai pada hari Kamis 15 Juli 1933 pukul 11.00 WIB ( 9 Safar 1353 H ). Mangkat pada 6 April 1980.
• Tuanku Dr Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmatsyah ibni Tuanku Saibun Abdul Jalil Rahmatsyah, Sultan Pemangku Adat Negeri Asahan (17 Mei 1980 – sekarang)

Jumat, 09 April 2010

PERMAINAN ANAK MELAYU DENGAN BERLAGU



Tengoklah emak menyulam kain

Tiada lupa memasak pengat

Tengoklah budak pabila bermain

Tiada sedih badanpun kur semangat


oleh: M Muhar Omtatok

Permainan anak-anak tradisional, terasa hilang kini, berganti dengan permainan import yang mengajarkan individualisme dan naluri menyerang, seperti play station, game online dan sebagainya.

Hj. Rosmalina, Pemerhati soalan Melayu di Tebingtinggi, mengatakan bahwa permainan anak-anak tradisional boleh membangkitkan rasa kerja sama dan penyesuaian diri yang baik karena terbiasa melakukan sesuatu bersama-sama. Sebagai makhluk sosial, kita pasti membutuhkan kehadiran orang lain dalam hidup kita. Tak mungkin segalanya dapat dilakukan sendiri. Sekecil apapun bantuan orang lain sangat berperan dalam hidup kita.

Selanjutnya Hj. Rosmalina berpendapat, “Permainan budak-budak masa lampau, boleh melatih tubuh lebih sehat dan kreatif. Budak-budak lampau bermain dengan riangnya, sambil bergerak seimbang. Tak macam budak kini, cuma terconggok di depan monitor seorang diri, macammana pula kelak mereka sanggup berhadapan dengan orang banyak, ditambah lagi tubuh tiadalah mungkin terbiasa, bergerak, budak-budak kini jadi pelesuh”.

Dalam tradisi budaya permainan anak-anak, sangat banyak jenis permainan yang tercipta. Sebut saja Congkak, Seremban/Serimbang/Selambut, alif jongkok, alif cendong, alif ba ta liun, alif berondok, galah asin/bilun, sambar elang, menyelam di sungai, gasing, layang-layang/wau, yoyo, kumkum, engklek dan sebagainya.

Ada pula permainan anak-anak Melayu dengan mengujarkan lagu-lagu tertentu saat bermain. Disini saya coba berikan sedikit, sesuai ingatan saya.



a. Wak Udin
Dalam permainan ini, satu anak bersujud, anak-anak yang lain meletakkan sebuah telapaknya pada tubuh belakang anak yang bersujud tadi. Seorang anak menggenggam sesuatu dan memindahkan sesuatu itu pada telapak tangan tiap-tiap anak secara berurutan. Saat memindahkan sesuatu yang digenggam tersebut, dinyanyikanlah lagu ‘Wak Udin’ hingga selesai. Lalu disuruhlah anak yang bersujud menebak, di tangan siapa jatuhnya sesuatu benda tersebut, setelah semua anak menggenggam tangannya.
Ini lagunya:
“Wak wak Udin, Wak Udin hendak kawin. Potong kerbau pendek, potong kerbau panjang. Cak guncil lewe lewe… cak guncil lewe lewe…”

b. Panjang Pendek
Permainan ini menggunakan dua belah telapak tangan yang disatukan. Seolah bermain wayang, jari-jari menjadi anak wayang. Jari tengah menjadi Si Panjang, jari manis berperan menjadi Anak, jari telunjuk menjadi Emak. Disini terjadi dialog antara Anak dan Emak. Saat anak bertanya kepada Emak, maka jari manis kedua tangan menari bersilang-silang, begitu juga jika Emak berbicara, maka jari telunjuk menari bersilang – silang, Jari tengah juga demikian jika Si Panjang merasa senang. Dua ibu jari diletakkan di ujung dagu saat permainan dilakukan.
Jika tarian jari yang bersilang-silang terjadi kesalahan atau tidak cepat menari bersilang-silang, maka permainan digantikan anak yang lain.

Ini lagunya:
Jari Manis: “Emak…Emak, Potong si Panjang ni…”
Jari Telunjuk: “Mengapa dia dipotong”
Jari Manis: “Takut aku sama dia”
Jari Telunjuk : “Banyak orang di dunia ni, panjang pendek serupa saja”
Jari Tengah: “Pak pong…Pak Pong…Pak pong pak pong pak pong…”

c. Hantu Dengut
Hantu Dengut: “Mana emakmu?...”
Budak:”Pegi ke pasar”
Hantu Dengut:”Menjual apa?”
Budak:”Menjual bubu”
Hantu Dengut:”Mana bubunya?”
Budak:”Di atas atap”
Hantu Dengut:”Boleh kumakan?”
Budak:”Makanlah”
Ngut ngut hantu dengut…ngut ngut hantu dengut ..
Ngut ngut hantu dengut…ngut ngut hantu dengut ..


d. Tong Along Along

“Tong Along along, kericing riang-riang, Ketapang kuda palong, arak arak minyak arab, pecahkan telur sebijik…taaarrr…”

Saat melagukan, anak-anak yang terdiri dari 3 atau 4 orang duduk melingkar sambil mengepalkan tangan dan disusun bertingkat. Tangan bergoyang goyang, hingga bait terakhir pada lagu, yaitu ‘taaarrr’ maka kepalan paling bawah terbuka.
Sambil semua kepalan terbuka, bersama-sama mengangkat dan menurunkan tangan yang bersatu itu. Kemudian anak anak bernyanyi lagu berikut;

e. Ram Ram Pisang
“Ram ram pisang, pisang masak sebiji, bawa gonggong bawa lari. Bak…bak buuur…”

Kedua belah tangan masing-masing diangkat keatas, tetap dalam kesatuan, seolah-olah melarikan sesuatu. Permainanpun berakhir sambil bersorak sorai.


f. Lemang Semambu

Empat atau 5 anak duduk melingkar. Kedua tangan diletakkan ke lantai. Seorang anak menjadi pemimpin dan menekankan hanya tangan kirinya ke lantai. Tangan kanannya difungsikan sebagai penjamah. Tiap-tiap tangan kawan-kawannya, sambil berlagu:

“Mang semambu, kuala sambau. Hujan nunut, mandi katong. Sirih rabit, pinang jawi. Sintak peluk Tuan Putri Enam Dewa”.

Setiap suku kata dari lagu diatas, tangannya menjamah bergiliran. Tangan yang terjamah pada akhir lagu, menjadi bebas dan diangkat pada dada yang bermain. Jika tangan yang sebelah lagi terjamah pada akhir lahu, maka diletakkan di atas kepala.
Lagu berulang-ulang sampai seluruh anak eletakkan tangan di dada dan kepala. Kemudian bergiliran, anak yang menjadi pemimpin bertanya:

Pemimpin: “Apa dijunjung?”
Jawab: “Bakul”
Pemimpin: “Apa dijurus?”
Jawab: “Rotan”
Pemimpin: “Apa kilik?”
Jawab: “Sumpit”
Pemimpin: “Apa tungkat?”
Jawab: “Lemang”

Ketika si anak ditanya, tangan yang di kepala di letakkan di dada dan dipeluk erat. Lalu pemimpin berbuat seolah-olah mencincang tangan kawannya, sambil berlagu:

“Pak…pak…si pungguk, si pungguk mati akar, Tuan Haji ke padang, bersunting daun, sehari tak dipandang serasa setahun”.

Kemudian dia bertanya pula kepada kawannya:
“Peti besi atau peti kayu?”
Jawab: Peti besi (jika dijawab “peti kayu” berarti menyerah kalah)
Pimpinan: “Mana kuncinya?”
Jawab: “Jatuh ke lubuk”
Pimpinan: “Kalau diselam?”
Jawab: “Merah mata”
Pimpinan: “Kalau disuduk?”
Jawab: “Patah suduk”
Pimpinan: “Kalau dijala?”
Jawab: “Koyak jala”

Mendengar jawaban tersebut, pimpinan berkata, “Kalau begitu, lebih baik diselam saja…ngup!”, dengan sekuat tenaga pemimpin menarik tangan, dan yang ditarik mempertahankan pelukannya.

Jika terbuka, ia menunjukkan telunjuknya sambil berujar, “ini kuncinya”, maka dia menjadi pemenang dan mendapat Tuan Putri Enam Dewa.Permainan ini bisa sampai berguling guling dan menjadi tertawaan kawan yang lain.

g. Rangkai Rangkai Periuk

Seluruh tangan berkaitan sesama kelingking bergerak turun naik, sambil berlagu:

“Rangkai, rangkai periuk, Periuk dari jawa, Sumbing sedikit terantung tiang para, wak wak wit…siapa ketawa kena cubit”

Lingkaran yang terkait tadipun diputuskan, lalu masing-masing menutup mulut menahan tawa. Jika ada yg tersenyum nyaris tertawa, maka yg disampingnya mencupit seperti menggelitiki.

Yang kena cubit bertanya, : “Kenapa saya dicubit?”
Jawab: “Curi lada saya”
Tanya: “Mana budak kata?”

Lalu ditunjuk oleh yang mencubit, salah seorang anak yang ikut bermain. Lalu yang kena cubit mencubit anak yang ditunjuk. Lalu muncul pertanyaan dan jawaban seperti diatas, begitu seterusnya hingga saling menunjuk. Sampai semua saling mencubit setengah menggelitik.

Masih banyak lagi jenis lagu dibuat untuk permainan anak-anak Melayu. Misalnya saja ada sebuah permainan yang diberikan orangtua atau anggota ,keluarga kepada bayi yang baru bias duduk, yaitu dengan mengajarkannya membuka jari jemari dan menutup kembali jari jemarinya, sambil bernyanyi berulang ulang:

“Minta cekur udang gemit. Minta cekur bagai kunyit”

Untuk melatih anak agar tidak celat dan bias menyebut huruf “r”, maka dibuat mainan lagu yang diucapkan berulang-ulang hingga fasih:

“Ular menjalar di pagar wak umar”



Ada pula permainan untuk bayi, dengan menyentuh nyentuhkan telapak si bayi dengan telunjuk, terus ke lengan, sambil berlagu dan tersenyum:

“Cuk…cuk melukut, berambang gentang, dimana tikus nyuruk, di bawah batang”

Ketika kata di bawah batang maka telunjuk diarahkan ke ketiak si bayi sambil setengah menggelitik, hingga bayi tertawa-tawa.
Ada pula saat bayi sedang terduduk atau mulai pandai berdiri, maka si ibu atau anggota keluarga mengajaknya bermain dengan menepuk-nepuk dua tangan, sambil berlagu:

“Pok amai amai belalang kupu kupu, bertepuk kita pandai diupah air susu. Susu lemak manis santan kelambir muda, anak usah nangis diupah tanduk kuda. O, kuda…O, kuda…orang betanduk, engkau tidak, alih bertanduk bercabang tiga”.

Ada pula bayi diajak bermain dengan menimangnya, sambil melagukan, diantara baitnya antara lain:

“Timanglah tinggi tinggi, timang keatas atap. Belumlah tumbuh gigi, sudah pandai membaca kitab.

Timanglah tinggi tinggi,naik duri nipah. Belum tumbuh gigi, sudah tahu minta cepah.

Mang sigalimang, timang kepala labu. Asik kita bertimang, tak tentu kain baju”.

Masih banyak jenis permainan anak Melayu yang dilakukan dengan berlagu, inilah khazanah moyang yang tiada boleh lesap tertelan permainan yang tak berfaedah.

"Cak cak uncang anak elang bidadari, habis kau uncang larikan ke tepi, injik injik batang terinjik pokok padi, pabila Atok datang membawa parang panjang, buat apa parang panjang, penebas buluh telang, buat apa buluh telang, pembuat tali leher, buat apa tali leher, penjerat kuda belang, buat apa kuda belang, buat mainan anakku, siapalah namanya, Budak Melayulah namanya….

Kamis, 06 Agustus 2009

Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur

Tulisan ini berisi informasi tentang pertumbuhan 23 Kerajaan Melayu di Sumatera Timur dan Riau, baik yang kecil maupun yang besar. Dari sejarah kerajaan-kerajaan tersebut dapat dilihat terjadinya interaksi antarkerajaan, tentang nilai-nilai budayanya, dan tentang konsep politiknya. Informasi ini dapat dijadikan bahan untuk memetik potensi-potensi yang ada maupun mengetahui kelemahan-kelemahan yang membuat kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran.


1. Pendahuluan
Ruang lingkup pembahasan makalah ini adalah Karesidenan Sumatera Timur (Residentie Oostkust van Sumatera) yang lepas dari Residensi Riau pada tahun 1873. Meskipun ruang lingkup ini sempit, namun Kerajaan Melayu yang akan disinggung cukup banyak, karena wilayah Karesidenan Sumatera Timur sebelum 1 Januari 1940 juga meliputi Kerajaan Siak, Pelalawan, Gunung Sahilan, Kepenuhan, Kunto Darussalam, Rokan IV Koto, Kampar Kiri, Rambah, Sengingi, Logas, dan Tambusai. Wilayah Kerajaan Melayu mulai dari Siak ke selatan. Pada tahun 1940 Kerajaan Melayu dipisahkan dari wilayah Karesidenan Sumatera Timur dan menjadi wilayah Kerajaan Melayu Riau. Oleh karena itu, pembatasan pembahasan Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur hanya sampai pada masa sebelum datangnya Jepang, yaitu sebelum tahun 1940.
Pada tahun 1915 kerajaan-kerajaan Melayu yang masuk wilayah Karesidenan Sumatera Timur menjadi wilayah Provinsi Sumatera Timur, dengan ibukota Medan. Empat Kerajaan Melayu di Temiang, yaitu Kerajaan Bendahara, Kerajaan Karang, Kerajaan Sutan Muda, dan Kerajaan Muda dikeluarkan dari Sumatera Timur dan dimasukkan ke wilayah Provinsi Aceh oleh Belanda pada tahun 1900.
Kerajaan besar yang berstatus kesultanan dengan Kontrak Politik adalah: 1) Deli; 2) Asahan; 3) Siak; 4) Serdang; 5) Langkat; 6) Kualuh; 7) Pelalawan, sedang kerajaan-kerajaan dengan Pernyataan Pendek (Korte Verklaring), adalah: 8) Billah; 9) Gunung Sahilan; l0) Kedatukan Indrapura (Batubara); 11) Kepenuhan; 12) Kunto Darussalam; 13) Kotapinang; 14) IV Kota Rokan Kiri; 15) Kedatukan Lima puluh (Batubara); 16) Logas; 17) Panai; 18) Kedatukan Pesisir (Batubara); 19) Rambah; 20) Singingi; 21) Kedatukan Suku Dua (Batubara); 22) Tambusai; 23) Kedatukan Tanah Datar (Batubara).



2. Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua
Kurun waktu berdiamnya orang-orang Melayu di wilayah pesisir bagian timur Sumatera sulit untuk dipastikan. Kita hanya mendengar bahwa pada masa lalu seorang raja dari India Selatan yang bernama Rajendra Cola Dewa I pada tahun 1011 M menyerang Sriwijaya dan negeri-negeri lainnya di Semenanjung Tanah Melayu dan di Sumatera. Penyerangan tokoh “Raja Sunan” ini diungkapkan dalam Sejarah Melayu (cerita ke-1). Kerajaan-kerajaan Melayu yang termasuk tua adalah sebagai berikut.


a. Panai
Dalam suatu inskripsi di Tanjore terdapat daftar nama-nama negeri yang ditaklukkan oleh “Raja Sunan”, di antaranya adalah Kerajaan Panai (with water in its bathing ghats, ‘lapang yang cukup diairi sungai-sungai‘). Pusat Kerajaan Panai purba terletak di antara aliran Sungai Barumun dan Sungai Panai. Di wilayah tersebut terdapat peninggalan candi Hindu aliran Tantrik Bhainawa. Candi dibangun pada masa setelah penyerangan Cola (1025 M) sampai dengan masa pendudukan Majapahit (1365 M), yang kemudian merebut Panai (lihat Negarakertagama). Meskipun biara-biara itu tidak meninggalkan nama raja-raja dan peristiwa sejarah, tetapi inskripsi yang ditemukan memakai tulisan Melayu kuno, seperti yang terdapat di dinding Candi Sitopayan, yang bertulisan “berbuat biyna” dan inskripsi Gunung Tua (1024 M) yang bertulisan “Juru Pandai suryyaberbwat bhatara lokanata”. Inskripsi ini menunjukkan bahwa penguasa yang memerintahkan pembuatan candi adalah orang Melayu, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Schnitger dalam bukunya The Forgotten Kingdoms in Sumatera.

b. Haru
Kerajaan Melayu tua lainnya adalah Kerajaan Haru atau Aru. Menurut kisah dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan dalam Sejarah Melayu, kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad. Keduanya merupakan rombongan dari Madinah dan Malabar, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudra Pasai, pada pertengahan abad ke-13. Marco Polo sempat bertemu Malikulsaleh yang terkenal dengan nama Merah Silu pada tahun 1292 M. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Haru setidak-tidaknya sudah Islam sejak akhir abad ke-13 M (Sinar, 1981b: 29–31).
Kerajaan Haru meliputi wilayah pesisir Sumatera Timur, yaitu dari batas Temiang sampai Sungai Rokan. Kerajaan ini sudah beberapa kali mengirim misi ke Tiongkok. Yang pertama di tahun 1282 M, pada zaman pemerintahan Kubilai Khan (Sinar, 1976). Hasil-hasil penggalian di kota Cina (Labuhan Deli) juga membuktikan bahwa wilayah itu merupakan wilayah ekonomi yang potensial untuk berdagang dengan Cina (Krisnon dan Sinar, 1974). Kerajaan Haru juga pernah ditaklukkan oleh Kertanegara dalam ekspedisi Pamalayu (1292). Dalam Pararaton ditulis “Haru yang bermusuhan”. Akan tetapi setelah itu Haru pulih kembali dan menjadi makmur, sebagaimana dicatat oleh orang Persia, Fadiunllan bin Abdul Kadir Rashiduddin dalam bukunya Jamiul Tawarikh pada tahun 1310 M. Haru kemudian ditaklukkan Majapahit (1365), seperti tertera dalam syair Negarakertagama seloka 13: 1. Selain itu, Haru (Harw) juga ditaklukkan Panai (Pane) dan Kompai (Kampe) di Teluk Haru. Dalam laporan Tiongkok abad ke-5 juga disebutkan bahwa Haru (kerajaan Islam) berkali-kali mengirim misi ke Cina (Ma Huan, 1451: 7919). Laporan-laporan Cina dan laporan-laporan Portugis menunjukkan bahwa pusat Kerajaan Haru berada di sekitar Sungai Deli. Di sana terdapat bendera Cina dan Medina (Medan), sebagaimana yang disebut oleh Laksamana Turki Ali dalam Al Muhit (Ferrand, 1914: 42).

Pada abad ke-15 Haru sudah menjadi kerajaan terbesar di Sumatera dan ingin menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka. Oleh karena itu, Haru menduduki Pasai dan menyerang Melaka berkali-kali, seperti disebut dalam Sejarah Melayu. Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran Kerajaan Haru setaraf dengan Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing menyebut dirinya “adinda”. Semua surat dari Haru yang datang ke Melaka harus disambut dengan upacara kebesaran negara. Kebesaran Haru juga diakui oleh Portugis (Ferrand, 1914: 484–541). Portugis berusaha menjalin persahabatan dengan Haru agar terjadi pertentangan dengan Pasai dan Melayu Melaka. Akan tetapi ketika bekas Sultan Melaka (Sultan Mahmudsyah I) diserang oleh Portugis di pengungsiannya di Bintan, Sultan Haru bersama Sultan Husin datang membantu Melaka. Oleh karena itu, Sultan Haru dinikahkan dengan putri sultan yang bernama Raja pada tahun 1520 M. Ribuan orang dari Johor dan Bintan berangkat mengiringi tuan putri kesayangan Sultan Mahmudsyah itu pindah ke Haru. Hal ini memperkuat proses Melayunisasi di Haru (Mills, 1925: 31–39). Kedatangan ratusan abdi Kraton Melayu dari Bintan mempercepat proses Melayunisasi di Haru. Hubungan mesra antara Haru dengan Imperium Melayu di Riau-Johor membawa malapetaka bagi kedua kerajaan, karena Imperium Aceh yang muncul kemudian merasa tersinggung.

Dalam Sejarah Melayu (cerita ke-24) disebutkan bahwa pada periode 1477-1488 M. Haru dipimpin oleh Maharaja diraja, Putra Sultak Sujak, “yang turun daripada Batak Hilir di kota Hulu, Batak Hulu, di kota Hilir”, atau mungkin saja kata “Batak” sengaja dihilangkan untuk menghindarkan anggapan penghinaan karena nama “Batak” menunjuk pada daerah pedalaman yang pada masa itu masih terbelakang dan belum Islam. Dengan kalimat itu dimaksudkan supaya daerah yang terletak di pesisir menjadi Melayu (masuk Melayu; masuk Islam). Adapun di antara nama pembesar-pembesar Haru yang disebut Sejarah Melayu, seperti nama Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat, merupakan nama yang mirip dengan nama-nama Karo. Di Hulu Deli ada daerah bernama Urung Serbayaman, yang merupakan nama salah satu Raja Urung Melayu di Deli yang berasal dari Karo.

c. Siak
Nama Siak sudah tercantum dalam Negarakertagama sebagai daerah yang ditaklukkan Majapahit pada tahun 1365 M. Pada mulanya Raja Siak mengaku sebagai keturunan Nila Pahlawan, saudara Nila Utama, yaitu makhluk yang turun di Bukit Siguntang Mahameru. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyursyah Akbar (1458–1477 M) di Melaka, kerajaan Siak diperintah seorang raja yang masih beragama Hindu bernama Maharaja Permaisura. Siak ditaklukkan oleh ekspedisi militer Melaka yang dikepalai oleh Khoja Baba yang berasal dari India dan bergelar Ichtiar Muluk.
Putra Maharaja Permaisura yang bernama Megat Kudu diislamkan dan dinikahkan dengan Raja Dewi, putri Raja Melaka, kemudian dinobatkan/ditabalkan sebagai Sultan Siak bergelar Sultan Ibrahim. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdullah dan bergelar Sultan Khoja Ahmadsyah. Sultan Ahmadsyah menggantikan ayahnya sebagai Raja Siak. Raja Abdullah berputra tiga orang, yaitu Raja Jamal, Biyazid, dan Raja Isap. Jamal dan Biyazid tinggal di Bintan. Biyazid kemudian bergelar Gocah Pahlawan, yang merupakan gelar Laksamana Khoja Bintan. Raja Isap kemudian bergelar Marhom Kasab dan menikah dengan Putri Fatimah, anak Sultan Mansursyah atau cucu Raja Sulong bin Raja Mahmud (Ahmad), yang merupakan cikal bakal dinasti Sultan Perak yang awalnya diangkat oleh Aceh.

Pada saat Melaka diperintah Sultan Alauddin Riayatsyah I, Raja Siak ingin melepaskan diri dari Melaka dengan cara menghukum mati seorang terpidana tanpa meminta izin Melaka. Mendengar kejadian ini Sultan Melaka mengirim Laksamana Hang Tuah yang kemudian menuding Bendahara Siak Tun Jana Pakibul di depan majelis sambil berkata, “Tuanku, nampak-nampaknya di sekeliling Tuanku, orang-orang tua yang tidak tahu adat, tidak ingat semua hukuman bunuh harus minta izin Melaka dahulu”. Raja Siak lalu meminta maaf.

d. Rokan
Rokan merupakan kerajaan Melayu tua yang terletak di Sumatera Timur. Dalam Sejarah Melayu disebutkan bahwa putra dan pengganti Sultan Maharaja Muhammadsyah Melaka bernama Raja Ibrahim yang sejak kecil dipengaruhi oleh nenek dari pihak ibu, yaitu Raja Rokan, sehingga ketika menjadi raja bergelar Sultan Sri Parameswara Dewa Syah (1445–1450 M). Ketika ia masih kecil pemerintahan dipangku oleh neneknya, Raja Rokan, yang konon bertindak sesuka hatinya sehingga dibenci Melaka. Saudara sultan bernama Raja Kasim. Dengan restu Bendahara, dia merebut tahta dan membunuh Sri Parameswara Dewa Syah dan neneknya. Setelah itu Bendahara memproklamasikan dirinya menjadi Raja Melaka dan bergelar Sultan Muzafansyah (1450–1458 M).

e. Kampar
Negeri lain di Sumatera Timur yang termasuk tua adalah Kampar. Kampar ditaklukkan oleh Melaka di bawah pimpinan Tun Mutahir dan harus menerima instruksi langsung dari Melaka. Kampar sangat strategis, karena merupakan jalur lalu lintas pengiriman emas dan lada dari Minangkabau. Dalam Sejarah Melayu diberitakan bahwa kakak Sultan Mahmudsyah Melaka, yaitu Sultan Munawarsyah, telah diangkat menjadi Raja Kampar pada tahun 1505 M. Dia kemudian mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdullah. Kampar yang dimaksudkan adalah Pelalawan yang kerajaannya berkedudukan di Pekan Tua. Pada mulanya yang menjadi raja adalah Maharaja Jaya yang beragama Hindu. Menurut legenda rakyat, negeri itu dulu didirikan oleh Maharaja Dinso (Fals, 1882).
Sultan Abdullah Kampar kemudian menjadi menantu Sultan Mahmudsyah Melaka. Walaupun menantu, dia tidak setia. Saat Portugis menyerang dan menguasai Melaka pada tahun 1511 M dan mertuanya menjadi buronan Portugis, Sultan Abdullah malah berbaikan dengan Portugis yang kemudian mengangkatnya sebagai Bendahara orang-orang asing di Melaka.

Sultan Mahmudsyah yang saat itu bersemayam di Bintan mengirim armada yang dikepalai menantunya yang lain, Raja Lingga, tetapi Kampar diselamatkan oleh armada Portugis di bawah pimpinan Jorge Botelho, dan langsung mengungsikan Abdullah ke Melaka. Kemudian Sultan Mahmudsyah menyebarkan kabar angin ke Melaka, seakan-akan Abdullah secara rahasia mempersiapkan pemberontakan terhadap Portugis. Mendengar berita ini orang Portugis curiga dan termakan kabar tersebut, sehingga Abdullah ditangkap dan dihukum gantung di Malaka. Kejadian ini membuktikan ketidaksetiaan Portugis dan merupakan tamsil bagi Gubernur Jenderal Belanda, Pieter Both seperti termuat dalam suratnya kepada Sultan Tidore tahun 1612 (Verhoeff, 1645). Sultan Mahmudsyah dikejar-kejar Portugis dari Bintan, sehingga ia harus bertahan di Kampar (Pelalawan) sampai mangkatnya pada tahun 1528 M (Marhum Kampar).

3. Pertentangan Segi Tiga: Aceh, Portugis, Dan Imperium Melayu Riau-Johor
Jatuhnya Imperium Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 berpangkal dari kelemahan-kelemahan dalam negeri sendiri. Raja-raja Melaka yang menyerahkan urusan perdagangan ke tangan orang-orang asing tetap menerapkan pajak yang tinggi, sehingga pedagang-pedagang asing mendekati Portugis. Administrasi pemerintahan raja yang lemah menimbulkan perebutan kekuasaan, padahal persenjataan dan taktik perang yang dimiliki juga lemah. Tentara Portugis yang kurang dari dua ribu orang dapat mengalahkan puluhan ribu laskar Melaka dan merampas lebih dari dua ribu pucuk meriam. Dengan mangkatnya Raja Melaka terakhir, Sultan Mahmudsyah Marhum Kampar, timbul situasi politik baru, terutama pada masa pemerintahan Sultan Alauddinsyah (1537-1568). Di bagian Utara juga timbul kekuatan baru, yaitu Aceh.

Sultan Aceh dengan bantuan ahli-ahli militer Turki dan India mulai menyerang benteng Portugis di Melaka dan menyerang Haru. Menurut seorang warga Portugis, Ferdinand Mendes, yang menuliskan pengalamannya dalam Perigrinaao (Cogan, 1892: 28-77), penyerangan Al Qahhar ke Haru terjadi pada bulan November 1539. Menurut Mendes, Haru hanya dipertahankan oleh sebuah meriam besar yang dibeli di Panai dari orang Portugis. Benteng Haru dikepung selama tujuh belas hari, tetapi tidak dapat direbut. Akhirnya pasukan Aceh menyogok dengan uang emas, sehingga pasukan yang bertahan lengah dan benteng dapat direbut Aceh. Sultan Haru tewas, tetapi permaisurinya, Anchesin sempat lolos dan berlayar ke Melaka. Di Melaka rombongannya disambut dengan hormat, tetapi Portugis tidak menjanjikan bantuan apa-apa. Permaisuri Haru kemudian berangkat ke Bintan yang merupakan tempat kedudukan Sultan Riau-Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II. Sultan Alauddin Riayatsyah II merupakan putra dan pengganti Almarhum Sultan Mahmudsyah (Marhum Kampar). Permaisuri Haru kemudian diperistri Sultan Alauddin dengan syarat Haru dikembalikan. Sultan Alauddin kemudian membuat surat kepada Sultan Aceh Al Qahhar yang menuntut agar Haru dikembalikan kepada Imperium Melayu, sebab permaisuri Haru sudah menjadi istrinya.

Setelah menerima surat itu, Al Qahhar sangat murka. Ia kemudian mempersiapkan armada dan pasukan yang kuat untuk menyerang Imperium Melayu Riau-Johor, tetapi penyerangan itu didahului oleh balatentara Riau-Johor yang dipimpin oleh Laksamana dan berhasil merebut Haru pada tahun 1540. Pada tahun 1564, Al Qahhar membalas sakit hatinya dan merebut Johor Lama dalam penyerangan yang tiba-tiba. Al Qahhar juga menghukum mati Sultan Alauddin Riayatsyah II yang kemudian diberi gelar Marhum Syahid Mangkat Di Aceh. Sejak itu Aceh menempatkan putra-putra Sultan Aceh menjadi sultan di Haru. Haru kemudian disebut Gori atau Guri.

Pada masa pemerintahan Sultan Riayatsyah II (Saidi Mukammil) yang memerintah Aceh pada tahun 1589-1604, Haru (Guri) memberontak kembali. Pemberontakan Haru (Guri) kali ini dipimpin oleh seorang panglima yang diawasi Merah Silu. Dengan mengumpulkan pemimpin rakyat di gunung, mereka bermusyawarah dan berpaling dari Aceh, kemudian merajakan Sultan Riau-Johor sebagai Raja Haru (Guri).
Aceh beberapa kali mengirim gajah dan armada untuk menghancurkan pemberontakan itu dan sekaligus menyerang Johor. Meskipun Batusawar dapat dikepung oleh Aceh, tetapi di pihak Aceh terjadi banyak korban. Benteng tidak dapat direbut dan pasukan Aceh kehabisan bahan makanan, sehingga Aceh terpaksa mundur kembali. Haru berpaling ke Johor pada tahun 1599. Kejadian ini juga disebutkan oleh seorang warga Inggris, John Davis, ketika berada di Aceh (Purchas, I: 123).

Pada akhir abad ke-16, nama Haru (Guri) hilang dan timbul nama Deli dengan ibukota Deli Tua. Sementara itu, di Aceh naik seorang raja bernama Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Pada tahun 1612 dia menaklukkan Deli dengan pasukan seratus ekor gajah perang dan dengan sistem lubang-lubang pertahanan. Dalam Hikayat Aceh disebutkan kisah Sultan Alauddin Riayatsyah Saidi Mukammil yang meramalkan tentang cucunya, Sultan Iskandar Muda. Sabda Syah Alam: “Cucuku inilah bernama Muhammad Hanafiah, yang pada akhir zaman mengalahkan Deli dan menangkap Merah Silu dan berhamba Raja Johor dan segala raja-raja Melayu dan mengalahkan segala raja-raja yang tiada mau tunduk ke Aceh”. Dengan demikian jelas bahwa Deli sama dengan Haru (Guri) yang memberontak Pasai pimpinan Merah Silu. Sultan Iskandar Muda sangat bangga dapat menaklukkan Deli (bekas Haru) yang sulit ditundukkan oleh raja-raja Aceh sebelumnya. Hal ini diungkapkan dalam suratnya kepada King James dari Inggris (Shellebear, 1898: 125–127).

Nama Deli kemungkinan berasal dari bahasa Karo “Deling” yang berarti gunung, karena ibukota Deli Tua berada di pinggir Sungai Petani yang merupakan batas wilayah Melayu dengan Karo. Di wilayah ini dikenal Hikayat Puteri Hijau yang erat hubungannya dengan penyerangan Sultan Aceh Al Qahhar ke Haru pada tahun 1539.
Hikayat Putri Hijau seperti yang dikisahkan oleh Mendes adalah sebagai berikut. “Di hulu Sungai Petani (di hilir bermuara Sungai Deli) terdapat kampung Siberraya. Di sana lahir Putri Hijau yang cantik bersama saudara kembarnya, seekor naga (ular Simangombus) dan sebuah meriam (Meriam Puntung). Karena rakyat tidak sanggup lagi memenuhi bahan makanan, rakyat di sana lalu pindah ke hilir dan membuat benteng di Deli Tua. Negeri itu menjadi makmur dan berita kemakmurannya tersebar ke Aceh. Sultan Aceh berkeinginan meminang Putri Hijau, tetapi ditolak sehingga terjadi peperangan. Aceh sudah berusaha keras untuk merebut benteng Deli Tua, tetapi belum berhasil. Oleh karena itu Aceh menyebarkan ribuan uang emas sehingga pasukan Deli yang bertahan di benteng lengah. Kesempatan ini digunakan Aceh untuk menyerbu dan menduduki benteng. Hanya sang Meriam saja yang terus menembak, sehingga sang Meriam menjadi panas dan moncongnya putus, kemudian jatuh di Kampung Sukamalu (sisanya tersimpan di halaman Istana Maimon Medan). Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu sang Naga kemudian menggendong Putri Hijau dan menyelamatkannya melalui sebuah terusan (Jl. Puteri Hijau Medan sekarang) dan memasuki Sungai Deli dan akhirnya sampai di Selat Melaka. Menurut legenda, mereka kini berdiam di bawah laut dekat Pulau Berhala” (Middendorp, BGKW II: 164). Dari uraian ini terlihat bahwa titik hubungan antara putri, meriam, dan muslihat dengan uang emas dan naga sebenarnya adalah perahu yang berkepala naga.

Sultan Iskandar Muda berhasil merebut hampir semua negeri di Semenanjung Melaka, di pantai Barat dan Timur Sumatera pada tahun 1624. Indragiri dan Jambi menjadi terancam. Kerajaan Gasib yang terletak di Sungai Gasib (salah satu cabang Sungai Siak) mempunyai wilayah yang meliputi daerah Tapung sampai Bukit Seligi dan Bukit Langa. Kerajaan ini juga dihancurkan oleh bala tentara Aceh dengan bantuan orang Pandan dengan cara membuat terusan yang sekarang dikenal dengan Sungai Buatan. Selanjutnya negeri ini ditaklukkan Johor dengan menempatkan seorang pembesar di Bintan (Schedel, 1885: 218–235).
Mangkatnya Sultan Iskandar Muda menyebabkan ekspansi Aceh mulai mengendur, sehingga peluang bagi Belanda untuk merebut Malaka terbuka, dan ini terbukti dengan jatuhnya Melaka pada tahun 1641.

4. Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
Pada abad ke-17 sukubangsa Karo (Karo Jahe) turun ke wilayah pesisir dan mendirikan urung (negeri) di Langkat, Deli, dan Serdang. Dalam kurun ini juga lahir beberapa kerajaan kecil di pesisir Sumatera Timur.

a. Deli dan Serdang
Salah seorang panglima Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan. Ia menjadi Wali Negara di Deli. Panglima Khoja Bintan berusaha meningkatkan wibawanya untuk memperlancar proses Islamisasi (Melayunisasi) dengan jalan mendekati empat raja urung di Deli yang berasal dari Karo dan beragama Islam. Ia juga menikah dengan adik Datuk Sunggai, yaitu raja urung yang terkuat pada masa itu. Sebagai hadiah pernikahan, ia diangkat sebagai Panglima Kerajaan Bintan kawasan pesisir Deli dan berdudukan sebagai wakil Aceh. Ia menjadi primus inter pares di antara raja-raja itu. Pada masa pemerintahan putranya, Tuanku Panglima Perunggit, Aceh menjadi lemah, terutama sejak pemerintahan dipegang oleh raja-raja wanita (mungkin mengikuti jejak negeri-negeri di Sumatera Barat). Kesempatan ini digunakan Deli untuk memproklamasikan kemerdekaannya dari Aceh pada tahun 1699 (Sinar, 1980a). Kemudian Deli berhubungan dengan VOC di Betawi dan Melaka.

Pada zaman pemerintahan putra Perunggit, yaitu Tuanku Panglima Paderap, pada awal abad ke-18 terdapat ancaman dari Siak. Pemerintahan Imperium Melayu Riau-Johor mulai lemah di bawah kekuasaan Sultan Mahmudsyah II yang terbunuh pada tahun 1699 (dan diberi gelar Marhum Mangkat Di Julang). Sejak itu Bendahara Tun Habib Amudi Nadji menjadi raja Johor dan keturunan raja-raja Melaka putus. Peristiwa ini menimbulkan kekacauan yang lebih besar, terutama dengan munculnya Raja Kecil dari Minangkabau melalui Siak yang mengaku dirinya sebagai putra Marhum Mangkat Di Julang. Dia berhasil merebut ibukota Johor dan memproklamasikan dirinya dengan gelar Sultan Djalil Rahmatsyah pada 21 Maret 1717.

Dengan meninggalnya Panglima Paderap di Deli, terjadi perang saudara di antara ke-4 putranya, sehingga putra mahkota (bungsu) terpaksa mengungsi ke wilayah Serdang dan mendirikan Kerajaan Serdang pada tahun 1720, sedangkan kakaknya, Panglima Gandar Wahid menjadi raja di Deli. Saat pemerintahan putra Gandar Wahid, yaitu Tuanku Amal, Siak menaklukkan Deli (1780), kemudian Amal diangkat menjadi Sultan Panglima Mangedar Alam Deli dengan akta Sultan Siak tertanggal 8 Maret 1814. Sultan Amal pernah ditemui John Anderson yang berkunjung ke Deli pada tahun 1823 (Edinburgh, 1826: 305–306; Sinar, 1970a: 33–47).
Di Serdang, keturunan Tuanku Umar Kejeruan Junjungan melebarkan wilayahnya ke Denai, Perbaungan, Serbajadi, Percut, Padang, Bedagai, dan Senembah, sampai ke pegunungan yang dihuni orang Karo dan Simalungun. Pada zaman cucunya, Sultan Thaf Sinar Basyarsyah (1790–1850), Serdang merupakan kerajaan yang makmur dan tenteram, seperti kesan John Anderson ketika berkunjung ke wilayah tersebut, pada tahun 1823.

b. Langkat
Kerajaan Langkat didirikan oleh Dewa Syahdan yang konon datang dari arah pantai dan naik ke gunung, dan kemudian diangkat menjadi anak boru Raja Karo Sibayak Kuta Buluh. Dari sana ia kembali ke Deli Tua. Putranya bernama Dewa Sakti dan bergelar Kejeruan Hitam. Putra Dewa Sakti, Marhom Guri, dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak (bekas wilayah Guri). Nama itu menunjukkan keterkaitannya dengan Kerajaan Haru (Guri) yang terletak di sekitar wilayah ini. Adik perempuan Dewa Sakti juga bernama Putri Hijau. Keduanya hilang dan tidak diketahui rimbanya.
Pada pertengahan abad ke-18, putra Raja Kahar yang bernama Baduzzaman berhasil memperluas Kerajaan Langkat. Raja Baduzzaman mempunyai empat putra, yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Raja Wan Jabar (Selesai), Raja Syakban (Pungai), dan Raja Indera Bungsu yang berdiam di Kota Dalam. Keempatnya memerintah dengan otonomi luas di bawah pimpinan Kejeruan Tuah Hitam sampai abad ke-19.

Sejak tahun 1780 Langkat sudah diduduki Siak. Untuk menjamin kesetiaannya, putra Kerajaan Hitam yang bernama Nobatsyah dan putra Indra Bungsu yang bernama Raja Ahmad dibawa ke Siak dan masing-masing dinikahkan dengan putri Siak, yaitu Tengku Fatimah dan Tengku Kanah. Raja Ahmad mempunyai seorang putra yang bernama Tengku Musa. Pada awal abad ke-19 Nobatsyah dan Raja Ahmad kembali ke Langkat untuk memegang pemerintahan dan masing-masing bergelar Raja Bendahara Kejeruan Jepura Bilad Jentera Malai dan Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat. Menurut John Anderson yang melawat ke Langkat pada 1823, beberapa tahun kemudian terjadi perang saudara di antara mereka. Kedua raja itu tewas terkena racun. Raja Langkat digantikan oleh Tengku Pangeran Musa dari Siak.

c. Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai.
Raja-raja Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai mempunyai hubungan keluarga. Menurut cerita, Batara Sinomba dari Minangkabau menikah dengan adiknya sendiri (mungkin maksudnya satu marga, yaitu Nasution). Batara Sinomba dan istrinya diusir dan sampai di Tapanuli Selatan. Suami istri tersebut menetap di Pinang Awan, dekat Sungai Barumun. Batara Sinomba dirajakan di Air Merah. Mereka kemudian mempunyai dua putra dan seorang putri yang bernama Siti Onggu.

Batara Sinomba menikah lagi dan istri mudanya berkeinginan agar putranya ditunjuk sebagai pengganti ayahnya. Oleh karena itu, istri kedua berusaha mengusir putra Batara Sinomba dari istri pertama. Usahanya berhasil. Dua putra Batara Sinomba dari istri pertama dendam dan menemui rombongan Sultan Aceh yang kebetulan lewat di situ. Tentara Aceh tersebut ternyata mempunyai masalah dengan Batara Sinomba, sehingga akhirnya Batara Sinomba terbunuh, kemudian diberi gelar Marhum Mangkat Di Jambu.
Siti Onggu dibawa orang Aceh dan diperistri Sultan Aceh. Lama-kelamaan putra Batara Sinomba dari istri pertama rindu dan ingin mengetahui nasib Siti Onggu. Oleh karena itu, mereka pergi ke Asahan menemui Haro-haro yang pandai mengadu ayam. Mereka bertiga pergi ke Aceh untuk menebus Siti Onggu. Sultan Aceh mengajak mereka untuk mengadu ayam. Ayam Sultan kalah dalam pertandingan dan terpaksa melepaskan Siti Onggu yang sedang hamil tua. Siti Onggu boleh dibawa pulang dengan syarat apabila bayi yang lahir laki-laki harus menjadi raja di Asahan. Setelah mereka kembali, Siti Onggu melahirkan seorang putra yang kemudian dirajakan di Asahan dengan gelar Sultan Abdul Jalil (Marhum Mangkat Di Tangkahan Sitarak).

Selanjutnya Siti Onggu menikah dengan Haro-haro. Setelah masuk Islam, Haro-haro bernama Raja Bolon. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdul Karim, yang disebut bangsawan Bahu Kanan. Haro-haro menikah lagi dengan putri Raja Siman Golong dan memperoleh dua putra, masing-masing bernama Abdul Samad dan Abdul Kahar. Keturunan mereka disebut bangsawan Bahu Kiri.

Cicit Sultan Asahan yang bernama Sultan Abdul Jalil II pernah membantu Raja Ismail dalam merebut tahta Siak dari tangan Raja Alam (1771). Setelah berhasil, maka Siak memberinya gelar “Yang Dipertuan”. Berdasarkan gelar ini, Sultan Yahya dari Siak dalam suratnya kepada Gubernur Belanda di Melaka pada tahun 1791 menyebutkan bahwa Asahan adalah jajahannya dan ini ditentang oleh Asahan sendiri.
Cucu Sultan Abdul Jalil II adalah Raja Musa dan Raja Ali. Raja Musa menjadi raja di Asahan. Ketika Raja Musa mangkat, putranya masih dalam kandungan. Oleh karena itu pemerintahan digantikan oleh adiknya, Raja Ali. Raja Ali mempunyai seorang putra yang bernama Husin dan seorang putri yang bernama Raja Siti. Raja Siti menikah dengan Sultan Deli dengan mas kawin daerah Bedagai, dan putra yang lahir dari pernikahan tersebut harus menjadi raja di Bedagai.

Sultan Musa mempunyai putra bernama Raja Ishak. Ketika Sultan Musa mangkat, di Asahan pecah perang saudara antara Raja Husin (putra Sultan Ali) dengan Raja Ishak (putra Sultan Musa). Situasi ini ditemui John Anderson ketika ia berkunjung ke Asahan pada tahun 1823. Perang saudara itu diakhiri dengan perdamaian. Dalam perdamaian ditetapkan bahwa Raja Husin menjadi sultan dan Raja Ishak menjadi Rajamuda Asahan merangkap Raja Kualuh-Leidong.
Pada tahun 1835, Sultan Ismail dari Siak menyerang Asahan. Angkatan perang Siak yang dipimpin oleh Tengku Panglima Besar berhasil menundukkan Asahan. Pengganti Sultan Husin adalah putranya, yaitu Sultan Ahmadsyah (1854). Sultan Ahmadsyah ini terkenal gigih dalam melawan Belanda dan akhirnya dibuang ke Ambon oleh Belanda pada tahun 1865.

Seperti sudah disinggung di atas, ketiga putra Marhum Mangkat Di Jambu yaitu Raja Indera, Raja Segar, dan Raja Awan masing-masing diberi kekuasaan dan wilayah sendiri. Raja Indera sebagai putra tertua menetap di Kumbul dan menjadi zuriat Raja Panai dan Raja Bilah. Raja Segar menetap di Sungai Tunas dan Raja Awan menjadi zuriat Raja-raja Kotapinang.

Ketika pasukan Siak ke Panai dan Bilah pada tahun 1835, raja-raja tersebut tunduk dan diharuskan membantu menyerang Asahan. Akan tetapi Panai membantu setengah hati, sehingga serangan Siak gagal. Namun, tentara Siak sempat masuk ke Panai dan Raja Sultan Mangedar Alam lari ke Kotapinang. Raja Kotapinang, Sultan Busu, berikrar dengan Raja Panai menentang Siak, tetapi ternyata Kotapinang ingkar janji, sehingga Panai terpaksa meminta ampun dan membayar upeti sebesar $2.000 pada Siak.

5. Negeri-Negeri Di Batubara
Pada tahun 1717 Raja Kecil meresmikan Pemerintahan Suku di Batubara. Penduduknya adalah pendatang dari Minangkabau, tetapi adat yang matriarchat diganti dengan adat Melayu pesisir yang parental. Kenyataannya, pembagian empat suku di Batubara hanya sebagai pembagian teritorial saja. Pada mulanya ada empat suku, tetapi kemudian bertambah satu hingga berjumlah lima suku, yaitu Suku Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Limapuluh, dan Boga. Masing-masing daerah dikepalai seorang datuk yang dikoordinir oleh seorang bendahara dari Siak. Datuk kepala suku membentuk dewan. Dewan ini memilih anggota suku untuk jabatan seorang syahbandar yang dipilih dari Suku Tanah Datar; seorang jurutulis, yang dipilih dari Suku Limapuluh; seorang mata-mata yang dipilih dari Suku Lima Laras; dan seorang mengulu batang, yang dipilih dari Suku Pesisir.

Dewan ini sekaligus sebagai wadah untuk saling mengawasi. Sistem pemerintahan di Batubara mengandung unsurunsur demokrasi. Setiap datuk suku dipilih oleh para Tungkat (kepala kampung) dari turunan datuk yang cukup memenuhi syarat. Para Tungkat pun dipilih oleh para tetua kampung.
Di wilayah Suku Boga ada dua orang yang memperebutkan kedudukan, yaitu Datuk Tumenggung dan Datuk Indra Muda. Datuk Tumenggung memperoleh cap (regalia) dari Siak dan Datuk lndra Muda mendapat cap dari Tengku Besar Pelalawan. Kemudian Asahan ikut campur tangan dan mengusir kedua datuk tersebut dari Batubara. Negeri-negeri yang berada di Batubara adalah sebagai berikut.

a. Siak
Pada tahun 1717 Raja Kecil Siak berhasil menduduki singgasana Imperium Melayu Riau-Johor dengan jalan menurunkan Sultan Johor, Tun Habib Abdul Majid, ke jabatan semula yaitu menjadi bendahara. Putra Raja Sulaiman berhasil membuat sumpah setia untuk bekerja sama dengan empat daeng dari Bugis. Kemudian mereka berhasil mengenyahkan Raja Kecil yang berulang kali berusaha menghadapi orang Bugis, terakhir pada tahun 1737. Akan tetapi kerjasama Bugis-Melayu tidak selamanya berjalan mulus. Raja Sulaiman juga meminta bantuan kepada VOC dengan janji akan menyerahkan Siak kepada Belanda dengan akta tertanggal 14 Desember 1745. Bantuan VOC tersebut dimaksudkan untuk menertibkan Siak.

Sementara itu di Siak terjadi pertikaian antara dua putra Raja Kecil, yaitu Raja Alam dan Raja Muhammad. Raja Muhammad dibantu oleh VOC dengan menempatkan satu detasemen tentara di Pulau Guntung di bawah pimpinan Letnan Daniel Poppel pada bulan Maret 1755. Satu eskader Belanda dapat mengusir Raja Alam dan menempatkan Raja Muhammad sebagai Raja Siak. Akan tetapi Raja Muhammad tidak lama bersekutu dengan Belanda, karena Raja Muhammad merampas kapal Belanda di Selat Melaka. Dengan alasan bahwa Raja Muhammad mengepalai bajak laut, maka Belanda bekerja sama dengan Raja Alam mengusirnya. Akibat pengkhianatan Belanda ini Raja Muhammad menyerang Pulau Guntung dan berhasil membunuh semua detasemen Belanda pada tanggal 6 November 1759 (Netschen, 1870).

Raja Muhammad mangkat pada tahun 1760. Kesempatan ini dipergunakan Belanda untuk mengakui Raja Alam sebagai Raja Siak disertai dengan penandatanganan perjanjian pada tanggal 16 Januari 1761. Perjanjian itu menetapkan bahwa Belanda berhak memonopoli perdagangan untuk mengganti kerugian Belanda akibat peristiwa Pulau Guntung. Rakyat Siak dan orang-orang besarnya terus menentang Belanda, sehingga terjadi pertempuran antara Siak dengan Belanda. Akan tetapi perlawanan Siak dapat dipatahkan Belanda di Hamparan pada tanggal 17 Juni 1761. Raja Ismail, putra dan pengganti Raja Muhammad beserta keluarga dan pembesar Siak menyingkir ke Pelalawan, kemudian ke Langkat.
Raja Alam mangkat pada tahun 1766 dan digantikan oleh putranya, Sultan Muhammad Ali. Sementara itu Raja Ismail dan pengikutnya bermarkas di Sungai Rokan dan berulang kali menyerang Siak, tetapi tidak berhasil. Mereka baru berhasil pada bulan Agustus 1778. Muhammad Ali menyerah, kemudian diangkat menjadi Raja Muda Siak. Putra dan pengganti Sultan Ismail adalah Sultan Yahya (1781) yang masih di bawah umur, sehingga pemerintahan dipangku oleh Raja Muhammad Ali. Pada masa itu Siak mengirim tuan besar Habib Umar Assagaf untuk memperbarui perjanjian Siak dengan VOC di Melaka yang diresmikan pada tanggal 13 Februari 1783. Sultan Yahya merupakan orang yang lemah, sehingga di istana banyak terjadi intrik.

Salah seorang yang menentang Sultan Yahya adalah Said Ali, putra Said Usman. Ketika Mangkubumi Muhammad Ali meninggal, Said Ali makin berani dan merebut tahta Sultan Yahya dan bergelar Sultan Abdul Jalil Syaifuddin. Said Ali kemudian bersahabat dengan Belanda. Sultan Abdul Jalil Syaifuddin berhasil menegakkan kembali wibawa Siak terhadap beberapa negeri di Sumatera Timur. Saudaranya, Tengku Said Abdurrahman memerintah di Pelalawan, dan saudaranya yang lain, Tengku Busu alias Said Ahmad dijadikan Tengku Panglima dan penguasa di Tebing Tinggi.
Pada tahun 1818 Sultan Said Ali turun tahta dan menaikkan putranya, Said Ibrahim, menjadi Sultan Abdul Jalil Khaliluddin Syah. Sultan Ibrahim membuat kontrak dengan Mayor Faguar dan John Anderson pada tahun 1823.

Karena gila, Sultan Ibrahim diturunkan dari tahta pada tahun 1827 dan digantikan oleh putra Said Ahmad yang bernama Tengku Said Muhammad. Tengku Said Muhammad menikah dengan putri Sultan Ali yang bernama Tengku Mandak. Pernikahan dapat terlaksana berkat bantuan Tengku Besar Said Hasyim Pelalawan yang merangkap menjadi Raja Muda Siak, dengan perjanjian bahwa raja yang akan datang adalah Tengku Said Ismail, putra Sultan Said Muhammad.

Pada tahun 1840, Tengku Said Ismail menjadi Sultan Siak. Pemerintahannya ditandai dengan banyaknya negeri di Sumatera Timur yang diambil alih Aceh. Tiba-tiba kekuasaan Sultan Ismail direbut oleh iparnya, Tengku Uda (Do), dan kemudian oleh Raja Muda Tengku Putra, sehingga Sultan Ismail terpaksa meminta bantuan petualang Inggris, Wilson. Sementara itu Belanda mencoba ikut campur tangan di Siak dengan memaksakan Sultan Ismail menandatangani kontrak politik pada tahun 1858. Akibatnya Belanda semakin berkuasa di Siak.

b. Pelalawan (Kampar)
Dalam perjanjian tahun 1811 antara Siak dengan Pelalawan ditetapkan bahwa Kerajaan Pelalawan berdiri sendiri dan diperintah oleh seorang sultan yang disebut Tengku Besar Abdurrahman. Jika di Siak terjadi kekosongan pemerintahan, Tengku Besar Pelalawan yang merangkap Raja Muda Siak berhak menunjuk pengganti Raja Siak di antara keturunan Said Ali dan Tengku Busu.

Pada waktu Tengku Ismail berkuasa di Siak, putra tertua Said Abdurrahman, Said Hasyim menjadi Tengku Besar Pelalawan (1821). Said Hasyim meninggal dunia pada tahun 1844 tanpa keturunan, sehingga pemerintahan digantikan oleh adiknya, Said Hamid.
Pada masa selanjutnya terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi sultan. Adik-adik Said Hamid yang lain ingin menjadi sultan secara bergiliran, sedangkan Said Hamid menginginkan yang menjadi sultan adalah putranya, Tengku Kesuma Yudo. Keadaan ini mendorong Said Hamid berhubungan dengan Belanda dengan perantara Siak. Sebelum Belanda campur tangan, Said Hamid meninggal pada tahun 1865. Adiknya, Said Jaafar menjadi penggantinya dan pemerintahan sehari-hari berada di tangan adik bungsunya, Said Abubakar. Keadaan tersebut menimbulkan peselisihan lagi. Perselisihan berawal ketika Jaafar menginginkan penggantinya kelak adalah putranya, sedangkan Said Abubakar juga memiliki ambisi yang sama.

Pada tahun 1873 Said Jaafar meninggal dan digantikan oleh Said Abubakar. Pada tahun 1877 Said Abubakar berhubungan dengan Belanda dengan syarat putranya, Tengku Sentul, akan menjadi penggantinya. Belanda menyetujui persyaratan tersebut.

6. Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
Tambusai (Dalu-dalu) merupakan ibukota Rantau Binuang yang terletak di antara Sungai Sosa dan Batang Lubu. Raja negeri tersebut merupakan keturunan Sultan Iskandar Zulkarnaen. Penduduknya berbahasa Mandailing dan Minangkabau, tetapi menganut adat Melayu. Negeri-negeri di Rokan makmur karena merupakan tempat transit hasilhasil wilayah pedalaman Sumatera yang dijual ke Melaka, Singapura, Johor, dan Siak. Tidak berlebihan kalau di negeri ini banyak orang kaya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah. Di antara rombongan haji yang pulang terdapat Imam Maulana Kadhi dan putranya, Haji Muhammad Saleh.

Pada tahun 1820–1825 bergejolak paham Wahabi di Mekah yang bertujuan untuk memurnikan ajaran agama Islam. Paham Wahabi ini ingin dikembangkan oleh para haji yang kembali dari Mekah. Imam Maulana Kadhi dan Haji Muhammad Saleh berusaha mengembangkan paham Wahabi itu kepada murid-muridnya di pesantren. Haji Muhammad Saleh menekankan kepada Yang Dipertuan Rantau Binuang agar memerintahkan kepada rakyat untuk melaksanakan ajaran Islam sejati dan melarang adat lama yang bertentangan dengan agama. Pengaruh pembaharuan Islam yang disampaikan ini menyebabkan Haji Muhammad Saleh diusir. Dia kemudian mengembara sambil memperbanyak pengikut. Setelah merasa cukup kuat, dia kembali ke Tambusai. Yang Dipertuan Rantau Binuang lalu menyingkirkannya ke Tanah Putih (Siak). Keadaan ini menyebabkan Sultan Siak menuntut supaya Tambusai tunduk kepada Siak, karena rajanya berdiam di wilayah Siak.

Haji Muhammad Saleh kemudian bergelar Tuanku Tambusai dan oleh sementara pihak dijuluki “Si Baleo” (pembawa malapetaka). Gerakannya ditujukan ke daerah Kepenuhan, Rambah, Batang Lubu, daerah Rao, Ulu Barumun, dan Padang Lawas. Gerakan Tuanku Tambusai mendapat bantuan dari ulama lain, seperti Tuanku Rao. Gerakan Tuanku Rao sampai ke wilayah Toba Utara. Bahkan Tuanku Rao dianggap Si Pokki Nangolngolan, anak Ompu Palti. Ompu Palti adalah adik Sisingamangaraja X yang telah raib karena dianggap mau merebut tahta.
Meskipun jasa Tuanku Tambusai dalam pengislaman Tapanuli Selatan sangat besar, tetapi tidak sedikit kekejaman yang dibuat atas namanya dengan bantuan Raja Gadombang, Regent Mandailing. Hal ini membuat Belanda menyerangnya, terutama setelah perlawanan Tuanku Imam Bonjol dipatahkan. Dalam pertempuran hebat yang terjadi pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu dapat direbut Belanda tetapi Tuanku Tambusai selamat dari buruan Belanda. Sampai sekarang makamnya belum ditemukan. Ada yang menyebut bahwa Tuanku Tambusai sempat lolos dan menyeberang ke Malaya.
Pada masa itu juga Belanda memenuhi permohonan Kotapinang dan menempatkan satu detasemen tentaranya dengan membuat benteng di daerah pertemuan Sungai Panai dan Barumun, yaitu di Tanjong Ropiah. Benteng itu meresahkan Inggris. Benteng tersebut juga pernah diserang oleh rakyat dari arah laut.

7. Pertentangan Inggris-Belanda
Pada tanggal 1 Januari 1800, VOC bangkrut akibat korupsi dan kemudian dilikuidasi, sehingga kekayaannya jatuh ke tangan Belanda yang berbentuk bataafsche republiek. Pemerintahan Belanda dipegang oleh Napoleon dari Prancis. Pada masa itu Prancis sedang berperang dengan Inggris. Jajahan VOC di Nusantara sudah diambil alih Inggris, maka berdasarkan Konvensi London tanggal 14 Agustus 1814, semua jajahan Belanda harus dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda. Hal ini tidak menyenangkan hati Raffles (Gubernur Bengkulu dari Inggris dan bekas Letnan Gubernur Inggris di Jawa). Raffles memerintahkan Farcuhar mengadakan perjanjian dengan beberapa raja yang berkuasa di Pontianak, Riau, dan Siak. Belanda mendengar kegiatan Raffles tersebut dan membujuk Siak dengan membuat kontrak baru dengan Siak.

a. Traktat London 1824
Inggris dan Belanda berusaha menghindari perselisihan dengan perjanjian kerjasama dengan membagi daerah jajahan. Inggris menyerahkan Bengkulu dan Belanda menyerahkan Melaka dan Singapura kepada Inggris. Inggris dan Belanda berjanji tidak akan memperluas pengaruh ke masing-masing wilayah jajahan dan menghormati kedaulatan Aceh. Akibat desakan ekonomi, secara diam-diam mereka melanjutkan kegiatan sebelumnya, terutama ke pantai timur Sumatera. Untuk menghentikan pengaruh Belanda di Sumatera Timur, Inggris mendekati Aceh. Segala kesibukan Belanda dalam Perang Paderi di Tapanuli Selatan menimbulkan reaksi Inggris di Penang dan Singapura yang takut kehilangan keuntungan perdagangan. Kamar dagang Inggris mendesak pemerintahnya agar memprotes Belanda yang dianggap telah melanggar Pasal 6 Traktat 1824. Kesempatan itu dipergunakan Aceh untuk memperkokoh kekuasaannya di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur dengan mengirimkan perahu-perahu perang ke sana pada tahun 1854.

b. Kontrak Siak dengan Belanda, 1 Februari 1858
Kontrak Siak dengan Belanda ini berakibat sangat luas. Bukan saja Siak ditempatkan di bawah kedaulatan Hindia Belanda, tetapi juga termasuk negeri-negeri lain di Sumatera Timur yang menurut Siak adalah jajahannya, yaitu Bilah, Panai, Kualuh, Asahan, Batubara, Bedagai, Padang, Serdang, Perbaungan, Percut, Deli, Langkat, dan Temiang (Schedel, 1885: 73–77).

Atas dasar ini Siak meminta bantuan Belanda agar pemerintah Hindia Belanda mempertahankan wilayah-wilayah itu dari rongrongan Aceh. Dengan alasan ini pula Belanda mengirimkan ekspedisi militer pada tahun 1862 dan 1865. Pada bulan Mei 1859, Residen Riau menempatkan Walland selaku Asisten Residen Siak. Pada waktu itu, di Siak terjadi perselisihan antara raja dengan Tengku Putra, sehingga garnizun Belanda di Bengkalis dipindahkan ke Siak. Tengku Putra turun tahta dan dalam perjanjian tambahan yang ditandatangani tahun 1863 fungsi raja muda di Siak dihapuskan. Adik Sultan Siak, Tengku Syarif Kasim menjadi Tengku Panglima Besar.
Menurut laporan Walland, pemerintahan Siak kacau balau. Sebagian besar kepala suku dengan tujuh ribu orang rakyat pindah ke Malaya. Perdagangan hampir-hampir terhenti, sehingga tidak ada tongkang yang memadai yang singgah ke Siak. Hubungan politik dengan Lima Koto Kampar terputus.

8. Agresi Belanda Ke Sumatera Timur

a. Ekspedisi Militer Belanda I (1862)
Pada bulan Mei 1862 Belanda mengirim seorang pegawai tingginya yang bernama Raja Burhanuddin ke Sumatera Timur. Raja Burhanuddin adalah putra Raja Uyang bin Sultan Cagar Pagaruyung. Menurut laporan Raja Burhanuddin, beberapa negeri di Sumatera Timur bersedia dilindungi Belanda, kecuali Asahan dan beberapa negeri lainnya mereka menentang, bahkan di Asahan berkibar bendera Inggris.
Berdasarkan laporan Asisten Residen Riau, E. Netscher, Belanda mempersiapkan angkatan perang dari Bengkalis pada tanggal 2 Agustus 1862. Pembesar-pembesar Siak diikutsertakan untuk dikonfrontasikan dengan raja-raja di Sumatera Timur. Beberapa negeri seperti Panai, Bilah, dan Kotapinang berhasil ditundukkan. Sementara itu ekspedisi Belanda berhasil memasuki Kuala Serdang. Sultan Basyaruddin mencoba menemui ekspedisi itu dengan mengibarkan bendera Aceh dan bertindak selaku wazir Sultan Aceh atas dasar pengangkatannya dari Aceh. Perundingan antara Belanda dengan Sultan Basyaruddin dilakukan di kapal Belanda. Dengan paksaan Belanda, Sultan Basyaruddin menandatangani perjanjian yang ditetapkan tanpa ada kontrasain dari orang-orang besarnya. Perjanjian tersebut antara lain menyebutkan bahwa Belanda turut mengakui jajahan Serdang, yaitu Denai, Percut, Padang, Perbangunan, dan Bedagai.

Sultan Mahmud Deli menolak mengakui kedaulatan Siak atas Deli. Hal ini karena Siak tidak membantu Deli sejak masa pemerintahan ayahnya, Sultan Osman Deli, ketika diserang Aceh pada tahun 1854. Netscher berhasil menemukan jalan keluar sehingga Sultan Deli bersedia menandatangani pernyataan tunduk kepada Belanda dengan kalimat yang berbunyi “Mengikut pada negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gubernemen Belanda”. Perundingan itu berjalan lancar berkat usaha Said Abdullah bin Umar Bilsagih, ipar sultan.

Pangeran Langkat yang bernama Musa mendukung sepenuhnya kedaulatan Siak dan Belanda, bahkan Pangeran Umar meminta bantuan untuk menghantam Kejeruan Stabat Muhammad Syeh, yang bekerja sama dengan wakil Sultan Aceh, yaitu Tuanku Hasyim.
Inggris memperhatikan kegiatan Netscher di Sumatera Timur. Keadaan ini terbukti dengan munculnya kapal perang Inggris “Scout” di Deli atas perintah Gubernur Inggris di Singapura. Sementara itu kaum pedagang di Penang ribut memprotes kegiatan Belanda di Sumatera Timur. Akibatnya Netscher tidak berani memasuki Asahan dan hanya mengirim surat ancaman, kemudian segera pulang ke Bengkalis.

Pada awal tahun 1863 armada perahu perang dari Aceh yang dipimpin Cut Latief Meurude muncul di Kuala Langkat. Akan tetapi karena sungai tempat mereka berlabuh sudah diberi hempangan, maka mereka tidak bisa berlabuh. Lalu armada Aceh itu merapat ke Deli, dan di tempat itu patroli Belanda sudah menanti, sehingga mereka tidak berhasil mendarat. Di Serdang dan Asahan, orang-orang Aceh tersebut disambut baik. Orang Aceh juga mendapat sambutan baik dari Datuk Laksamana Putra Raja Negeri Serdang dan Lima Laras (Baturaja). Kegiatan Belanda kemudian dipusatkan di Deli. Di Deli berdiam pengusaha Nieuwenhuyze yang sejak 7 Juli 1863 membuka perkebunan tembakau. Residen Riau lalu mengirim surat ancaman kepada Sultan Asahan dan Sultan Serdang, tetapi utusan Belanda itu diusir. Dalam bulan April 1864 di Deli ditempatkan Kontrolir J. A. M. Van Cats Baron de Reet, L. de Scheemaker di Batubara, dan Vigelius di Kabupaten Batu.

b. Ekspedisi Militer Belanda II (1865)
Situasi di pesisir Sumatera Timur semakin panas dan tidak dapat dikendalikan lagi oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda mengirim ekspedisi militer yang cukup besar dan kuat untuk menundukkan negeri-negeri kecil di pesisir Sumatera Timur yang jumlah penduduknya tidak sampai lima ribu orang. Ekspedisi tersebut terdiri dari 1) setengah batalion infanteri dengan satu detasemen staf, dan totalnya berjumlah 406 orang; 2) kapal perang Djambi, Amsterdam, Sindoro, Mont Rado, Delfzijkjl, Dassoon, dan beberapa speedboat; dan 3) seribu marinir dengan 49 pucuk meriam berat.
Selaku penguasa sipil, Residen Netscher sendiri mendampingi ekspedisi. Dari sebuah sampan disita sepucuk surat Sultan Asahan yang ditujukan kepada Raja Kualuh dan Panai yang mengajak perang sabil dan menjanjikan bantuan Inggris. Surat itu ditutup dengan kalimat:

“Jika Sultan mau, makin besarlah kehendak beta akan mengadakan persetujuan bersama dengan kaum muslimin lainnya di mana beta bersedia memberikan sebanyak mungkin tenaga untuk perang sabil, karena memang sudah jadi tekad beta untuk bertempur.”
Oleh karena itu, Netscher buru-buru menyerang Asahan. Pasukan yang dipimpinnya mendarat di Batubara (menangkap Datuk Lima Laras) dan masuk ke Asahan melalui jalan darat, sedangkan armadanya menuju Tanjung Balai memudik Sungai Asahan. Ultimatum tanggal 18 September 1865 tidak diacuhkan Sultan Ahmadsyah. Ia bersama keluarga dan pasukannya mundur ke pedalaman bergabung dengan orang-orang Batak di bawah pimpinan Pak Netek. Pada tanggal 19 September 1865, Yam Tuan Muda tertangkap. Belanda mengeluarkan pengumuman untuk memecat Sultan Ahmadsyah dan menyerahkan pimpinan kerajaan kepada Raja Muda Naamatullah.

Ekspedisi Belanda lalu menyerang Serdang pada tanggal 30 September 1865. Akibatnya, pada tanggal 3 Oktober 1865 Sultan Basyaruddin dengan Raja Muda dapat ditahan Belanda ketika hendak mengungsi ke pedalaman. Sultan dipaksa meminta maaf dan sebagai hukumannya, wilayah Percut, Denai, Padang, Bedagal, dan Serdang diambil alih dan diberikan kepada Deli. Dari Serdang, Armada Belanda mengepung Pulau Kampai dan menghancurkan benteng Aceh pada tanggal 8 Oktober 1865. Temiang ditundukkan pada tanggal 12 Oktober 1865. Dari Langkat, Belanda membawa seorang tawanan, yaitu Kejuruan Stabat Sultan Mohammad Syeh yang melawan Pangeran Musa. Mohammad Syeh lalu diasingkan ke Betawi selama 20 tahun.

Perlawanan rakyat di Asahan semakin marak. Belanda kemudian mengumumkan Sultan Ahmadsyah dan keluarganya boleh masuk Tanjung Balai, tetapi hanya sebagai rakyat biasa. Tidak berapa lama kemudian Sultan Ahmadsyah, saudara-saudaranya, dan orang-orang besar yang bergerak di bawah tanah dan mengadakan korespondensi dengan Inggris terbongkar. Sultan Ahmadsyah beserta teman-temannya ditangkap dan dibuang ke Betawi, kemudian ke Ambon. Raja Muda Naamatullah dicopot dan dijadikan Raja Kualuh-Leidong oleh Belanda karena dianggap tidak becus, sedangkan pemerintahan Asahan dipegang oleh suatu dewan yang diketuai Kontrolir Asahan. Perlawanan rakyat di pedalaman yang dipimpin oleh Pak Netek semakin menggelora, sehingga akhirnya Belanda memutuskan untuk mengembalikan Sultan Ahmadsyah ke Asahan.

Kegiatan baru Belanda di Sumatera Timur ini bukan saja membuat gusar Aceh, tetapi juga mendapat protes dari Kamar Dagang Inggris di Penang dan Singapura. Masalah itu diakhiri dengan persetujuan baru antara Inggris dengan Belanda dalam Traktat Sumatera 1871. Dengan perjanjian itu, Inggris akan tutup mata atas segala tindakan Belanda dalam memperluas pengaruh di Sumatera, termasuk menyerang Aceh, asal Inggris diberi prioritas berdagang di Indonesia.

9. Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
Sejak kedatangan J. Nieuwenhuyze dari Burma dan Van Leeuwen dari Surabaya ke Deli pada tahun 1863, serta atas bujukan Said Abdullah Bilsagih, di Deli berkembang penanaman tembakau. Dengan suksesnya ekspor ke Eropa dan Amerika tembakau Deli menjadi termasyhur sebagai dekblad (lapis) cerutu yang tidak ada bandingannya di dunia. Di perkebunan, orang Melayu dan Karo tidak cocok menjadi kuli Belanda, sehingga Belanda mendatangkan orang Cina dan India dari Malaya. Kemajuan Deli sebagai het dollarland menyebabkan masuknya kapital asing ke Sumatera Timur. Sultan Deli memberikan tanah yang subur untuk konsesi perkebunan dengan bebas, termasuk tanah dalam wilayah Datuk Sunggal tanpa izinnya. Datuk Kecil sebagai pemangku Datuk Sunggal Badiuzzaman yang masih kecil, memimpin pemberontakan dengan mengajak rakyat Melayu dan Karo membangun benteng-benteng dan bergerak ke Deli untuk mengusir Belanda. Belanda kemudian mengirim pasukan dari Riau di bawah pimpinan Kapten Kops, tetapi ekspedisi pertama ini mengalami kerugian besar. Perkebunan tembakau Deli diserang gerilyawan, sehingga wanita dan anak-anak Eropa diungsikan ke Belawan untuk segera naik kapal bila situasi sangat buruk.

Pada tanggal 10 Juli 1872 datang ekspedisi militer kedua Belanda dari Jawa di bawah pimpinan Letkol Van Hambracht. Ekspedisi kedua yang bermaksud untuk menghancurkan gerilyawan tersebut pun mengalami kegagalan, bahkan Van Hambracht sendiri luka berat dan harus dipulangkan ke Betawi. Pada tanggal 20 September 1872, datang lagi ekspedisi militer ketiga dari Jawa dengan jumlah yang lebih besar, yaitu tiga kompi infanteri dengan satu detasemen artileri gunung, orang-orang kerja paksa, dan kuli Cina untuk mengangkat barang. Ekspedisi ini dikepalai Mayor Van Stuwe. Akibatnya, di mana-mana terjadi pertempuran hebat untuk merebut kampung-kampung, seperti Tanduk Benua, Katinambunan, dan lainnya. Dalam perundingan yang diadakan pada tanggal 24 Oktober 1872, Datuk Kecil bersama adiknya, Datuk Jalil, dan anaknya, Sulong Barat, tiba-tiba disekap Belanda dan dinaikkan ke kapal, kemudian dibawa ke Riau. Mereka dihukum seumur hidup di Cilacap. Datuk Sunggal Badiuzzaman melanjutkan perjuangan, tetapi juga tertangkap pada tahun 1855 dan dibuang seumur hidup ke Banyumas. Perang Sunggal (1872–1895) ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia di dalam negeri yang begitu kecil (Sinar, 1980; 1981e).

Sejak itu tidak ada halangan bagi kapital asing. Orang-orang asing berlomba menanamkan modal ke Sumatera Timur. Oleh karena sulit mendatangkan buruh Cina dan India ke Sumatera Timur, maka kuli kontrak didatangkan dari Jawa. Pertama kali mereka didatangkan dari daerah Bagelen. Kontrak-kontrak tanah dan hasil perkebunan yang diekspor merupakan sepertiga penghasilan seluruh Indonesia. Sepanjang jalan raya Labuhan-Medan penuh dengan rumah pelacuran dan rumah judi. Kuli yang baru gajian dalam sekejap mata bisa kehilangan gajinya, sehingga terpaksa menandatangani kontrak baru (Cremer, 1976: 184).

Oleh karena kemakmurannya, dalam waktu cepat Sumatera Timur banyak didatangi orang dari berbagai suku, terutama sukubangsa Toba, Mandailing, dan Minangkabau yang bekerja sebagai pegawai pemerintah, pegawai perkebunan, guru, dan pedagang kecil. Mereka kebanyakan menetap di kota-kota besar.

10. Sistem Pemerintahan Di Sumatera Timur
Dengan kemajuan yang pesat itu, pada tanggal 15 Mei 1873 wilayah Sumatera Timur, termasuk Siak dikeluarkan dari Provinsi Riau dan dijadikan residensi sendiri dengan ibukota Bengkalis. Padahal Bengkalis baru dibeli Belanda dengan ganti rugi dari Sultan Siak. Residen ini terbagi atas Afdeeling Deli (Kontrolir di Labuhan), Afdeeling Asahan (Kontrolir di Tanjung Balai), dan Afdeeling Labuhan Batu. Residen pertama adalah J. Locker de Bruijne.

Pada tahun 1887 ibukota dipindahkan dari Bengkalis ke Labuhan, kemudian ke Medan dengan berbagai reorganisasi, yaitu diciptakan lebih banyak Onderafdeeling yang dikepalai seorang Kontrolir Belanda. Kemudian juga dibentuk peradilan di Medan dan Bengkalis, di samping sebuah Residentie recht. Menurut perubahan dalam Staatblad 1978/207, Afdeeling Deli dirombak menjadi

1. Afdeeling Deli (assisten residennya di Medan)
a. Onderafdeeling Medan (kontrolirnya di Medan)
b. Onderafdeeling Labuhan (kontrolirnya di Labuhan)
2. Afdeeling Langkat Hulu (kontrolirnya di Binjai)
3. Afdeeling Langkat Hilir (kontrolirnya di Tanjung Pura)
4. Afdeeling Tamiang (kontrolirnya di Seruwei)
5. Afdeeling Serdang (kontrolirnya di Lubuk Palam)
6. Afdeeling Padang-Bedagai (kontrolirnya di Tebing Tinggi)

Dalam Staatblad 1900/64 Residensi Sumatera Timur mengalami reorganisasi lagi, karena mengalami kemajuan pesat dalam bidang ekonomi. Terakhir menurut Beslit Gubernur 6 Juli 1915 ao. 3 status Residensi Sumatera Timur dinaikkan menjadi gouvernement (provinsi) yang berkedudukan di Medan dan pimpinan pertama kali dipegang oleh Gubernur S. Van der Plass. Secara administratif, Sumatera kemudian dibagi atas :

1. Afdeeling Deli dan Serdang
a. Onderafdeeling Deli Hilir
b. Onderafdeeling Deli Hulu
c. Onderafdeeling Serdang
d. Onderafdeeling Padang dan Bedagai

2. Afdeeling Langkat
a. Onderafdeeling Langkat Hilir
b. Onderafdeeling Langkat Hulu

3. Afdeeling Simelungun dan Tanah Karo
a. Onderafdeeling Simelungun
b. Onderafdeeling Tanah Karo

4. Afdeeling Asahan
a. Onderafdeeling Asahan
b. Onderafdeeling Batubara
c. Onderafdeeling Labuhan Batu

5. Afdeeling Bengkalis
a. Onderafdeeling Bengkalis
b. Onderafdeeling Siak
c. Onderafdeeling Bagan Siapi-api
d. Onderafdeeling Rokan
e. Onderafdeeling Kampar Kiri

Sebuah Afdeeling berada di bawah pengawasan seorang asisten residen dan onderafdeeling di bawah seorang kontrolir. Dua orang gezaghebber ditugaskan oleh Asisten Residen Bengkalis khusus untuk mengawasi panglong (sagu) di Selatpanjang. Bengkalis yang sudah dibeli dari Sultan Siak pada tahun 1873 dan menjadi daerah Hindia Belanda yang diperintah langsung oleh asisten residen dengan mengangkat lima orang penghulu bumiputra, yaitu Kelapa Pati, Sendrah (dengan Paliman dan Si Batu), Seggono, dan Maskum, ditambah enam penghulu tidak bergaji. Pada tanggal 1 Januari 1940, Afdeeling Bengkalis dikeluarkan dari Provinsi Sumatera Timur dan dimasukkan ke Residensi Riau.

Dalam hubungannya dengan kerajaan-kerajaan bumiputra di Indonesia, Belanda membagi kedudukan mereka dalam dua kategori, yaitu: Pertama, kerajaan dengan Kontrak Politik (Lange Politiek Contract) dan, Kedua, kerajaan dengan Pernyataan Pendek (Korte Verklaring). Pada kategori pertama, ada dua pihak yang mengadakan kontrak (perjanjian), yakni pemerintah kerajaan bumiputra dan pemerintah Hindia Belanda. Di luar isi pasal-pasal yang disebut dalam perjanjian, hak dan wewenang sepenuhnya berada di pihak kerajaan bumiputra. Kerajaan di Sumatera yang termasuk golongan ini adalah Asahan, Deli, Kualuh, Langkat, Pelalawan (Kampar Hilir), Siak, Serdang, dan Riau-Lingga. Kerajaan Riau-Lingga dihapus pada tahun 1911.

Untuk kategori kedua, di seluruh Indonesia terdapat 261 korte verklaring yang dibuat oleh Belanda. Kerajaan dengan korte verklaring yang terdapat di Sumatera Timur adalah Barusjahe (Karo), Bilah, Dolok Silau (Simalungun), Gunung Sahilan, Indrapura, Kunto Darussalam, Silima Kuta (Karo), Logas, Panai, Pane (Simelungun), Baya (Simelungun), Sarinembah (Karo), Tambusai, Tanah Datar (Batubaru), Tanah Jawa (Simelungun), Kepenuhan, Rambah, IV Kota Rokan Hilir, Kotapinang, Pesisir (Batubara), dan Limapuluh (Batubara).

Kerajaan dengan korte verklaring yang terdapat di Aceh adalah seluruh kerajaan besar kecil yang berjumlah 102 kerajaan, sedangkan di Riau adalah Hulu Tesso, Indragiri (awalnya lange politiek contract, tetapi sejak Raja Mahmud atau tahun 1912 derajatnya diturunkan menjadi korte verklaring), IV Koto Hilir, IV Koto Mudik, V Koto di Tengah, Lubuk Ramo (III Koto). Dalam kategori ini para raja menandatangani pernyataan tunduk kepada semua perintah dan ketentuan pemerintah Hindia Belanda, sehingga Kontrolir Belanda setempat mempunyai kekuasaan besar.

Kemajuan wilayah lain di Sumatera Timur dalam bidang investasi asing tidak dapat diikuti Siak dan Pelalawan yang dulunya merupakan kerajaan besar. Berbagai maskapai membuka konsesi di Siak, tetapi gagal dan terpaksa ditutup, sehingga Siak merupakan daerah yang terbelakang (sebelum dibukanya tambang minyak). Kekayaan Raja Deli, Langkat, Serdang, dan Asahan jauh melebihi kekayaan Sultan Siak, sehingga dalam rapat dan pertemuan sering terjadi hal-hal yang kikuk, karena Sultan Siak menuntut perlakuan istimewa sebagai raja yang pernah menjajah negeri-negeri di Sumatera Timur itu.

Atas dasar perjanjian yang dibuat pada tanggal 23 Juli 1884, Belanda berhasil membujuk Sultan Siak yang membutuhkan uang, untuk menyerahkan hak atas kerajaan-kerajaan di sebelah utara Siak di Sumatera Timur kepada pemerintah Hindia Belanda, dengan catatan bahwa Sultan Siak akan dianggap sebagai raja yang paling utama di antara raja-raja di Sumatera Timur dan juga diberi cap yang lebih besar. Penyerahan hak ini disertai ganti rugi (schadeloosstelling) uang (Schedel deel II; Plass, 1917).

11. Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
a. Siak
Seperti telah disinggung, pada tahun 1885 putra Sultan yang tertua, Tengku Muda Anom ditunjuk sebagai pengganti Sultan, sementara Mangkubumi dan Tengku Muda tidak disukai Belanda karena kegiatannya, sehingga keduanya dipecat dari jabatannya. Kemudian Tengku Ngah Said Hasyim, putra sultan yang bungsu diangkat menggantikannya. Pada tanggal 21 Oktober 1899 Sultan Syarief Kasim mangkat dan digantikan oleh Sultan Syarief Hasyim.
Setiap pergantian raja, Belanda selalu menyodorkan perjanjian baru yang semakin mempersempit hak raja tersebut. Dalam pengangkatan Sultan Syarief Hasyim, perjanjian yang dibuat pada tanggal 1 Februari 1858 diubah, yaitu dihapusnya lembaga orang-orang besar menurut adat Melayu, sehingga Sultan dijadikan penguasa tunggal di Kerajaan Siak. Dalam perubahan Kontrak Politik yang dilakukan pada 25 Oktober 1890 disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Siak hanya meliputi daerah Teratak Buluh, beberapa pulau (Bengkalis tidak termasuk di dalamnya), dan daerah jajahan yang meliputi Tapung Kanan, Tapung Kiri, Tanah Putih, Bangko, dan Kubu. Dewan kerajaan tertinggi dan kepala-kepala suku bersama Laksamana Bukit Batu tidak dapat langsung berurusan dengan residen, akan tetapi harus melalui Siak, kemudian disampaikan kepada Gubernemen Hindia Belanda. Hukuman mati dapat dilaksanakan oleh Kerapatan Sultan bila disetujui oleh residen. Permintaan grasi oleh terpidana ditujukan kepada Gubernur Jenderal. Begitu juga orang-orang berbahaya yang akan dibuang ke luar wilayah Siak ditentukan oleh Gubernur Jenderal. Semua cukai pelabuhan diambil oleh Belanda. Begitu juga semua hak mengutip pajak, kecuali (a) barang larangan (gading gajah, sumbu badak, guliga, gaharu, dan lain-lain); (b) apak Lawang (pajak tanah untuk pendatang yang berupa 10 gantang padi/ladang); (c) pancong alas (pajak pendatang sebesar 10% dari nilai hasil hutan yang dipungut); (d) hasil tanah dan konsesi; (e) sewa konsesi kayu di Sungai Bawa dan Kota Buruk. Untuk mengatur agar tidak terjadi perselisihan dalam keluarga, Belanda menaikkan schadeloostelling menjadi FL. 50.000 per tahun untuk pribadi Sultan Syarief Hasyim dengan syarat Sultan melepaskan warisan lainnya kepada saudara-saudaranya.
Setelah terjadi perubahan Kontrak Politik, Sultan Siak kemudian memberi izin untuk adanya suatu dinas transportasi dengan kuda-kuda beban sebagai kendaraan antara Teratak Buluh dan Pekanbaru. Kejadian ini tidak disenangi oleh orang-orang V Koto yang dengan seratus buah sampan turun untuk membunuh kuda-kuda beban itu. Pada tanggal 21 September 1893, Asisten Residen mengirim 24 serdadu dari Bengkalis untuk perlindungan. Pada tahun, 1898 Sultan Syarief Hasyim pergi ke Belanda untuk menghadiri penobatan Ratu Wilhemina. Dalam kesempatan itu dia diberi bintang Ridden Orde v.d. Ned. Leeuw.
Pengganti Sultan Syarief Hasyim adalah putranya, Sultan Syarief Kasim Abdul Jalil Syaifuddin yang menandatangani Kontrak Politik pada tanggal 24 Mei 1916. Mula-mula dia dibimbing mertuanya, Pangeran Embung dari Langkat. Dengan ditemukannya timah di daerah Tapung, Lima Koto, dan Rokan, Belanda mulai mengadakan reorganisasi pemerintahan di sana, terutama sampai batas jajahan Siak dengan Kampar atau dengan Kota Intan, sebab orang--orang Tapung juga mempunyai pameo “Beraja ke Siak, bertuan ke kota Intan”. Akhirnya sesuai dengan isi Kontrak Politik Siak terbaru yang ditandatangani tahun 1890, wilayah Tapung dimasukkan ke Siak, dengan alasan bahwa dari dulu Bendahara-bendahara Ketapahan, Tandun, Kasikan, Batu Gajah, Kebon, Kota Renah, Liantan, dan Selijang mendapat cap dari Sultan Siak.

b. Kampar (Pelalawan)
Menurut laporan ahli pertambangan, Ir. Everwijn, yang menjelajahi wilayah Kampar untuk mencari timah, kerajaan ini terdiri dari wilayah Kampar Besar, Teratak Buluh, Kampar, Lima Koto, dan Delapan Koto. Sebagian besar kegiatan dilakukan melalui Sungai Kampar dari Kampung Sibaros-baros sampai ke laut di Pulau Serapong dan Penyeleian. Di pulau-pulau ini sudah terdapat kegiatan panglong Cina.
Kontrak Politik dengan Pelalawan ditandatangani oleh Tengku Besar Said Abubakar pada tanggal 4 Februari 1879, diikuti dengan penyerahan berbagai kutipan pajak, bea cukai, dan lain-lain seperti halnya Siak. Pada tahun 1885 di Pelalawan ditempatkan seorang kontrolir dan petugas bea cukai. Oleh karena tahun 1887 Said Abubakar mangkat, untuk sementara pemerintahan dipegang oleh putranya, Tengku Sentul, yang kemudian juga meninggal dunia. Pada tahun 1894, Tengku Putra Said Hasyim ditabalkan sebagai raja baru. Dia merupakan anak kedua Said Abubakar. Pentabalan ini dibarengi dengan perubahan perjanjian lama dengan syarat-syarat yang lebih mengurangi hak raja, sehingga negeri ini menjadi miskin. Belanda berencana penganti raja selanjutnya akan diminta untuk menjadikan negeri ini sebagai korte verklaring (Plass, 1917: 179; Fals, 1882).

c. Gunung Sahilan
Di akhir abad ke-19, Asisten Residen Bengkalis berencana akan berkunjung ke Gunung Sahilan karena Yang Dipertuan menuntut daerah IV Koto di Hilir, IV Koto di Mudik, dan daerah Singingi masuk ke residennya. Klaim itu ditentang oleh daerah-daerah tersebut. Oleh karena takut dikenali oleh orang Singingi, Asisten Residen Bengkalis batal ke Gunung Sahilan.

d. Daerah Rokan
Ada dua daerah Sungai Rokan yang utama, yaitu Rokan Kiri dan Rokan Kanan. Di sepanjang hulu sungai itu terdapat kerajaan-kerajan kecil yang pada akhir abad ke-19 masih merdeka. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Kepenuhan, Rambah, dan Tambusai di Rokan Kanan serta Kunto Darussalam dan Rokan IV Koto di Rokan Kiri. Kunto Darussalam terbagi atas Kota Intan (di Tapung) dan Kota Lama. Pada tahun 1893 terjadi perselisihan antara Raja Kepenuhan dengan adiknya. Raja Rambah dan Tambusai ingin ikut campur, tetapi hal ini sudah ditangani oleh pembesar Siak. Pada tahun 1875 terdengar bahwa Yang Dipertuan Kota Intan, Jumadil Alam, telah mengumpulkan para bendahara untuk diperintah dengan paksa. Sultan Siak mengirim laskar ke sana bersama Kontrolir Siak, sehingga Jumadil Alam kembali ke Kota Intan.
Siak meninggalkan sejumlah laskar bersenjata di Kasikan. Atas dasar ini Belanda kemudian mempersiapkan ekspedisi militer untuk menghukum Kota Intan dengan mengirim colonne di bawah pimpinan Kapten lnfanteri Barthelemy dengan empat opsir dan 135 serdadu dari garnisun Medan. Pada tanggal 19 Januari 1876 ekspedisi militer Belanda ini meninggalkan Kasikan. Setelah melakukan perlawanan dengan sengit, para pejuang terpaksa berpencar ke hutan dan Belanda membakar rata Kampung Kota Intan. Pada tanggal 10 Februari 1876, sebagian besar ekspedisi militer kembali ke Medan dan di Kasikan tersisa satu detasemen militer untuk pendudukan. Pada bulan Maret 1876 kepala Kampung Lindak dan Kota Intan berunding dengan Residen Sumatera Timur. Pada tahun 1877 Tambusai ditundukkan Belanda.
Pada tahun 1881 Sultan Siak mengklaim Tambusai sebagai jajahannya, karena Raja Tambusai berdiam di wilayah Siak (Tanah Putih). Residen Bengkalis kemudian menjadi penengah atas berbagai klaim dan soal perbatasan antara Tambusai dengan Siak dan antara Kepenuhan dengan Rantau Binuang. Kemudian, dengan akta perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 1885, Yang Dipertuan Zainal Abidin diakui sebagai Raja Tambusai dan Rantau Binuang dikembalikan kepada Siak (1888).
Rokan IV Koto yang terdiri dari Lubuk Bendahara, Rokan, Gedung Batu, dan Pandalian, yang dikepalai Yang Dipertuan Lubuk Bendahara, juga dikuasai Belanda pada tahun 1888. Mengenai daerah Distrik Kuantan dan Hulu Kampar dapat dibaca dalam laporan Ir. J. W. Ijzerman pada bulan Maret 1891. Ijzerman meneliti kemungkinan pengiriman batubara dari tambang Umbilin melalui Sungai Siak ke Selat Malaka (Dwars door Sumatera).
Yang Dipertuan Zainal Abidin dibuang oleh Belanda ke Madiun dengan Beslit Gubernur Jenderal tertanggal 27 November 1904 no. 3, karena berani melawan Belanda. Pada tahun 1905 Tambusai berada di bawah pemerintahan bersama antara Muhammad Sulung yang bergelar Sultan Mansyur dengan Abdul Hamid yang bergelar Sutan Jumadil Alam (dari wilayah Sosa dan Batang Kumu). Kemudian pada tahun 1917 Haji Ahmad alias Muhammad Sulung menjadi Raja Tambusai. Adapun raja-raja di Rokan yang menandatangani Pernyataan Pendek adalah (a) Yang Dipertuan Besar Abduljalil, dari Gunung Sahilan (27 Februari 1905); (b) Yang Dipertuan Besar Kasam, dari Kunto Darusslam (24 Maret 1905); (c) Yang Dipertuan Sakti Ibrahim, dari Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1905); (d) Si Tampeong bergelar T. Maharaja Lela, dari Kepenuhan (27 Mei 1905); (e) Yang Dipertuan Besar Abd. Rahman, dari Gunung Sahilan (29 Mei 1907); (f) Yang Dipertuan Besar Ahmad bin Akhirzaman, dari Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1910); (g) Yang Dipertuan Besar Ali Tandung, dari Kunto Darussalam (25 Juni 1910).

e. Kotapinang, Panai, dan Billah
Di tahun 1864 Belanda telah mengakui Sultan Mustafa sebagai Yang Dipertuan Kotapinang. Ia meninggal dan digantikan putranya, Sultan Ismail Yang Dipertuan Sakti, yang membuat pernyataan pendek tertanggal 4 September 1872. Pada tahun 1887 batas antara Kotapinang dengan wilayah Siak Tanah Putih dan Kubu diresmikan.
Di Panai, Sultan Abdullah digantikan oleh Sultan Gegar Alam. Pada tahun 1887 Sultan Gegar Alam meminta agar digantikan oleh putranya, Sultan Mengedar Alamsyah. Tahun 1884 kantor pabean Belanda di Panai diserang oleh rakyat dari arah laut. Pada tahun 1888, batas Panai dengan Siak (Kubu) diresmikan dan tahun 1895 kedudukan Kontrolir Labuhan Batu dipindahkan ke Labuan Bilik. Kemudian tahun 1883 Raja Muda Billah dibuang Belanda ke Bengkalis (Sinar, 1970).

f. Asahan dan Kualah
Pada tanggal 18 Maret 1882, Yang Dipertuan Muda Asahan, Naamatullah yang juga menjadi Raja Kualah-Leidong, meninggal dunia. Ia digantikan putranya, Haji Muhammad Syah, sebagai Raja Kualah dan lepas dari Asahan. Haji Muhammad Syah membuat perjanjian dengan Belanda pada tanggal 25 Maret 1886. Pemberontakan rakyat di Asahan yang menghendaki kembalinya Sultan Ahmadsyah masih terus berlangsung. Bahkan pos Belanda di Si Alang Kelong dan Bandan Baru diserang gerilyawan pada tahun 1883. Akhirnya pada tahun 1886 Sultan Ahmadsyah dikembalikan ke tahtanya di Asahan. Pada tanggal 27 Juni 1888, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, sehingga kedudukannya digantikan oleh Sultan Muhammad Husinsyah yang merupakan putra adiknya, Tengku Adil. Putra dan pengganti Husinsyah adalah Sultan Saibun Abdul Jalil Rahmatsyah (Kroesen, 1886).

g. Batubara
Bekas jajahan Siak, Tanjung, Pare-pare, dan Pagarawan, diakui Belanda sebagai wilayah tersendiri dan masuk Batubara. Pada tahun 1894, Raja Pagarawan, Datuk Setia Wangsa, dibuang ke Bengkalis dan digantikan putranya, Datuk Setia Maharaja Lela. Pada tahun 1900, Raja Tanjung Kasau digantikan adiknya, Raja Maharuddin (Scheemaker, 1869; Sinar, 1970a).

h. Deli, Langkat, dan Serdang
Pada tanggal 25 Oktober 1873 Sultan Mahmud meninggal dan digantikan putranya, Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah. Mula-mula Sultan Siak menuntut agar Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah datang ke Siak untuk menerima gelar sebagai Sultan Deli, langsung dari tangannya. Meskipun dulu Belanda mengakui hak Sultan Siak atas Deli, namun Residen menyatakan bahwa keadaan sudah berubah karena kemakmuran yang dicapai Deli, sehingga Sultan Siak mengalah dengan menghadiri pelantikan Sultan Deli di Bengkalis, seolah-olah hanya sebagai saksi. Setelah menerima surat pengangkatan dan gelar baru dari Residen atas nama pemerintah Hindia Belanda, Sultan Deli kemudian menyembah Sultan Siak untuk basa basi terhadap Sultan yang lebih tinggi kedudukannya (Brandhof, 1909).
Berdasarkan Staatblad 1879/205, kedudukan Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, sehingga pada tahun 1888 Sultan Deli membuat istana Maimun di Medan dan kemudian pindah ke sana. Sultan Makmun al Rasyid Perkasa Alamsyah dikenal sebagai raja yang kaya dan setelah meninggal kemudian diberi gelar Marhum Makmur. Ia juga menghibahkan tanah kepada Gubernemen Hindia Belanda untuk dijadikan tapak kota Medan. Ia digantikan oleh putranya, Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah.
Pada tahun 1880 Sultan Serdang, Tuanku Basyaruddin Syaiful Alamsyah, meninggal dunia dan sesuai adat “Raja mangkat, raja menanam”, maka para orang besar dan rakyat menobatkan putra tunggalnya menjadi raja dan bergelar Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah. Oleh karena raja belum dewasa, untuk sementara waktu pemerintahan dipangku pamannya, Raja Muda Mustafa.
Perselisihan soal perbatasan antara Deli dan Serdang terjadi terus-menerus, terutama mengenai Senembah, Denai, dan Percut, sehingga Belanda belum mengakui Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sebagai Sultan Serdang. Atas tekanan Belanda dan untuk keuntungan Deli, diputuskan bahwa Denai dikembalikan kepada Serdang (1882). Sungai Tuan dan hulu Sungai Batangkuwis dijadikan sebagai batas Deli dengan Serdang, dan Senembah dibagi dua. Setelah itu, Belanda baru mengakui Sultan Sulaiman dengan penandatanganan kontrak di Bengkalis pada tanggal 29 Januari 1887. Pada bulan Juli 1895, Sultan Sulaiman mengirimkan patroli laskar bersenjata untuk menghadapi kerusuhan di hulu Serdang (daerah Batak Karo) yang dikenal dengan nama “Perang Pak Abdullah”. Oleh karena hubungan yang mesra dengan Raja-raja Batak di hulu itu, maka banyak Raja Batak yang memasukkan daerahnya di bawah kekuasaan Serdang.
Pada tahun 1879, Pangeran Langkat Musa naik haji ke Mekah. Setelah kembali, ia menunjuk putra bungsunya sebagai bakal penggantinya. Sementara itu, gerilyawan Aceh di pedalaman Langkat terus membakar perkebunan dan tambang minyak di Brandan, sehingga Belanda menempatkan garnizun di Tanjung Pura (Sinar, 1981a). Dalam bulan Maret 1886, Kejeruan Bahorok, Tengku Abdurrahman, mengobarkan perang sabil dan mengajak rakyat Langkat untuk melawan Belanda. Ketika pasukan Belanda datang ke Bahorok, para gerilyawan yang dipimpinnya sempat pergi menyingkir ke Tanah Alas. Tidak lama kemudian, ia meninggal dunia di sana.
Pada tahun 1893 Pangeran Musa turun dari tahta dan mengangkat putra bungsunya, Sultan Abdul Azis. Kemudian Pangeran Musa mengundurkan diri dan pergi suluk pada pesantren Tuan Syekh Babussalam dari aliran Tarekat Naqsabandiyah yang dibangun Pangeran Musa sendiri di Basilam. Setelah Sultan Abdul Aziz meninggal pada tahun 1925, ia digantikan putranya, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmatsyah.

12. Sistem Pemerintahan Dan Peradilan Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur Pada Zaman Hindia Belanda
Kepala pemerintahan di kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera mempunyai berbagai gelar, di antaranya adalah “Sultan” (Siak, Deli, Langkat, Asahan), yang pengangkatannya sudah ada sebelum Belanda datang, baik diperoleh dari Siak ataupun Aceh, “Sutan” (Bilah, Panai, Tambusai), “Yang Dipertuan” (Kotapinang, Gunung Sahilan, Kualah, Kunto Darussalam, Empat Kota, Rokan Hilir, Rambah), “Datuk” (Limapuluh, Pesisir, Suku Dua, Tanah Datar, Singingi), atau sekadar “Raja” dan “Tengku Besar” (Pelalawan). Di bawah Raja ada “Raja Muda” (Yang Dipertuan Muda), tetapi sejak akhir abad ke-19 jabatan ini dihapus oleh Belanda. Penghapusan diawali di Siak, kemudian di seluruh Sumatera Timur. Belanda juga menghapus Lembaga Orang Besar (Raad van Rijksgroten) secara perlahan-lahan, karena Belanda menginginkan hanya ada penguasa tunggal di setiap kerajaan agar Belanda lebih mudah mengaturnya.
Pada zaman dahulu, raja-raja Melayu tidak dapat bertindak semaunya tanpa persetujuan orang-orang besar (biasanya empat wazir). Pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Raja Muda. Bila orang besar meninggal, penggantinya dicari dari turunan atau keluarga terdekat yang dianggap mampu. Akan tetapi, setelah ada kebijakan Belanda tersebut, derajat orang besar diturunkan hanya sebagai districthoofd (pamongpraja) di bekas wilayah bapaknya. Kerajaan besar biasanya mempunyai wilayah taklukan berupa kerajaan kecil yang diperintah oleh raja atau kejeruan, sedangkan kerajaan kecil di wilayahnya sendiri yang disebut rantau atau luhak diperintah oleh seorang datuk. Selaku ornamen raja, pembesar bergelar Laksamana, Bendahara, Tumenggung, dan lain-lain, tidak berfungsi. Mereka baru berfungsi jika ditugaskan mengepalai suatu daerah dengan sebutan rijksgroten.
Pasal-pasal Politik Kontrak yang membahas kekuasaan raja berisi: (a) Pengakuan bahwa kerajaannya adalah bagian dari Hindia Belanda; (b) Kedua belah pihak (raja dan Belanda) harus mentaati isi perjanjian; (c) Hak mengenai hukum adat dan hukum Islam maupun hal-hal yang tidak disebutkan dalam Politik Kontrak sepenuhnya menjadi wewenang raja; (d) Pembesar Belanda (kontrolir) ditempatkan di kerajaan hanya sebagai penasihat; (e) Hukuman mati dan hukuman buang hanya dilaksanakan oleh Kerapatan Raja setelah mendapat izin dari Gubernur Jenderal; (f) Raja boleh membuat peraturan sendiri (zelffbestuursder ordening); (g) Raja boleh mempunyai korp kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan sendiri. Kerapatan Besar merupakan instansi tertinggi, dengan raja sebagai hakimnya, di samping orang-orang besar selaku anggota, dan kontrolir selaku penasihat.
Dengan adanya Pernyataan Pendek, semua perintah ambtenaar Belanda dan kontrolir di wilayah Kerajaan Melayu bisa mengubah putusan Kerapatan. Pedoman untuk kerajaan yang dipakai adalah zelfbestuursregelen tahun 1938. Sampai saat itu, di daerah Rokan dan Kampar Kiri masih ditemui pemerintahan distrik atau onderdistrik yang berdasarkan adat, karena dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Pemerintahannya berdasarkan negeri dan kepala negeri yang diambil dari suku yang dominan. Oleh karena itu, wilayah ini disebut “Siak dan Pelalawan tanah berajo”. Di Kampar Kiri, negeri-negeri itu bergabung dalam suatu unit. Di Hulu Serdang, Langkat, dan Deli terdapat wilayah “dusun” yang didiami sukubangsa Karo dan Simelungun (Timur). Meskipun mereka memelihara hubungan perkauman dengan saudara-saudaranya di Tanah Tinggi Karo dan Simalungun, tetapi mereka tunduk kepada raja-raja Melayu. Mereka yang berasal dari Batak, tetapi sudah masuk Melayu (Islam) diwakili oleh “Datuk Kepala Urung” atau Kejeruan.
Belanda berusaha membendung pengaruh Sultan Melayu yang mendorong Islamisasi (Melayunisasi) di wilayah “dusun” ini dengan menyediakan tanah Batak untuk pengembangan misi Kristen, membentuk kontrolir khusus yang disebut Controleur voor Bataksche Zaken dan peradilan di wilayah urung (dusun), yang disebut Kerapatan Dusun, Kerapatan Urung, dan Balai Kitik. Peradilan ini memperhatikan adat Batak ketika Sultan atau Datuk akan memberikan hukuman. Politik Belanda ini tercermin dalam pernyataan rahasia.
Ik acht zeen gewenscht om politikie redenen dan rechtstreekschen invloed van Sultan en onroenghoefden die allen Mohammedaan zijn, ook niet te versterken en veeleer de Batak doesoens als afzonderlijke, of ik liever zeggen als meer bjzondere eenheden te blijven beschouwen.
Berdasarkan pertimbangan politis, saya mau agar pengaruh sultan dan kepala urung yang Islam itu jangan diperkuat dan dianggaplah wilayah Batak Dusun selaku wilayah tersendiri, atau katakanlah sebagai wilayah kesatuan yang harus diperlakukan khusus sekali (Memorie v. Overgave Residen Deli-Serdang S.v.d. Plas 2 Juni 1913).
Kesatuan hukum terkecil di Melayu di samping keluarga ialah kampong yang dulu cukup otonom. Akan tetapi akibat tekanan dari pusat (raja dan datuk), dan terakhir karena datangnya berbagai elemen asing, fungsi kepala kampung kemudian hanya sekadar sebagai pesuruh raja atau kekuasaan sentral dan tidak lagi menjadi wakil masyarakat kampung (Meyenfeldt, t.t.).
Seperti disebutkan di atas, orang-orang besar (Landsgroten dan Rijksgroten) pada kerajaan yang berkontrak politik adalah anggota dari kerajaan besar. Jadi, bila raja dari kerajaan dengan pernyataan pendek tergabung dalam suatu kerajaan besar, maka mereka bergiliran menjadi ketua sidang, misalnya kerajaan di Batubara, Labuhan Batu, Rokan, dan Kampar di Pelalawan. Kepala Distrik (Raja Lela Putra, Datuk Laksamana, Datuk Kampar) juga mempunyai kekuatan hukum, demikian juga para bendahara dan khalifah di Rokan dan Kampar. Kerapatan umumnya sulit membedakan hukum sipil dan hukum pidana. Oleh karena itu, jaksa hadir dalam sidang perkara perdata (sipil) dan perkara pidana. Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kerajaan hanya bisa diadili di pengadilan gubernemen (landraad).
Pada beberapa Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, soal yang menyangkut peradilan agama Islam juga dilaksanakan di Kerapatan, setelah mendengar nasihat atau usul tertulis dari Mufti atau Kadhi kerajaan. Sejak tahun 1928, Raja Serdang menumbuhkan “Majelis Syar‘i Kerajaan Serdang” berdasarkan tauliah (perintah) dari raja dengan mengambil alih salah satu hak raja (selaku ulil amry dan imam agama Islam). Majelis ini mempunyai ketua dan anggota sebagai instansi tertinggi yang memutuskan perkara agama Islam seperti menikah, talak, rujuk, pusaka, harta baitul mal, penentuan puasa dan hari raya, zakat mal dan zakat fitrah untuk fakir miskin, dan urusan pengangkatan kadhi, serta sekolah (maktab) agama Islam di kerajaan.
Pada umumnya Kerapatan memutuskan hukuman berdasarkan adat-istiadat, hukum Islam, dan kebiasaan, sepanjang tidak bertentangan dengan sendi-sendi kepatutan dan keadilan yang umum diakui (volgens de godsdienstige wetten, volksinstellingen en gebruiken, die niet instrijd zijn met algemeen erkende beginselen van billijkheid en rechtvaardigheid), sedangkan dalam masalah pidana yang dijadikan pedoman adalah KUHP.

13. Orang Melayu Dan Rajanya
Dengan tertanamnya penjajahan Belanda di Sumatera Timur, maka proses Melayunisasi Raja Melayu ke daerah pedalaman yang dihuni suku-suku Batak sudah terhalang, karena daerah tersebut disiapkan oleh Belanda sebagai daerah pengembangan agama Kristen. Seseorang dianggap sebagai Melayu apabila telah memenuhi syarat sebagai orang Islam, berbicara bahasa Melayu, mempergunakan adat Melayu, dan memenuhi syarat menetap di tempat tertentu (Nagata: 91).
Jadi, istilah Melayu adalah berdasarkan alasan kultural. Salah satu ciri orang Melayu adalah memegang konsepsi “kerajaan”. Hal ini menunjukkan pentingnya fungsi raja bagi orang Melayu dalam policy negara dan pemusatan sesuatu pada raja dalam indentitas kultural orang Melayu tua. Raja adalah simbol personifikasi nilai-nilai masyarakat dan tradisi sejarah (Milner, 1977).
Kerasnya konsep beraja tersebut ditunjukkan oleh beberapa pepatah Melayu, seperti “Ada raja adat berdiri, tiada raja adat mati” dan “Biar mati anak, daripada mati adat” (Kementerian Penerangan RI). Arti “kerajaan” di sini adalah wilayah kediaman (establishment) yang ada bandarnya. Orang Melayu sangat menghormati raja dari keturunan dinasti yang tersohor terus-menerus (illustrious and impeccable). Hal ini berfungsi sebagai legitimasi, karena menurut mereka rakyat dan negeri mudah dicari, namun dinasti purba yang tersohor tidak dapat dicari. Selama dinasti itu utuh, tidak ada alasan untuk membubarkan kerajaan. Sesuai dengan adat pada zaman Hindu dan Budha, raja dianggap “bodhisatva” yang memberikan “tantra” dan kedamaian abadi kepada rakyatnya yang setia “bhakti” dengan “anugerah”. Ada seperangkat alat musik nobat yang menjadi bagian dari regalia kerajaan, yaitu sesuatu yang bersifat sakral dan mengandung supernatural power, misalnya jin kerajaan. Pengangkatan raja baru tidak syah jika tidak “dinobatkan”. Pada zaman dahulu, jika terdengar alat musik nobat dibunyikan, maka orang berhenti bekerja seolaholah raja berada di situ (Sinar, t.t.: 3’16).
Raja ‘berdaulat’ dan mempunyai kesaktian yang tidak dipunyai rakyat biasa. Konsep ini dipengaruhi ajaran Islam yang dibawa pada abad ke-13 dan ke-14 oleh kaum Sufi ke Pasai dan negeri-negeri Melayu. Raja memakai titel ‘sultan’ atau ‘syah’ yang dianggap zil Allah fi’il alam (bayang-bayang Tuhan di atas dunia). Ketentuan ini menganggap bahwa raja yang adil dan Rasulullah ibarat dua permata dalam satu cincin dan jika orang melaksanakan tugas kepada Rasulullah seakan-akan sama dengan melaksanakan tugas kepada Tuhan.
Bahkan Tajussalatin dari Pahang menafsirkan Al Quran Surat Xl ayat 30: sebagai “Tuhan menempatkan raja di atas dunia selaku wakilnya”. Konsep ini kemungkinan besar dipengaruhi konsep raja-raja Islam di India (Nujeeb, 1967: 33). Orang Sufi menambahkan, raja diposisikan sebagai Insan al Kamil (the perfect man) yang bisa menyatukan diri dengan Tuhan. Oleh karena itu, prinsip durhaka adalah pantangan besar bagi orang Melayu, karena hal itu melawan daulat.
Sebelum berkuasanya penjajah Barat, bila seorang rakyat jelata merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh rajanya, mereka “menyanggah” dengan cara mengumpulkan harta benda dari keluarganya lalu naik perahu meninggalkan negeri itu untuk pindah ke negeri lain. Hal ini akan memalukan raja tersebut, sebab kemakmuran dan kekuatan raja dan negeri tergantung pada sedikit banyaknya rakyat yang setia. Meskipun segalanya berpusat kepada raja, raja sendiri tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bermusyawarah dengan menteri-menteri dan Orang Besarnya, karena merekalah yang mempunyai kekuasaan nyata. Raja dan Orang Besar ibarat “api dengan kayu”. Kemaslahatan rakyat banyak dibicarakan secara terbuka di Balairung Seri. Seorang raja harus mengindahkan hukum Islam, karena raja merupakan khalifatullah fi al ardl. Raja harus adil, mengutamakan rakyat, dan mempertahankan kehormatan mereka. Tugas seorang raja ini dapat dibaca dalam surat Sarakat Halilintar dari Sultan Aceh untuk pengangkatan Sultan Basyaruddin dari Serdang (1854) (Sinar, 1970a). Kewajiban seorang raja itu tercermin dalam pepatah “Raja memegang adat yang kanun; adat pusaka turun-temurun; adil, arif, bijak bersusun; pandai meneliti zaman beralun”.
Pada zaman dulu jelas bahwa without the institution of the Raja, the Malay world have fallen into confusion (Milner, 1977;108). Oleh karena itu, Belanda sangat getol berusaha menghancurkan Lembaga Orang Besar (raad van rijksgroten) di semua kerajaan Melayu, karena Belanda tahu bahwa kekuasaan politik berada di tangan Orang Besar. Dengan hancurnya Orang Besar diharapkan raja tinggal sendirian sebagai penguasa tunggal tanpa kawan musyawarah, sehingga mudah diperalat Belanda. Raja tanpa Orang Besar merupakan hal asing dalam sistem pemerintahan Melayu, karena tugas raja sebenarnya hanya berhubungan dengan tata-krama yang berkultur tinggi.
Setelah masuknya kapitalis dan perkebunan asing ke Sumatera Timur, Belanda memuji kemakmuran Cultuurgebied itu sebagai hetdollarland dan selalu merendahkan orang Melayu sebagai pemilik tanah. Mereka mencibir kemalasan orang Melayu yang tidak mau bekerja di perkebunan Belanda. Mereka selalu mengatakan bahwa yang dilakukan orang Melayu hanya menikah, bersuka ria, naik haji, dan selanjutnya hidup bermalas-malasan (Westerman, t.t.). Tanah mereka disewakan kepada orang Cina dan Jawa untuk ditanami sayur, padi, dan atau kelapa (Plass, 1917).
Keahlian seni ukir perak orang Melayu di Batubara sudah lenyap, begitu pula seni ukir kayu dan sebagainya (Kempen, 1928: 393). Belanda menyebutkan bahwa orang Melayu seakan-akan memberikan peluang kepada orang Cina dan suku-suku pendatang lainnya untuk mengambil alih usaha kerajinan tangan dan kehidupan perekonomian di Sumatera Timur. Dikonstatir pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa orang Melayu tidak lama lagi akan terdesak oleh orang Jawa di Asahan dan Labuhan Batu, serta oleh orang Tapanuli (Geristsen, 1938: 71-72).
Laporan resmi Belanda mengatakan bahwa di setiap tempat dimana berdiam orang Melayu, keadaan di situ pasti terbelakang dan ekonominya tidak maju, demikian juga di wilayah Cultuurgebied Sumatera Timur. Dengan datangnya perkebunan Eropa di negerinya, rakyat Melayu tidak semakin maju, bahkan mereka terdesak (Eerde, DL I: 248-254). Orang Melayu bukan pekerja sawah, karena mereka adalah bangsa pemburu, nelayan, serta pedagang. Hal ini juga diakui oleh para pendatang (Kempen, 1928). Orang Melayu bersifat royal, patuh, serta hormat pada ketertiban, sehingga pada zaman Belanda orang Melayu hampir tidak ada yang ikut pergerakan radikal komunis.
Kelemahan orang Melayu tersebut dimanfaatkan oleh Belanda untuk menindas raja-raja Melayu. Akan tetapi, pada kenyataannya wilayah Kerajaan Riau-Lingga yang sudah diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, dilaporkan bahwa keadaannya juga tidak lebih baik. Sebenarnya keadaan orang dan negeri Melayu di Sumatera Timur sebelum kedatangan pemerintah Hindia Belanda dan perkebunan asing sangat berbeda dengan yang dicibirkan Belanda.(Tuanku Luckman Sinar Basarshah II,SH )